KEMBALI PULANG – Bagian 4

 ThunderStorm-203548_573x187

BAGIAN 4

LAHIR & BATHIN

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”

(QS 41:53)

Uraian pada bab-bab sebelumnya, sungguh takkan menyentuh, bila tidak pula menguraikan keberadaan jasad, jiwa, dan ruh sebagai unsur-unsur penyusun lahir dan bathin kemanusiaan yang tentunya sebagai pelaku utama dalam pengokohan iman dan islam-nya. Hal ini amatlah penting bagi usaha mengokohkan kembali keimanan agar mencapai keberserah dirian (islam) secara murni atau ikhlas dalam menapaki jalan lurus (agama Allah) diynul qayyimah.

Seperti yang telah diketahui, segala sesuatu yang Allah ciptakan memiliki pasangannya, seperti apapun segala sesuatu tersebut, terlihat nyata (lahir) maka memiliki pula wujud bathinnya sebagai yang tak terlihat nyata. Juga pada umumnya pemahaman tentang kemanusiaan yang terdiri dari jasad sebagai wadah atau media bagi bathin yang tak terlihat nyata, yaitu jiwa dan ruh. Ruh adalah sebagai gerak hidup yang merupakan energi dari setiap materi segala sesuatu sebagai makhluk ciptaan, dan jiwa sebagai pribadi berkarakter (aku) yang membedakan satu dengan lainnya.

Karena di alam, maka setiap materi berubah-berubah bentuk. Atau dalam bahasa Tuhan, adalah tidak kekal abadi, fana, atau juga bersifat hadits. Dalam hal ini telah diuraikan sebelumnya di dalam sifat dua puluh, bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak kekal abadi.

Materi pada wujud asalnya adalah energi, yaitu bersumber dari energi cahaya-Nya, sebab itulah dikatakan laa hawla wa laa quwwata illa billaahi, tiada kekuatan (energi) selain kekuatan (energi) Allah. Juga, inna lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun, segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya pulalah tempat kembali.

Beriring waktu, partikel-partikel cahaya kemudian saling berinteraksi dengan sesamanya seperti membentuk koloni, sehingga memiliki massa untuk membentuk materi. Inilah cikal bakal atom sebuah unsur yang pada mulanya memiliki inti dengan hanya satu elektron yang mengelilinginya. Dan karena sifatnya, atau karena ketetapan-Nya (sunathullah), bahwa setiap materi cenderung terus berkumpul membentuk koloni yang semakin besar, maka kecenderungan ini semakin memperkaya khasanah unsur-unsur yang ada di alam pun terjadi. Yang semula elektron yang mengelilingi inti atom hanyalah satu, dan disebut sebagai atom unsur Hidrogen. Kemudian merekrut elektron lainnya menjadi dua yang mengelilingi intinya, berubah menjadi unsur lain yang lebih berat, yaitu disebut Helium. Begitu seterusnya, tanpa menghilangkan yang pertama atau yang sebelumnya.

Di awal abad 20, setelah perkembangan teori relativitas telah banyak menguak dan menjawab rahasia-rahasia yang sebelumnya tertutupi. Bila sebelumnya penelitian-penelitian terhadap partikel materi untuk membuktikan keberadaan benda terkecil sebagai penyusun segala sesuatu sempat mengalami kerancuan dan menimbulkan kebingungan dalam menetapkannya antara materi atau malah energinya.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, telah ditetapkan bahwa atom sebagai benda terkecil, setelah beriring pula ditemukannya tekhnologi penemuan alat-alat bantu yang semakin canggih seperti mikroskop elektron, ternyata atom masih dapat dibelah-belah lagi menjadi inti atom dengan elektron-elektronnya. Dalam skala besar, makrokosmos, hal ini seperti matahari dengan planet-planet yang mengitarinya dalam suatu sistem tatasurya.

Sampai tahap ini mereka merasa atau membayangkan adanya misteri di balik materi, yaitu kemungkinan benda terakhir tersebut masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi jauh lebih kecil lagi. Teori relativitas tersebut akhirnya telah membuktikan bahwa inti atom tersebut masih dapat dipecah-pecah lagi menjadi bagian partikel yang jauh lebih kecil (sub atomik), yaitu proton dan neutron. Sehingga ditemukannya energi Nuklir. Hingga terakhir yang dapat diketahui, semakin dipecah-pecah, maka materi  hanya menyisakan pilinan rantai energi.

Di dalam materi hidup, sel-sel di dalam tubuh manusia, mikrobiologi pun telah menemukan metabolisme kehidupan  di dalam inti sel yang terdapat pula pilinan rantai genetika yang tersusun dari protein DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Sebagai kode-kode genetika yang membawa karakteristik sifat seseorang, yaitu seperti jenis kelamin, usia hidup, kapasitas kemampuan diri manusia. Juga menyimpan jutaan perintah atau pesan berupa kode-kode dalam bentuk kimiawi yang harus dikerjakan dan diterjemahkan setiap sel tersebut dalam gerak perkembangan kehidupannya oleh protein lain yang disebut RNA (Rybo Nucleic Acid). Ini lebih kepada program hidup kehidupan dalam sebuah koloni multisel (milyaran sel) jasad atau tubuh manusia, yaitu kodrat dan iradat kemanusiaan yang telah ditetapkan Allah.

“,,,,,Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya…..”  (QS 7:37)

Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (QS 57:22)

“………, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).”  (QS 13:39)

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .”  (QS 6:38)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 6:59)

“………… Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 11:6)

Sehingga penemuan (mikrobiologi, yaitu DNA dan RNA) tersebut, mengarahkan pemahaman bahwa, selain yang hidup, di dalam bathinnya sebuah materi pun, sekalipun disebut benda mati, ada energi atau kekuatan tak terlihat yang menentukan arah nasib-nya sebagai qudrat dan iradat-Nya yang sesungguhnya mengarahkan arah gerak kelanjutan hidupnya. Yaitu, sesungguhnya Dia menggunakan para aparat-Nya pada qudrat dan iradat tersebut, yaitu energi bawaan.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.”  (QS 97:4)

Agar lebih jelas, sehingga tak menimbulkan kesesatan dalam memahami ayat diatas tersebut, maka ada ayat lainnya yang semoga mengarahkan pemahaman kita kepada kebenaran yang Tuhan kehendaki kita mendapatkannya.

“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)

Maka sumber energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah (laa hawla wa laa quwwata illa billaahi, tiada kekuatan selain kekuatan Allah). Dan karena Dia meliputi segala sesuatu, sehingga, seluruh materi atau wujud segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada yang gaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus (gaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini.

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, …..”

 (QS 2:3)

 

Bab XIX

MATERI sebagai PENYUSUN

JASAD

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”

 (QS 31:20)

Jika dalam setiap partikel penyusun materi, masing-masingnya membawa energi bawaan, maka tentunya energi dari sebuah unsur, atau molekul, ataupun senyawa kimia lainnya yang jauh lebih rumit, seperti pada benda-benda, tentu akan membawa pula energi bawaan yang semakin terkumpul besarnya sesuai persenyawaan unsur-unsurnya tersebut. Dan adalah manusia, sebagai susunan materi dengan persenyawaan kimia terumit yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan sel, maka tentunya membawa energi bawaan yang amat dahsyat. Bayangkan berapa banyak energi dari apa-apa yang dimakan dan diminumnya yang telah diserap seorang manusia semenjak lahirnya hingga dewasa? Telah berapa huruf yang keluar dari setiap pikir dan ucapnya? Telah berapa kilometer gerak langkah kakinya?

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

Energi bawaan tersebut adalah energi yang berasal saat  penciptaan semesta alam, dan terus terbarukan sebagai yang berkembang karena berinterkasi terus menerus. Seperti telah diulas sebelumnya pada bab keimanan kepada para malaikat, bahwa pada awal penciptaan, segala sesuatu Allah ciptakan dari pancaran cahaya-Nya. Cahaya-Nya itulah sebagai energi bawaan yang merupakan para aparat Allah, sebagai struktur penyusun segala sesuatu ciptaan-Nya, penyampai dan pembawa pesan serta kehendak-Nya. Cahaya-Nya yang terpancar terus menerus itulah yang membuat seluruh aparat-Nya tersebut hidup dan menghidupkan terus berlanjut silih berganti sampai kepada waktu yang telah ditetapkan-Nya.

Energi-energi atau yang merupakan juga para aparat-Nya tersebut mengalami perubahan wujud-nya, dan tugasnya tergantikan oleh energi baru yang terpancar terus menerus tanpa pernah berhenti melalui cahaya-Nya. Namun energi bawaan tersebut tetap melekat sekalipun wujud-nya telah berubah menjadi wujud yang lain. Menjadi makhluk ciptaan-Nya yang lain sebagai rahmat Tuhannya kepada semesta alam.

“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (-nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (QS 24:35)

Karena itulah Dia sebagai Yang Maha Meliputi segala sesuatu, Yang Maha Halus dan Lembut, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat. Sebab seluruh aparat-Nya tersebar kepada segala sesuatu tersebut di seluruh pelosok langit dan bumi, sedangkan Dia tidak bergantung kepada seluruh aparat-Nya tersebut, malah mereka-lah yang amat bergantung kepada-Nya dalam segala hal.

Jasad, yang juga merupakan kumpulan materi, dari waktu ke waktu mengalami perubahan sampai pada kematiannya, terurai kembali sebagai unsur-unsur bebas. Dari semenjak di dalam kandungan, lahir, mengalami masa-masa balita, remaja, dewasa, dan hingga masa tuanya, sekalipun dengan identitas yang sama, pun mengalami perubahan-perubahan. Hanya saja sebutannya yang berbeda-beda, masa-masa di dalam kandungan disebut dengan masa perkembangan janin, masa balita disebut dengan masa pertumbuhan, masa remaja disebut masa peralihan, selanjutnya masa pendewasaan, dan di masa-masa akhir disebut dengan masa senja. Bentuk lahirnya berubah berdasarkan waktu, menjadi tumbuh besar, berubah gemuk atau kurus, kulitnya semakin gelap atau semakin terang, semakin mengendur kekencangannya (keriput), dan rambut yang beruban (memutih). Yang kesemuanya adalah bermakna perubahan wujud. Maka, begitupula dengan jiwanya, sekalipun karakternya sebagai pribadi tidak berubah, akan tetapi kematangannya tentu mengalami perubahan menuju kepada perbaikan (penyempurnaan) dari sebelumnya.

“Dan demi jiwa dan Yang menyempurnakannya.”  (QS 91:7)

Dalam kenyataannya, bukti bahwa setiap materi mengandung energi bawaan, yang sederhana, seperti air yang dipanaskan. Selain membutuhkan energi untuk mengurai unsur-unsur penyusunnya, juga menghasilkan energi, seperti untuk menggerakkan turbin yang dapat berguna bagi kehidupan. Dan sungguh, pada kelanjutannya mempengaruhi materi di sekitarnya untuk berinteraksi lebih jauh lagi.

Juga akan semakin dibutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk mengurai unsur-unsur tersebut menjadi yang lebih kecil lagi, sehingga wujud materinya berubah atau menghilang dan menyisakan yang tinggal hanya energi yang dihasilkannnya. Seperti pada proses fisi dan fusi nuklir, maka energi yang dihasilkannya pun amat jauh lebih besar. Dahsyat.

Seperti itulah proses di permukaan matahari kita. Dimana tidak pernah terbentuk unsur-unsur yang jauh lebih berat dari Hidrogen dan Helium saja, karena selalu dilebur seperti memasak air di panci besar yang tertutup rapat dan api yang terus menyala dengan konstan, sehingga uapnya tidak ada yang keluar dan hilang, melainkan akan jatuh kembali dan dimasak kembali terus berulang-ulang. Bayangkan, itu hanya dipermukaannya, tentu di dalam inti matahari lebih dahsyat lagi. Sedangkan suhu dipermukaannya saja diperkirakan 6000 ⁰ Celcius.

Dan yang terlepas dari proses di permukaan matahari hanyalah pancaran cahayanya, yang ternyata sedemikian besar manfaat kegunaannya bagi kebutuhan energi di bumi, sehingga memperkaya bumi. Proses ini adalah sunathullah sebagai hukum semesta, sebagaimana pada proses awal penciptaan alam semesta yang diawali oleh pancaran cahaya-Nya. Nur Allah.

Cahaya ada yang tak terlihat bentuk atau wujudnya, tetapi ada pula beberapa cahaya yang memiliki warna dan ada pula yang tak memiliki warna alias gelap, kesemuanya dikarenakan panjang gelombang (gerak partikel)-nya yang mempengaruhinya. Disebabkan mata lahir kita yang hanya memiliki keterbatasan dalam menerima panjang gelombang tertentu untuk dapat melihat, dan warna cahaya pun dipengaruhi oleh panjang gelombangnya.

Energi yang bersumber dari energi cahaya tersebut tidaklah hilang karena berubah menjadi materi, melainkan tetap ada sekalipun ‘dia’ telah memiliki wujud baru akibat interaksi dengan sesamanya dalam membentuk koloni. Wujudnya dapat terlihat karena telah berkelompok sehingga semakin membesar. Mata telanjang kita takkan dapat melihat atom sebuah unsur, akan tetapi setelah atom-atom tersebut berkelompok membentuk senyawa barulah dapat terlihat.

Itupun tidak pada semua senyawa, pada senyawa dalam bentuk gas tentu kita tak dapat melihatnya, kecuali hanya mungkin baunya yang tercium untuk dapat diketahui keberadaannya (seperti pada gas amoniak). Dalam keseharian, kita mengetahui bahwa air hujan yang turun dari langit merupakan uap-uap air yang tak terlihat kemudian berkumpul dan saling berinteraksi membentuk koloni awan mendung setelah berkondensasi dan menimbulkan berat hingga akhirnya jatuh kembali ke bumi sebagai wujud air hujan.

Energi merupakan bathin-nya, dan setelah berkoloni kemudian terwujudlah bentuk lahir-nya. Itulah materi, dimana setiap materi memiliki energi sebagai yang tak terlihat. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa materi dapat berubah wujud atau bentuknya dengan membawa energi bawaan-nya bila ada kodrat dan iradat yang menentukannya. Dengan kodrat dan iradat itulah bumi dan langit terbentuk dan kemudian dipisahkan, kemudian di langit yang terlihat sebagai ruang kosong dibentuk bintang-bintang yang jumlahnya milyaran, serta di bumi yang sebelumnya mati atau tandus dan kering kemudian dihamparkan-Nya dengan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai awal mula kehidupan.

“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ……..”  (QS 21:30)

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)

Pada orang-orang yang percaya  ada kekuatan halus yang dipercaya sebagai ruh atau roh yang tak terlihat (dinamisme) yang menempati beberapa atau setiap benda (materi). Pemahaman ini benar tetapi tidak tepat bila tak dimasukkan pula unsur kodrat-iradat yang melekat dan menentukannya, karena kekuatan halus itulah yang merupakan sumber keberadaan (mewujudnya) benda atau materi. Bukan telah ada bendanya dahulu baru kemudian masuk kekuatan halus tersebut. Akan tetapi pada banyak kasus, ada pula energi-energi yang terpancing masuk kedalam suatu benda oleh energi yang memang telah ada pada benda tersebut sebelumnya.

Ini bukanlah hal yang luar biasa, layaknya ilmu yang masuk sebagai pengetahuan kepada diri kita. Inipun dapat terjadi, tentunya, tidak lepas karena kekuatan energi yang mempengaruhi benda atau materi tersebut yang telah ditetapkan kodrat dan iradat-nya.

Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap masih memerlukan cahaya sebagai asupan makanan untuk keberlangsungan gerak hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa energi tidaklah musnah melainkan hanya mengalami perubahan wujud sebagai sifat bawaan. Seperti berubah menjadi energi panas, menjadi energi listrik, menjadi energi bunyi, dan lain-nya yang karena disebabkan interaksinya dengan energi lainnya, dan inilah yang disebut sebagai gerak hidup-nya.

Sebenarnya, begitupun kepada materi sebagai wujud jasad yang membungkus energi, yang dibilang mati atau terurai, ternyata tidaklah musnah, melainkan mengalami gerak hidup-nya dengan berubah wujud. Seperti wujud air yang dipanaskan hingga menguap, materinya terurai berubah wujud menjadi wujud uap (gas), dan akan kembali kepada wujudnya semula bila suhu yang mempengaruhinya kembali normal seperti suhu asal saat berwujud cair. Dan perubahan-perubahan wujudnya selalu memiliki atau membutuhkan waktu.

Maka sumber energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah, sehingga materi (wujud) segala sesuatu adalah perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada yang ghaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus (ghaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini. Ya, kekuatan halus (ghaib) yang merupakan aparat Allah yang menjalankan apa yang telah menjadi kehendak-Nya.

Pada bab sebelumnya tentang keimanan kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)

Energi-energi tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini. Kekuatan ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan. Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan  dibanding yang lainnya.

Dan dalam teori relativitas-nya Albert Einstein disebutkan, bahwa kecepatan cahaya adalah 300 ribu kilometer per detik. Hal ini mewakili kecepatan tersebut sebagai kekuatan gerak atau kerja malaikat yang teramat cepat, bahkan sebelum mata kita sempat berkedip. Bagaimana tidak? Bayangkanlah, bagaimana cepatnya antara gerak-gerak tubuh kita pada saat kita baru menginginkannya, atau yang lebih terasa pada gerak reflek kita terhadap sesuatu yang datang mendadak dan terasa membahayakan diri kita.

“Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)

Dengan demikian, sesungguhnya energi yang mendasari pembentukan setiap materi (benda) tersebut adalah sebagai yang disebut ruh atau para aparat (malaikat) Allah dengan menyandang kodrat dan iradat-Nya. Termasuk pula pada jasad atau tubuh kita yang terdiri dari milyaran sel yang berbeda-beda dalam setiap jaringannya dan memiliki fungsi dan kerja masing-masingnya yang bukan diri kita-lah sebagai yang mengatur dan memerintahkannya, melainkan adalah karena Dia yang telah menetapkan dalam suatu qudrat dan iradat-Nya.

“Dan kepunyaan-Nya lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS 21:19)

Begitulah sesungguhnya keberadaan malaikat-Nya, sebagai aparat-aparat Allah yang bertugas menjaga dan membantu kehidupan kemanusiaan.  Juga sebagai makna malaikat yang bersujud kepada kemanusiaan (QS 2:34), bukan malaikat yang menjadi pembangkang yang tak mau bersujud dan menjadi disebut iblis, akibat kehendak kemanusiaan sendiri yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya, dan tidak lagi berserah diri (islam) kepada Tuhannya.

Dan mereka, para aparat Allah ini adalah merupakan energi-enrgi yang tersebar memenuhi alam raya ini, baik yang kelihatan sebagai materi atau benda, maupun yang tak kelihatan seperti unsur-unsur gas atau yang lainnya. Mereka juga sebagai unsur-unsur dasar pembentuk segala sesuatu di semesta alam raya ini, sebab mereka membawa energi bawaan yang disebut qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak) Allah SWT. Dengan demikian telah menjadi masuk akal-lah firman-Nya, “….. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, kun fa ya kun ( jadilah, lalu jadilah dia).” (QS 3:45-47).

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”(QS 41:53)

Jasad & Ruh

“…… Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)

Dari ayat inilah timbul pemahaman yang kuat, bahwa kemanusiaan dengan jasad, ruh, dan jiwa-nya memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan segala sesuatu (materi) lainnya sebagai makhluk ciptaan, bahkan termasuk dengan para malaikat yang merupakan aparat Allah yang selalu dekat dan selalu bertasbih memuji-Nya. Renungkanlah ayat diatas tersebut secara dalam dan seksama, semoga Allah memberikan hidayah atau petunjuk-Nya agar kita mendapatkan hikmah yang haqq.

Segala sesuatu (materi) dalam bentuk lahir atau nyata, termasuk materi yang menyusun jasad manusia, memiliki ruh atau kekuatan (energi) halus yang tidak kasat mata sebagai bentuk bathinnya. Pada jasad manusia yang multisel tentu dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya memiliki ruh-ruhnya pula. Karena diseluruh tubuh  jasad, bukan hanya manusia, yang terdiri dari sel-sel tersebut adalah tumbuh dan berkembang, juga mati dan tergantikan, sehingga bermakna hidup. Dan hidup adalah bukti yang menunjukkan keberadaannya ruh. Ruh inilah yang dimaksud dengan ruh ciptaan Allah. Lain halnya dengan Ruh-Ku seperti bunyi firman ayat di atas. Hal ini menunjukkan kedekatan Allah terhadap manusia dibanding makhluk atau benda-benda materi lainnya.

“….. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”    (QS 2:3)

Hal inipun menegaskan bahwa manusia adalah wakil (waliiy) atau perwujudan-Nya di alam yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Sebagai penebar rahmat Allah kepada sesamanya (makhluk Allah). Penegasan lainnya adalah gelar Khalifah pada kemanusiaan, sebagai pemimpin alam ciptaan-Nya ini. Dan perlunya membedakan ruh yang mendasari setiap materi termasuk pada jasad dengan Ruh-Ku (Ruh Allah) seperti maksud ayat di atas. Karena ada beberapa kata ruh yang disebut di dalam Al Qur’an dengan makna yang jelas-jelas berbeda, seperti ruh al quds yang menunjuk kepada malaikat (jibril), ruh Kami (kata Kami biasanya dimaknai bahwa Allah melibatkan beberapa makhluk-Nya), dan ruh-Nya.

Bila kita ingat tentang dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah yang merupakan dosa besar yang tak terampuni. Tetapi mengapa di dalam ayat tersebut (QS 38:71-72) justru Dia malah memerintahkan kepada para malaikat untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Sedangkan kepada mereka (para malaikat) yang menolak tunduk dan bersujud kepada selain Allah malah disebut iblis dan dikutuk? (QS 2:30 dan 15:35).

Kepada jasad sebagai materi, dan ruh sebagai yang bathin, tidak diberi kebebasan seperti kebebasan yang diberikan kepada jiwa. Pada setiap materi segala sesuatu yang didalamnya (tak terlihat) mengandung energi bawaan, atau lebih akrab dengan sebutan ruh ini, hanya bekerja berdasarkan kodrat dan iradat dari yang telah ditetapkan oleh-Nya, karena itu mereka dapat bertumbuh, bergerak, ataupun berubah wujudnya sekalipun materi itu banyak disebut sebagai benda mati. Ruh ini pula yang mewakili sifat-sifat kemalaikatan yang secara sukarela penuh dengan kesucian, ketaatan dan tunduk patuh, keikhlasan berserah diri, kasih sayang, serta akal sehat.

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)

Nikmat Allah adalah segala sesuatu apa yang berada di langit dan apa yang berada di bumi, dan segala sesuatu yang merupakan nikmat dari rahmat-Nya adalah pula memiliki lahir dan bathin-nya. Jadi sebagai rahmat yang dapat dinikmati lahir dan bathin-nya pula oleh kemanusiaan. Begitulah Allah mengungkapkan rahmat-Nya, yaitu segala sesuatu di semesta alam ini sebagai yang selain memiliki wujud lahir, sesungguhnya juga memiliki wujud bathinnya yang adalah ruh atau energi bawaan sebagai yang membawa kodrat dan iradat-Nya untuk sampai kepada kemanusiaan sebagai nikmat dari-Nya.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)

Semakin kompleks persenyawaan kimia suatu materi maupun makhluk, tentu pula semakin tinggi kualitas ruh di dalamnya. Hal ini dapat dilihat atau diamati baik kepada materi-materi yang disebut benda mati maupun terhadap makhluk hidup selain manusia, apakah itu bakteri yang hanya bersel tunggal maupun yang agak lebih tinggi seperti tumbuh-tumbuhan, ataupun yang lebih tinggi seperti hewan-hewan. Yang pasti mereka ini tidak mendapatkan tiupan  Ruh-Ku oleh Allah.

Sebenarnya pada jasadnya, manusia pun mengalami perubahan di setiap masanya. Yang jelas kelihatan perubahan-perubahannya adalah dari masa bayi ke masa balita, ke masa remaja, dewasa, kemudian perubahan di masa tuanya. Yang tidak kelihatan secara signifikan mengalami perubahan hanya identitas pribadinya, yaitu jiwa-nya.

“…… Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”  (QS 17:70)

Sehingga yang membedakan manusia dengan selainnya sebagai makhluk-Nya juga adalah karena jasadnya atau materi penyusun tubuhnya yang bila telah disempurnakan kejadiannya maka Ruh-Ku (Ruh Allah) akan bersemayam di dalamnya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kepada para malaikat seluruhnya untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Kita telah membahas bagaimana tunduk dan bersujudnya kemalaikatan, bahkan iblis sebagai yang disebut pembangkang atau musuh yang nyata bagi manusia pada bab keimanan terrhadap malaikat.

Jasad atau tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel, yang bermula dari satu sel yang membawa genre (sifat lahir, wujud atau bentuk rupa) ayah-ibunya. Di dalam rahim perut ibunya, perkembangan dan pertumbuhannya, sel tersebut membelah diri menjadi dua sel, dan keduanya kembali membelah diri menjadi empat sel. Begitu seterusnya, setiap sel hasil pembelahan selalu kembali membelah dirinya hingga menjadi bermilyar-milyar.

Tidak hanya membelah saja sel-sel tersebut, di dalam perkembangannya, melainkan pula tumbuh berkembang menjadi sel-sel yang berbeda bentuk dan fungsinya masing-masing sesuai kodrat-iradat yang telah ditetapkan kepadanya. Menjadi jaringan yang membentuk organ-organ hingga anggota tubuh. Sungguh kejadian yang teramat rumit dan kompleks.

Bayangkanlah, bahkan dalam setiap harinya, proses-proses setiap segala sesuatu yang sedang berlangsung di bumi ini, berapa ribu atau juta ibu yang sedang mengandung, yang didalam perutnya sedang terjadi milyaran proses kejadian pembentukan (penyempurnaan) bayi manusia. Belum lagi pada hewan-hewan, tumbuhan, hingga kepada bentuk-bentuk makhluk yang lebih sederhana strukturnya. Pada pergerakan angin dan awan, serta lain-lainnya. Belum lagi pada keseimbangan semesta yang terdapat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam milyaran galaksi. Subbahanallah, betapa sibuknya Allah dari waktu ke waktu mengatur sekaligus memelihara semesta alam ini (QS 2:255).

“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”  (QS 55:29)

Jangankan untuk dapat menentukan jumlah materi yang mengisi semesta alam ini, untuk menentukan nilai ukuran besarnya alam ini pun tak pernah ada yang sanggup. Dan tak akan sanggup. Bahkan nilai ukuran materi terkecil pun tak sanggup, dan takkan pernah sanggup. Hanya mampu mengatakan “ke-tak-ber-hingga-an” (~), hampir-hampir penulisannya pun membuat rancu dan membingungkan yang membaca. Ya, ke-tak-ber-hingga-an besarnya alam ini, atau,  ke-tak-ber-hingga-an kecilnya sebuah partikel sub atomik penyusun materi.

Itulah kerumitan yang kita sadari dari membayangkan bentuk lahir yang hanya terlihat oleh mata, tetapi perlu disadari bahwa Allah mencipta segala sesuatu selalu dengan pasangannya. Yaitu juga bentuk bathin yang mengiringi segala sesuatu yang belum kita sadari karena tak terlihat. Bentuk bathin yang berupa energi (kekuatan)-nya inilah yang menjadikan segala sesuatu adalah mudah bagi Allah. Kun fa yaakun. Adalah energi bawaan yang membawa aparat-aparat (malaikat) Allah dalam menjalankan perintah dari segala kehendak yang telah menjadi ketetapan-Nya.

Di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, kemanusiaan dengan setelah kesempurnaan wujud kejadiannya, dan selain diliputi oleh sifat ke-Maha Kuasaan Allah, kemanusiaan diliputi pula sifat ke-Maha Adilan-Nya, maka Dia-pun memberikan kebebasan kepada diri kemanusiaan (dengan jasad dan ruhnya) berupa jalan kebaikan dan keburukan sebagai yang hendak dipilih jiwanya. Disinilah mulai berperannya jiwa sebagai yang bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tentu menunjukkan pula di saat inilah keberadaan jiwa mulai ada dan terasa pada kemanusiaan.

“….. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Seiring dengan pertumbuhan kedewasaanya, jiwa kemanusiaan pun semakin berkembang kepada rasa tanggung jawab dari setiap pilihannya. Kesulitan, kekurangan, kesedihan, dan yang sejenis lainnya adalah suatu kondisi penempaan jiwanya, yang kelak, dapat menjadikannya sebagai termasuk dalam manusia-manusia unggul.

Ya, dengan rahmat keburukan (sebenarnya adalah kebaikan, kelak sebagai yang akan disadarinya), diri-diri kemanusiaan sesungguhnya sedang mengalami penyucian atau pemurnian jiwa-nya menuju kepada kesempurnaan. Itulah fitrah kemanusiaan-nya.

Jasad, Ruh & Jiwa

“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)

Dan cahaya yang merupakan energi adalah asal dari setiap materi, ternyata terus terbawa sekalipun cahaya tersebut telah berwujud sebagai materi, bahkan sebagai materi yang bersenyawa jauh lebih rumit, sehingga menentukan karakteristik-karakteristiknya. Dan pada manusia, yaitu materi dengan bentuk senyawa sempurna yang jauh teramat kompleks, maka sebagai penyusun jasadnya pun berlaku. Energi bawaan yang berkarakter inilah sebagai yang disebut pribadi atau jiwa (aku). Yang sebelum lahir ke dunia jiwa ini telah mengadakan persaksian dengan Tuhannya akan kodrat dan iradat yang ditetapkan kepadanya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)

Energi yang berkehendak dan berkeinginan, yaitu yang setelah sempurna keadaannya, bentuk atau wujud kejadiannya di alam, maka memiliki kebutuhan. Dan saat itulah timbul kehendak serta keinginannnya sebagai aku (ego) yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan angan-angan. Bila sebelumnya, kehendak dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.

Pada ayat 9 surah as Sajdah (32) tersebut diatas, maksud Allah dengan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya, adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.

Jiwa inilah yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat mempengaruhi kejiwaan.

Pada diri atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan  sejati. Tiada pernah memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya.

Juga tidak memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan pemahaman.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)

Kelak setiap diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati, sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).

Bahkan mereka, diri-diri yang menuhankan agamanya, yang karena lebih mengutamakan ego kelompok atau golongannya dengan berlebihan rela melakukan kerusakan malah sampai kepada saling menumpahkan darah. Bahkan mengatas namakan agama-nya, padahal mereka telah  menerima kitab, dan sebagai ahli kitab. Manusia manakah yang tidak menerima kitab? Bahkan di dalam dadanya pun telah ditanamkan kitab-Nya.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

……… Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat. (QS 11:118)

……… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

Jelas dan terang sekali keempat ayat ini menerangkan Bahwa Dia-lah yang memberikan aturan dan jalan yang terang kepada tiap-tiap umat diantara manusia, dan dengan perbedaan-perbedaan Allah hendak menguji diri-diri kemanusiaan agar berlomba dalam berbuat KEBAJIKAN, bukan kerusakan apalagi saling menumpahkan darah. Tidak cukupkah ini menjelaskan?!

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in§, siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)

Berhati-hati dan selalu waspadalah terhadap siasat iblis akan tujuan utamanya untuk menjerumuskan setiap diri kemanusiaan hingga hari kiamat (QS 15:35-36). Demikianlah seperti yang digambarkan firman-Nya di dalam ayat-ayat Al Qur’an  berikut ini pula.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)

Di setiap firman-Nya di dalam Al Qur’an, Allah tidak pernah menyebutkan bahwa Dia meniupkan Ruh-Nya kepada selain manusia. Dan bila lebih seksama merenungkan dan memahaminya secara mendalam, sesungguhnya Dia menghendaki manusia agar menjadi wakil-Nya sebagai yang mewujudkan sifat-sifatNya di bumi. Tidak hanya sekedar sebagai utusan yang membawa pesan-pesan dari-Nya, tidak pula hanya sekedar sebagai khalifah (pemimpin) melainkan juga amanah, sebagai perwujudan Dia ar Raahmanur-Rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), yaitu sebagai khalifah yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk-Nya.

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (QS 2:34)

Satu hal utama yang harus menjadi kewaspadaan pada setiap diri kemanusiaan, yaitu terhadap iblis dengan sifat pembangkangannya terhadap perintah Tuhannya dan sifat takabur (sombong) yang ternyata amat membuat Allah murka, sehingga sebagai yang terkutuk hingga hari kiamat (QS 15:35) dengan neraka sebagai ganjarannya, hingga abadilah kutukan-Nya. Maka hikmahnya adalah, bila diri kemanusiaan melakukan dua sifat tersebut, sesungguhnya dia telah menciptakan iblis di dalam dirinya sendiri untuk menjerumuskan kepada kesesatan yang semakin dalam yang amat membuat Allah murka. Simak kembali bunyi ayatnya, ….. ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah………….. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, …….

Yang diperintah sujud adalah malaikat, dan mereka yang tunduk patuh pun bersujud. Sementara mereka (para malaikat) yang tidak tunduk patuh atau membangkang karena takabur disebutlah sebagai iblis. Maka iblis tercipta dari malaikat, yang sesungguhnya memiliki sifat yang taat dan tunduk patuh pada dasarnya, menjadi pembangkang dan takabur karena sesungguhnya pula sifat-sifat itu ada pada diri kemanusiaan. Pembangkangan dan ketakaburannya tertuju kepada diri kemanusiaan, bukan kepada Allah. Wong, sebelum diciptakannya Adam mereka senantiasa bertasbih dan memuji serta mensucikan nama Allah. Lihat kembali juga pada bab keimanan kepada para malaikat sebelumnya.

Sehingga mereka, diri-diri yang menurutkan hawa nafsu (ego)-nya, sesungguhnya, dirinya sendirilah yang telah menciptakan atau menjadikan malaikat yang sebelumnya tunduk patuh untuk membantu sebagai aparat-aparatnya, kini menjadi iblis pembangkang yang  justru menjadi musuh yang menjerumuskan dan merugikan dirinya sendiri.

Sel-sel di dalam tubuh menjadi tidak bersahabat lagi terhadap satu sama lainya. Mereka membangkang, kerjanya menyimpang dari yang ditetapkan, membuat kerusakan hingga terjadi kegagalan sistem (mal function) pada organ tubuh, sehingga, sesungguhnya, dia sendirilah yang telah menetapkan kodrat-iradat bagi dirinya di hari kemudian sebagai yang merugikan.

Dalam sebuah hadits-nya Nabi memperingatkan, bahwa “ada segumpal daging di dalam tubuh yang apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, segumpal daging itu ialah hati.”  Tentunya hal ini membuktikan betapa keterkaitan yang amat mempengaruhi antara yang bathin dapat menentukan kepada yang lahir. Bagaimana hati seseorang yang kotor, yang selalu menuruti hawa nafsunya, dapat merusak tubuh atau jasadnya. Yaitu penyakit hati yang dapat menyebabkan penyakit di jasad atau tubuh seseorang. Yang telah banyak terbukti, tentunya kita sering mendengar tentang penyakit darah tinggi. Pada skala yang berat, pengaruh pikiran penderita amat berat menekan suasana hati-nya, maka penyakitnya akan lebih meningkat lagi menjadi stroke yang menyebabkan kelumpuhan pada beberapa organ tubuhnya, bahkan hingga pada kematian.

Pikiran kotor yang berada dalam hatinya ini adalah merupakan kebalikan atau lawan dari berserah diri (islam) dengan murni atau ikhlas dan rasa syukur nikmat atas setiap rahmat yang sesungguhnya telah diterima baik yang disadari maupun yang tak disadarinya. Pikiran-pikiran kotor inilah yang menghalangi mata-hatinya dalam memandang kebenaran dan kebaikan yang berada dibalik segala sesuatu yang dilihat mata-lahirnya, yang didengar telinganya, bau yang dicium hidungnya, rasa yang dikecap lidah dan rabaannya, dan lain sebagainya yang pada akhirnya dapat menyesatkan dan menjauhkan diri atau jiwanya dari kebenaran yang haqq.

“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)

“……. kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”   (QS 7:16-17)

“…… pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)

“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)

Begitulah seharusnya memaknai islam (berserah diri), bukan malah sebagai komunitas atau kelompok agama yang dengan eksklusivitasnya merasa berbeda sehingga tidak lagi menjadi rahmat bagi semesta alam, dan bahkan malah merusak dan menumpahkan darah.  Memahaminya secara positif adalah bahwa islam (berserah diri secara ikhlas) merupakan salah satu cara atau jalan di dalam jalan lurus menuju Tuhan untuk saling berbagi dan menebarkan rahmat-Nya.

Umat yang dikehendaki Allah adalah komunitas manusia yang menetapkan keberserah dirian (islam)-nya secara ikhlas, berlaku lurus dan selalu mensucikan amal perbuatan berupa kebajikan, serta selalu ingat dan menyadari akan kuasa lindungan dan pemeliharaan Tuhan Rabb semesta alam.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

……… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Bahkan Allah membenci orang yang shalat tetapi amal perbuatan-nya tak mencerminkan shalat-nya. Seolah-olah orang tersebut tak memahami untuk apa ia melakukan shalat. Seakan tak mengerti lagi, bahwa shalat adalah agar diri terhindar dari perbuatan keji dan mungkar (mengingkari Allah), apalagi perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah.

Mengapa kalimat “perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah” ini berulang-ulang dipakai ketika kita mengulas umat dan agama?  Ini, tidak lain, karena seringnya terjadi perselisihan yang melibatkan banyak orang sehingga kerusakannya pun tentu semakin besar. Dan yang paling mudah tersulut emosi (ego)-nya adalah, dalam kebanyakan kasus, mengatas namakan agama. Dan sepanjang sejarah peradaban manusia, banyak kejadian yang dilatari oleh isu-isu keagamaan yang tercatat sebagai tragedi kemanusiaan. Ingat kembali surah al Baqarah (2) ayat 35, yaitu …… Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, ……. Pada ayat tersebut sepertinya Allah menghendaki agar diri-diri kemanusiaan waspada terhadap perbuatan tersebut yang menjadi perhatian dan kekhawatiran para malaikat bahwa manusia tidak akan mampu menghindarinya. Atau kalimat itu merupakan celaan malaikat terhadap sifat-sifat kemanusiaan? Renungkanlah dengan hati yang tertuju kepada Allah semata, dan semoga Dia memberikan hikmahnya kepada diri-diri kita. Amin.

Dalam kejiwaan ini,  tahapan kejiwaan mengalami tingkatan-tingkatan yang dilaluinya dalam kehidupannya yang panjang. Dan sebagai yang perlu diingat dan menjadi dasar pemahaman, bahwa energi bawaan sebagai yang disebut jiwa, mengalami penyempurnaan seperti penyempurnaan yang terjadi pada bentuk-bentuk lahirnya, yang berasal dari partikel kemudian membentuk unsur, kemudian lagi berinteraksi membentuk senyawa, dan terus menyempurnakan diri kepada wujud-wujud yang lebih kompleks lagi persenyawaan kimianya.  Seperti yang telah diketahui secara umum, tak ada salahnya bila diulas sekilas sebagai tambahan untuk memahami yang akan diurai selanjutnya.

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

Dimulai dari tahapannya ketika masih merupakan materi atau yang disebut benda-benda mati lainnya, sebagai yang disebut al nafs al ammarah, adalah jiwa yang bekerja berdasarkan kodrat dan iradat yang telah ditetapkan kepadanya (seperti di awal bab ini telah diuraikan pula).

Kemudian tahapan kejiwaan berikutnya, al nafs al law-wamah, jiwa yang interaksinya telah dapat merespon lebih variatif lagi terhadap lingkungannya. Jiwa ini bekerja pada tumbuhan dan hewan.

Berikutnya adalah al nafs al mulham-mah, yaitu jiwa yang dapat merespon lebih jauh lagi dari segala sesuatu disekelingnya, yang pada awalnya sebagai petunjuk. Kemudian menimbang-nimbang reaksi yang akan dilakukannya berdasarkan petunjuk tersebut akan nilai-nilai, baik buruk, untung rugi, dan lain sebagainya.

Kemudian yang terakhir sebagai yang tertinggi, al nafs al muthmain-nah, adalah merupakan jiwa yang telah dapat mengendalikan segala sesuatunya demi nilai-nilai luhur.

Keempat tahapan kejiwaan diatas adalah ada yang telah, sedang, dan akan dilalui setiap kemanusiaan. Dua tahapan yang pertama tentu telah dilalui, dan yang ketiga kebanyakan umumnya kemanusiaan sedang menjalaninya sebagai proses menuju tahapan yang terakhir agar dapat kembali pulang kepada Allah SWT. Dan tahapan-tahapan ini sangat berhubungan dengan ulasan pada bab berikutnya tentang yang mempengaruhi jiwa kemanusiaan.

 

 

 

Bab XX

HATI, AKAL & KESADARAN

bagi JIWA

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

 (QS 3:190-191)

Hati atau kalbu (qalb) adalah tempat akal dan kesadaran bekerja dan berperan lebih bernilai lagi bagi kehidupan yang telah dibangkitkan oleh ruh terhadap jasad. Kedua hal tersebut, akal dan kesadaran, sungguh amat mempengaruhi jiwa kemanusiaan. Bila keduanya terganggu maka jiwapun menjadi terganggu pula. Pada tingkat keparahan yang berat gangguan yang menimpanya, disebut gila, maka hukum manapun tak berlaku lagi dikenakan kepadanya. Karena jiwanya dianggap tak ada, sekalipun dia dikatakan hidup, jasadnya masih tumbuh dan berkembang, ruh-nya pun masih melekat, serta masih butuh makan dan minum juga buang air apalagi bernafas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, maupun yang dikatakan sebagai benda mati. Yaitu jiwa-nya.

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)

Kembali kepada keberadaan jiwa, kapan jiwa mulai ada keberadaannya dan menyentuh jasad serta ruh kemanusiaan. Karena begitu dominannya akal dan kesadaran bagi kejiwaan seorang manusia, bahkan hukum manapun (termasuk hukum Tuhan) tak berlaku bila akal dan kesadaran dalam gangguan berat, maka tentunya keberadaan jiwa-pun bergantung dengan keberadaan akal dan kesadaran kemanusiaan. Bagi umat muslim tentunya masa akil baligh, yaitu masa dimana hukum telah dapat dikenakan kepadanya.

Dan dalam kondisi sadar-lah, maka rasa-nya dapat merangsang akal untuk bereaksi bekerja membuat hatinya menjadi lebih hidup lagi menerangi jiwa. Begitupun sebaliknya, dimulai dari hati yang resah atau hati yang memendam kekotoran, maka akal dan kesadaran-nya hanya tertuju pada apa yang ada di dalam hatinya saja, sedang untuk hal-hal lainnya maka akal dan kesadarannya menjadi lemah. Karena energi-nya tersedot kepada penggunaan akal & kesadaran pada hatinya yang kotor, pada saat inilah hawa nafsunya menjadi semakin kuat bergolak dan bisa tak terkendalikan lagi oleh jiwanya.

Keadaan seperti itu, tak selamanya berlangsung, dan bila Allah berkehendak, maka Dia-pun berkuasa menyentuh kesadaran-nya dengan petunjuk (cahaya yang menerangi). Dan sekali lagi akalnya akan berperan, untuk segera beralih atau terus melanjutkan kesesatannya. Bagi jiwa yang menjauhi terang cahaya-Nya, maka diri-nya sendirilah yang sesungguhnya menjauhi cahaya Allah, dan semakin butalah hatinya di dalam kegelapan yang jauh dari terangnya cahaya Allah.

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 7:72)

Kesadaran adalah suatu kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.”  (QS 33:41)

“…… Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (QS 2:198)

Kesadaran dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.

Yang paling terasa dan nyata bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan adalah, produk-produk tekhnologi modern saat ini yang merupakan hasil eksplorasi kesadaran dan akal yang pada awalnya dianggap gila dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang lainnya. Satu contoh saja produk terakhir yang ada sekarang ini, yaitu telepon selular, maka tak terhitung manfaatnya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan. Padahal, pada awalnya mungkin ratusan atau ribuan tahun yang lalu, seperti telepati sebagai cikal bakal produk ini, dianggap sebagai produk takhyul yang tak mungkin. Bila ternyata telepati berhasil dibuktikan, dianggap menggunakan jin dan merupakan perbuatan syirik. Belum lagi pada eksplorasi kesadaran dan akal pada bidang-bidang pengobatan dan kedokteran, yang pada masa-masa awalnya para juru penyembuh disebut dukun atau tukang sihir. Begitulah diri-diri, yang karena ketakutan mengalami kesesatan tetapi justru malah terpenjara oleh ketakutan (kesesatan)-nya sendiri.

Maka pikirkanlah, apa yang akan terjadi kepada mereka yang meremehkan peran kesadaran dan akal bagi kehidupannya? Tentu, sama saja dengan menutup pintu hati-nya dari menerima petunjuk yang dapat memberi kemudahan bagi dirinya sendiri, kelak.  Sehingga dirinya sebagai yang tak dapat merasakan nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya telah banyak diterimanya. Ya, nikmat-nikmat yang sesungguhnya Allah berikan adalah nikmat tunggal, bukan saja tak dirasakan nikmat kebaikannya tersebut, tetapi pula telah berubah menjadi nikmat keburukan. Karena di alam, diri kemanusiaan menerima segala sesuatu selalu bersama pasangannya.

Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu, agar tidak tersesat. Dan sungguh luas makna tersesat dalam ayat ini. Yang dalam makna keseluruhannya adalah menjaga kesadaran dengan mengingat  Allah, maka akan terhindar dari segala macam kesalahan atau tersesat, yang justru, sesungguhnya, akan merugikan dirinya kelak.

Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang di lihat, di dengarnya, di penciumannya, di rasanya, hingga di pikirnya. Akan tetapi kemanusiaan tidak akan langsung mencapai kesadaran tersebut, ada beberapa tahapan sedari awalnya yang pasti dilaluinya jenjang per jenjang.

Kesadaran Jasad (Inderawi)

Kesadaran ini adalah kesadaran yang bekerja pada tahap indera-indera kemanusiaan telah berfungsi. Dimana indera-indera seperti mata telah dapat melihat dengan jelas baik rupa dan bentuknya juga warna-warnanya, telinga pun telah dapat mendengar dengan jelas, hidung dapat mencium bau-bauan, dan lain sebagainya seperti yang telah diketahui secara umum, sehingga dirinya telah dapat berintraksi dengan lingkungannya.

Kesadaran ini telah hadir pada diri kemanusiaan di masa kanak-kanak atau balita, paling tidak usia dua tahun. Maka akan lucu bila ada orang dewasa yang telah matang secara intelektual yang tidak mau mempercayai suatu hal, dan merasa harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, atau mendengar langsung dari sumbernya. Maka orang tersebut masih berada pada tahap kesadaran kanak-kanak. Yang segala sesuatunya dipandang secara nyata terlihat oleh matanya, terdengar oleh telinganya, dan teraba oleh kulitnya. Yaitu serba materi, terjebak dengan paham materialisme sendiri.

Ketahuilah, paham ini sungguh akan mengkungkung jiwanya dari penjelajahan ke tingkat pemahaman-pemahaman yang jauh lebih luas dan tinggi dari sebelum-sebelumnya, sehingga jiwa tidak mendapatkan wawasan yang maksimal.

Seperti gunung yang terlihat jauh adalah berupa onggokan berwarna biru kusam. Setelah didekati ternyata warnanya berubah menjadi hijau kusam. Dan semakin didekati lagi warnya hijau tua. Setelah semakin dekat kita menyadari bahwa warna yang berubah-ubah itu adalah kumpulan pepohonan yang terlihat rapat berwarna hijau tua. Setelah sampai di gunung tersebut, kita tidak lagi melihat onggokan yang berubah-ubah warnanya tersebut, melainkan warna-warni dedaunan dan rerumputan. Bahkan tidak hanya itu, hawa sejuk yang sebelumnya tidak kita rasakan pun hadir menerpa indera-indera kita sebagai yang baru. Belum lagi aneka penghuni di dalam ekosistemnya yang dapat kita ketahui. Itulah salah satu contoh penjelajahan pemahaman yang menggugah kesadaran manusia menuju ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Di kali yang lain, masih terhadap orang seperti ini, yang takkan pernah percaya bila tak melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan dia merasa telah beriman dengan baik dan benar. Termasuk percaya kepada nabi-nabinya, yang tak pernah dapat lagi dilihat, didengar, apalagi diraba atau dicium keberadaanya. Bagaimana mungkin, sedangkan foto atau gambar nabi saja tidak pernah ada. Dalam hal ini dia dapat mempercayainya. Maka bagaimana pula imannya kepada Tuhan?

“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)

Suatu dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi di dalam kehidupan sehari-hari dia hanya mau menerima yang realita saja, tetapi di sisi lainnya, yang menyangkut keagamaannya, dia secara taklid dapat menerima sebagai yang diyakininya tanpa pengetahuan yang mendasari segala sebab akibat. Sehingga makna ikhlas dalam keberserah dirian (islam)-nya tidak menjadi hal yang mendasari setiap amal perbuatannya.

Begitulah Allah menghendaki setiap diri kemanusiaan menggunakan hati dan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang banyak tersebar di alam ini, yang juga dapat bermanfaat bagi kehidupannya.

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi itu sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, segala puji bagi Allah. Tetapi kebanyakan mereka tak memahaminya.”  (QS 29:63)

Bila kita mau jujur, justru yang seperti inilah yang ternyata menghinggapi kebanyakan manusia. Dimana imannya adalah merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya. Sekali lagi, kesadaran ini adalah tahap kesadaran kanak-kanak. Layaknya anak-anak yang ketika ditanya bukti-bukti atas pernyataanya maka mereka akan menjawab, “begitulah yang dibilang ayah dan ibuku kepadaku.”

Kesadaran Ilmiah (Rasional)

“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)

‘ilm al yaqqin

Kesadaran setiap diri kemanusiaan seharusnya berkembang, dari yang semula hanya merupakan kesadaran kanak-kanak naik kepada yang diatasnya, yaitu kesadaran yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Ya, kesadaran ilmiah yang berdasarkan tingkat rasionalitas yang ada pada dirinya yang juga seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.

Sesungguhnya, orang-orang yang telah mengamalkan ilmunya, baik yang didapat dari bangku pendidikan atau selainnya, sebagai orang yang telah menggunakan kesadaran ilmiahnya. Jika belum sampai diamalkan atau dipraktekkan, tetap saja merupakan kesadaran inderawi. Teori, atau hanya angan-angan belaka. Karena bila ditanya bukti-bukti pernyataannya, jawaban yang adapun seperti layaknya jawaban anak-anak, “begitulah yang dibilang guruku kepadaku.” Atau jawaban seperti ini, “begitulah yang dibilang si fulan kepadaku.”

Seperti di masa kecil, kita mendapat pengetahuan bahwa bumi-lah sesungguhnya mengelilingi matahari. Padahal yang dilihat matanya yang bergerak adalah matahari, saat pagi matahari terbit di Timur dan tenggelam sore harinya di Barat. Akalnya belum bisa menerima pengetahuan itu, dan hatinya tak puas.

Lama sekali setelah sampai di masa remajanya, dan hampir-hampir saja terlupakan, hatinya yang masih tak puas  terhadap pengetahuan tentang gerak revolusi bumi itu, saat ia bepergian ke luar kota bersama teman-teman dengan menggunakan kereta api, yang dalam lamunan dengan kepala menyender ke jendela kaca dan melihat pemandangan, tiba-tiba hatinya tersentuh, akalnya terbuka. Ya betul, apa-apa yang dilihatnya barusan, yang berada di luar kereta api, pepohonan dan rumah-rumah serta benda lainnya yang sebenarnya tak bergerak menjadi terlihat bergerak, sedangkan dirinya yang sebenarnya sedang bergerak bersama kereta api yang ditumpanginya terasa tak bergerak. Begitupun ketika seseorang di dalam pesawat dalam perjalanannya, tentu tak merasakan dirinya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, bahkan jauh melebihi kecepatan kereta api, kecuali bila kesadarannya mengingatkan itu.

Begitulah Allah memberi petunjuk kepadanya, dan masih banyak cara Allah dalam memberikan petunjuk-Nya secara misterius, yang tak disangka-sangka ketika datangnya.

Suatu kesadaran yang disandarkan kepada ilmu tentunya harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebenarnya tahapan kesadaran inipun masih dalam taraf materi atau bentuk lahir. Belumlah menyentuh kepada yang bathinnya. Karena, ternyata, begitu banyaknya yang tak terlihat dibalik yang kita lihat dengan mata lahir kita.

Kesadaran inipun sebenarnya terbantukan oleh hadirnya banyak alat-alat bantu canggih modern yang canggih, seperti mikroskop elektron-optik, teleskop, satelit, radar, GPS, radio, televisi, komputer, handphone dan lain-lainnya yang sungguh-sungguh membuat kemudahan bagi manusia untuk dapat membuka kesadaran-kesadaran tahap-tahap selanjutnya.

Contohnya, bila kita buka Al Qur’an Surah al Mu’minuun ayat 14, yang memberitatakan tahap pertumbuhan janin di dalam rahim sang ibu, maka dengan adanya alat USG kita pun dapat memonitor secara langsung bagaimana pertumbuhan seperti yang diungkapkan ayat tersebut.  Jadi tidak lagi menjawabnya seperti anak-anak menjawab, “begitulah yang aku baca di dalam Al Qur’an.”

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)

Sekalipun kita meyakini Al Qur’an adalah kitab berisi wahyu Tuhan yang penuh kebenaran, tetapi jauh lebih sempurna kita meyakininya dengan keyakinan yang nyata yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan keyakinan buta.

Di alam ini begitu banyak tersebar petunjuk kepada pemahaman yang menggugah kesadaran kita serta dapat menggiring jiwa kita kepada kesadaran-kesadaran pada tahap-tahap selanjutnya yang lebih tinggi dari sebelumnya. Serasa masih banyak lagi yang belum diketahui bagaikan rahasia-rahasia yang menyelimuti kedalaman lautan, yang dari luar permukaannya terlihat tenang  tetapi banyak misteri kehidupan di dalamnya.

Contohnya lagi adalah, bintang-bintang yang bertebaran di langit malam yang menggugah kesadaran manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu astrologi (dulu ilmu falak) kemudian berkembang kepada mempelajari musim-musim sehingga berguna pada perkembangan pemahaman dalam penentuan musim tanam pada pertanian, dan pada kelautan yang berguna bagi nelayan, bahkan juga kepada pengetahuan navigasi bagi para penjelajah yang tertarik pada penemuan-penemuan daerah-daerah baru sebagai daerah jajahan yang hendak dikuasainya.

Dan dunia pun semakin kesini semakin terasa sempit setelah kesadaran demi kesadaran terkuak satu per satu. Sekarang ini bahkan, setelah internet telah dapat diakses oleh siapapun, dalam hitungan detik kita dapat mengetahui keadaan suatu daerah sekalipun nun jauh di negri atau benua lain. Akan tetapi, semakin diketahui satu per satu, semakin pula mengundang yang lain berikutnya untuk diketahui dan dikenalnya, seakan tak pernah habis-habisnya.

“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)

Allah memang kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas, akan tetapi Dia pun menyatakan kepada mereka yang mau menggunakan akalnya itulah maka Allah berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya.

Jadi, semakin manusia menggunakan akalnya, maka semakin terbukalah kesadaran-kesadaran yang akan ditemuinya sebagai yang wajib disyukurinya, kelak. Karena telah memberinya kemudahan-kemudahan bagi yang sebelumnya terasa menyulitkannya. Yang kelak pada kesadaran tahap tertinggi, dimana hati pun ikut berperan selain akalnya, maka keimanan bukan lagi sekedar keyakinan, melainkan sebagai realitas yaitu kenyataan yang terlihat, terdengar, terrasa, tercium, bahkan terraba. Bahwa keyakinannya bukanlah cerita omong kosong para orangtua pendahulunya, melainkan perjalanan panjang kesadaran jiwa menuju sebuah kenyataan yang hakiki.

Sebenarnya, dari ayat di atas pula, menjadi timbul pemahaman pada diri ini, bahwa adanya paham Jabariyah dan Qadariyah adalah pasangan paham yang tumbuh di dunia pemikiran muslim, seperti layaknya pasangan malam dan siang atau yang lainnya, yang keduanya adalah kebenaran, dan akan menjadi kesalahan bila salah satunya dihilangkan atau dianggap tiada. Kita takkan mencapai pemahaman ini, bila sebelumnya tak mencapai pula kesadaran bahwa segala sesuatu Allah ciptakan saling berpasangan. Bahkan termasuk dengan pemikiran kita.

Jika inderanya saja belum mampu mengetahui dan menyadari segala sesuatu yang nyata wujudnya, maka bagaimana hendak beralih hendak memahami kepada segala yang bathin dan masih ghaib serta jauh sekali dari akal pemikirannya? Tetapi keyakinannya terhadap adanya segala sesuatu yang tak tampak dari apa-apa yang dilihat oleh mata lahirnya, membuat jiwanya terus menerawang berusaha dapat menembus selaput-selaput yang menyelimuti pandangan mata hatinya.

Pada saat itulah jiwanya mengalami awal transformasi kesadaran menuju kepada kesadaran yang lebih tinggi. Yaitu menuju kepada kesadaran ruhani yang halus dan lembut, yang sesungguhnya hanya dapat ditembus juga oleh hati yang halus dan penuh kelembutan.

Kesadaran Ruhani

“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)

‘ayn al yaqqin

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, ruh adalah eksistensi yang tersembunyi dan bersifat halus (ghaib) tak terlihat, tak terdengar,  tak tercium, bahkan tak terraba. Tetapi bagi hati yang peka maka akan terrasa keberadaannya. Maka tentunya kesadaran pada tahap ini sungguh adalah kesadaran yang amat sulit bagi umumnya jiwa kemanusiaan, kecuali mereka yang di dalam hatinya sebanyak mungkin menghilangkan kekotorannya.

“…..sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Apa hubungannya hati yang bersih dengan hal ini? Tidak usah kepada kesadaran tahap yang tinggi ini, kepada kesadaran yang terendah saja, yaitu kesadaran jasad (inderawi), akan menjadi tidak berguna bila hati kita sedang dipenuhi kekotoran, seperti lamunan misalnya.  Terkadang orang di sekitar berbicara apapun kita takkan mengerti, jangankan untuk paham, mendengar sajapun tidak. Terkadang guru atau dosen menerangkan sejauh manapun, murid atau mahasiswanya pun yang sedang dilanda problema di hatinya, menjadi percuma, karena jangankan akan dimengerti, didengarnya saja pun tidak. Atau bahkan bila sedang disibukkan lamunan, kita tak menyadari kehadiran seseorang atau apapun.

“Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.(QS 12:105)

“……. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.(QS 30:59)

Hatinya sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”. Menjadi hal yang tak mungkin.

Itulah sebabnya Allah mengingatkan kita agar ber-ta’awudz, memohon perlindungan-Nya dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari bisikan-bisikan yang menyesatkan yang dilakukan oleh utusan-utusan iblis (setan) untuk  menyimpangkan makna-makna yang dibaca.

Memohon perlindungan-Nya agar terhindar dari kesalahan, penyimpangan, ataupun kesesatan. Sungguh di dalamnya, Al Qur’an itu, banyak terkandung petunjuk dan hikmah sebagai kebenaran yang haqq dari Tuhan Yang Maha Haqq. Jika membaca Al Qur’an yang suci saja kita dianjurkan untuk berlindung dari penyesatan setan, maka apalagi kepada hal-hal yang jelas kesuciannya meragukan, akan menjadi wajib bagi kita untuk terus benrlindung dalam kuasa Tuhan.

“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)

Kesadaran ini adalah tahap kesadaran awal untuk dapat mengenal Tuhannya. Suatu kesadaran untuk dapat memahami segala apa yang sebelumnya hanya sekedar diimani atau diyakini, tanpa pernah dapat memuaskan hatinya. Dimana hal inilah yang menyebabkan hatinya mudah berubah-rubah, sebagaimana dikatakan banyak orang sebagai yang tak memiliki keteguhan di hatinya. Selalu dalam kebimbangan, keresahan, kesempitan, bahkan hingga kepada tak dapat mensyukuri segala rahmat Tuhan yang telah banyak diterimanya selama ini.

Untuk mengasah dan masuk lebih dalam lagi kepada kesadaran ini, maka selalu ingat dan memohon perlindungan-Nya dari kesesatan pemahaman yang dibisikkan setan atau iblis kepadanya, sebagai awal mengasah kepekaan menjadi lebih tajam dari sebelum-belumnya.

Di perjalanannya, menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego) dengan berusaha berserah diri secara ikhlas, menyempatkan diri dengan mengambil waktu-waktu tertentu di kesunyian dan keheningan malam untuk melakukan perjalanan malam (isra’) menuju dan mendekati Tuhannya. Maka tunggulah dengan kesabaran juga rasa syukur dan ikhlas berserah diri, hingga pada suatu waktu kelak, yang dengan kehendak-Nya, maka Dia akan memberikan hikmah-Nya sebagai karunia yang besar. Sempatkanlah.

Kesadaran ruhani ini adalah kesadaran yang mulai menyadari bahwa adanya eksistensi Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu yang telah diketahuinya, kemudian mengatur keseimbangannya agar terjaga, hingga kepada memelihara hidup dan kehidupannya. Dan itu berlangsung terus menerus, tiada henti dari awal yang tak pernah diketahui siapapun dan berakhirnya pun tanpa pernah diketahui siapapun. Hanya Dia Yang Maha Sempurna sendirilah yang mengetahuinya.

Sayangnya kesadaran ini mulai timbul dan terasa, pada umumnya kemanusiaan, adalah pada usia produktivitasnya sedang tinggi-tingginya, yaitu pada kisaran usia antara 30-50 tahun. Dimana pada usia-usia tersebut umumnya kemanusiaan disibukkan oleh urusan dunia-nya, seperti antara karir dan nafkah kebutuhannya saling berebut untuk mendahului, membuat kesadaran ini menjadi terabaikan oleh hatinya yang sibuk.

Kesadarannya ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas, yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin.  Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.

Bagaimana tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran (bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.

Bumi yang bisa tak dianggap keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini, ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)

Maka hatinya yang terpesona pun bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)

Menyadari kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan  jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya secara amat sempurna dan menakjubkan.

Keterbatasannya yang membuatnya hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut. Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.

Kesadaran Sejati (Realitas Tunggal)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)

haqq al yaqqin

Kesadaran ruhaninya telah mengakui eksistensi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya berperan dalam segala hal terhadap segala sesuatu di jagat raya ini. Tetapi, baginya, keberadaan-Nya tersebut masih tersembunyi.

Ya, matanya memang belum melihat, telinganya pun belum mendengar,  akan tetapi hatinya-lah yang merasakan kehadiran-Nya. Membuat jiwanya semakin merasa dahaga menginginkan untuk dapat bertemu demi menyatakan keyakinannya menuju yakin yang dapat diketahuinya. Tentu mudah untuk mengetahui keberadaan hujan dari mengalami kehujanan. Akan tetapi keyakinannya tersebut tentu pembuktiannya tak semudah itu.

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam sia berkata, sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”  (QS 6:75-79)

Renungkanlah makna bunyi ayat di atas …. sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ….. Setelah beliau (Ibrahim) kebingungan sendiri, akhirnya dia berserah diri kepada siapapun yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi dari usaha pencariannya yang tak memuaskan hatinya. Begitulah wujud manusia yang hanif, yang berusaha meluruskan kembali tujuan utamanya agar tak tersesat.

Perjalanan jiwa dalam menapaki kesadaran demi kesadaran amatlah panjang dan tak mudah. Hal ini karena amat pula dipengaruhi oleh kejernihan hati serta penggunaan akal dari setiap apa yang dilihat, didengar, dicium, diraba, yang kesemuanya agar dapat dirasakan untuk dapat diolah lagi sebagai informasi yang berguna bagi pemahaman yang haqq atas segala sesuatu.

Sesungguhnya ini pula sebagai proses menuju kedewasaan dan kebijakan  yang amat berguna bagi jiwanya. Tentu di perjalanannya pasti bertemu dengan segala macam yang menjadi rintangan, yang sesungguhnya bila direnungkan, justru adalah bagian dari proses penyucian yang dapat memurnikan segala tujuan kepada hanya tujuan tunggal.  Tujuan dari segala tujuan, yaitu Dia Yang Maha Sempurna, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Tunggal.

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.”   (QS 18:14)

Kesadaran ruhaninya pula yang berjasa membawanya kepada Realitas Tunggal, bahwa segala apa yang dilihatnya adalah karena telah diberi penglihatan sebagai anugerah dari-Nya, sekalipun tak pernah ia merasa minta untuk diberi penglihatan.

Sekarang, setelah menyadari betapa penting dan bergunanya penglihatan bagi kehidupan, baru menyadari bahwa ia diberi tanpa meminta. Tentu dulunya, ketika masih di dalam kandungan ibunya sebagai waktu yang tepat untuk meminta, maka jangankan meminta penglihatan dengan perangkatnya berupa bola mata serta syaraf-syarafnya, mengerti fungsinya pun tidak.

Begitupun kepada pendengaran, penciuman, dan banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya diberikan Allah sebagai anugerah yang lupa untuk dapat disyukurinya. Bagaimana dapat mensyukurinya, memahami fungsi pentingnya bagi kehidupannya saja baru saat ini. Sungguh lalai jiwa ini terhadap kasih dan karunia-Nya. Dan telah puluhan tahun kelalaian ini berlansung tanpa disadari.

Padahal masih banyak lagi yang belum kita sadari, dan ternyata telah bekerja membantu dan mempermudah kita dalam kehidupan ini. Apakah jiwa kita menyadari, siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan jantung untuk berdetak dan memompa darah keseluruh tubuh agar terpenuhi suplay makanan dan oksigen bagi sel-sel yang membangun tubuh kita?

Dan siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan paru-paru untuk bekerja demi pernafasan yang dibutuhkan tubuh kita?

Dan siapa pula yang sesungguhnya mengatur dan memerintahkan sel-sel untuk membelah dirinya untuk mengganti sel-sel lain yang telah mati?

Siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan syaraf-syaraf menyalurkan setiap informasi yang masuk dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa panas atau dingin, rasa yang menyenangkan atau yang menyedihkan, rasa puas atau kecewa?

Bagaimana bila Dia Yang Maha Sempurna libur sehari saja dalam pemeliharaan-Nya terhadap kita seluruh makhluk-Nya?

Tentunya masih banyak lagi yang belum kita ketahui sesungguhnya, yang telah terjadi dari semenjak lahirnya kita, bahkan membuat lupa diri dengan menjadikan pengakuan (ego)-nya lebih kuat. Merasa sombong, berbangga diri, merasa kuasa dan sekehendak hati, bahkan terhadap tubuh sendiri, karena merasa memiliki, merasa telah mengetahui banyak hal, maka menyepelekan hal-hal lainnya dan mengutamakan apa yang menjadi hawa nafsu-nya. Yang padahal sesungguhnya Allah-lah pemilik, penguasa, dan pemelihara langit dan bumi serta apa-apa yang berada dan diantara keduanya, termasuk segala sesuatu yang berada di tubuh atau jasad kita. Semuanya, termasuk dengan ilmu, akal, dan rasa kita adalah karena kemurahan-Nya.

Bernafas pun karena kemurahan-Nya. Pernahkah merasakan sakit flu? Dimana saat malam tiba, mengalami kesulitan tidur yang disebabkan tenggorokan gatal membuat batuk-batuk, telinga tersumbat dan berdengung yang mengganggu pendengaran, di sekitar mata terasa bengkak dan berair yang mengganggu penglihatan, hidung tersumbat terasa susah untuk bernafas. Begitulah tubuh ini menjadi banyak terganggu hanya karena virus flu yang menyerang kita. Hanya karena satu sebab, maka efek berantainya amat mempengaruhi banyak yang lainnya, kemudian menjadi sebab-sebab lainnya yang menyebar sehingga menyulitkan banyak hal dalam beraktivitas.

Dia Yang Maha Sempurna sebagai Eksistensi dari segala eksistensi-Nya, Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya, dan Dia-lah Realitas Sejati Yang Maha Tunggal dari setiap realita yang memenuhi langit dan bumi.

Dia-lah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu tersebut. Sedang Dia sendiri tak berawal juga tak berakhir (wa awalu wa akhiru). Dia-lah sumber segala sesuatu, pusat dari segala sesuatu berangkat dan pusat segala sesuatu kembali pulang (inna lillahi wa inna ilay’ihi raji’un).

“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.”  (QS 13: 22)

Ada hikmah yang dapat kita ambil dari penggalan ayat di atas yang mengatakan, …. menolak kejahatan dengan kebaikan, …. Yaitu dengan memaknainya, bahwa mendahului perbuatan kebaikan sesungguhnya dapat terhindar dari kejahatan yang akan datang kepada dirinya. Bagaimana mungkin orang tega melakukan kejahatan kepada orang yang selalu melakukan kebaikan, sedangkan kebaikan-kebaikannya itulah yang ternyata menjaga dirinya dari kejahatan karena tertanam di benak orang-orang di sekitarnya.

Jika menanam kebaikan maka yang tumbuh dan berkembang adalah kebaikan pula, disamping itu tumbuh pula keburukan sebagai rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan itu sesungguhnya pula adalah proses menuju kemurnian atau kebersihan diri. Ibarat menanam padi (sebagai kebaikan) di sawah, maka yang tumbuh dan berkembang adalah tanaman padi, tetapi secara bersamaan tumbuh pula rerumputan di sekitarnya yang mengganggu (sebagai keburukan). Sedangkan bila yang ditanam adalah rerumputan (keburukan), maka jangan sekali-kali berharap akan tumbuhnya tanaman padi (kebaikan). Suatu hal yang mustahil. Begitulah sunathullah sebagai ketetapan-Nya, dan tidak ada yang berubah dari fitrah ketetapan-Nya, kecuali Dia menghendaki lain.

“…… maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

Dan kita akan mengulas lebih jauh dan lebih luas lagi mengenai kebaikan atau kebajikan ini, disebabkan telah mulai sedikit memahami keberadaan Realitas Sejati sebagai Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya. Dan tiada keburukan sedikitpun yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Tetapi, karena di alam, maka manusia pun menilai segala sesuatu sebagai yang berpasangan, menilainya sebagai baik atau buruk, senang atau sedih, pahit atau manis, dan lain sebagainya. Padahal segala sesuatu yang Allah berikan adalah rahmat (kebaikan), maka bagi jiwa yang di hatinya banyak kekotoran, rahmat yang merupakan kebaikan menjadi hal yang buruk dirasakan menimpanya. Yang ternyata pula, pada akhirnya, kelak, hal tersebut berguna bagi dirinya, yaitu karena sedang mengalami pelatihan atau pembersihan bagi memurnikan jiwanya dari kekotoran.

Bila dapat merasakan nikmatnya makan makanan yang enak-enak yang menggugah selera hingga kenyang dan puas, maka nikmatilah pula perut kencang dan mulas hingga ingin ke belakang untuk buang air. Begitulah di alam.

Bagai cahaya matahari yang sampai ke bumi yang merupakan rahmat Tuhan yang besar bagi kehidupan, tetapi ada pula bagian bumi yang tidak terkena cahaya tersebut sebagai bagian dari wilayah bumi yang gelap, tentu bukanlah berarti sebagai keburukan dari rahmat-Nya melainkan  yang sedang mengalami malamnya.

Bila dapat menerima malam yang gelap sebagai kebaikan pula seperti layaknya menerima siang yang terang, mengapa tak dapat menerima kesedihan seperti layaknya menerima kebahagiaan? Mengapa tak dapat menerima kesulitan layaknya menerima kemudahan? Hingga tak dapat menerima kematian layaknya menerima kehidupan?

Tahapan kesadarannya meningkat lagi kepada menyadari dan bersyukur atas apa-apa yang telah diterimanya adalah merupakan rahmat dari Tuhannya. Yaitu telah dapat menikmati keburukan sama seperti ketika menerima kebaikan, menikmati sakit sama seperti menerima sehat, menikmati kesulitan sama seperti ketika menerima kemudahan, menikmati kesedihan sama seperti ketika menerima kebahagiaan, menikmati kekurangan sama seperti ketika menerima kecukupan, dan lain-lainnya. Baginya semuanya itu adalah sama, tiada dualitas. Merupakan pasangan dari segala sesuatu, sedangkan segala sesuatu bersumber dan mengarah kepada Allah sebagai Yang Maha Tunggal. Pada tahap inilah, kesadaran telah mencapai tahap tertinggi yang hendak menuju tempat terakhir.

Dan pada usaha mencapai tahap kesadaran ini pula, maka berdzikir (mengingat) Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah suatu cara paling baik dalam melatih diri untuk menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang dilihat, didengar, dipenciumannya, dirasa, hingga dipikirnya. Hingga pada suatu waktu kelak sampai kepada, Allah-lah yang sesungguhnya ada dilihatnya, didengarnya, diciumnya, dirasanya, sampai kepada yang ada dipikirnya. Sehingga pula dirinya pun telah sampai kepada menyadari, bahwa sesungguhnya yang melihat adalah Allah, sesungguhnya yang mendengar adalah Allah, sesungguhnya yang mencium bau adalah Allah, sesungguhnya yang merasa adalah Allah, bahkan sesungguhnya yang berpikir pun adalah Allah. Dan dimanakah jiwanya? Jiwanya hanya ada di setiap nikmat-Nya.

Manusia itu hanya menerima segala rahmat dari Allah raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), tidak kurang dan tidak lebih sebagai yang telah ditetapkan-Nya. Dari mulai nafas, hidup dan rezeki kehidupan, mati, dan dibangkitkan. Maka apakah yang utama dari hal-hal tersebut? Dapat merasakan nikmatnya-lah yang utama, oleh sebab itu bersyukurlah yang banyak pula kepada-Nya.

Itulah  ketauhidan murni, telah memahami Realitas Tunggal sebagai sejatinya realita dari segala realita yang ada di alam. Sehingga kemanapun menghadap, timur, barat, selatan dan utara, atas dan bawah maka yang ditemuinya adalah Dia. Sejauh manapun akal berpikir, maka tiada lepas dari semakin menyadari keagungan Dia Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya menguasai, mencipta, dan memelihara segala sesuatu. Maka jiwanya pun akan menjaga hawa nafsunya dari kesesatan yang dapat disesalinya kelak. Karena telah menyadari dirinya adalah wujud sempurna yang terpuji (muhammad, yang dimaksud bukan Muhammad bin Abdullah nabi SAW) sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Sempurna dan Maha Terpuji. Sebagai wujud yang mewakili perwujudan sifat-sifat Allah di alam.

 

 

 

Bab XXI

PERJALANAN KEHIDUPAN

JIWA

“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

 (QS 67:2)

Rasanya tidak tepat bila diterjemahkan sebagai menguji, karena tentu Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, maka tentu telah mengetahui pula siapa-siapa yang lebih baik amalnya. Sehingga ayat ini akan lebih tepat dimaknai, bahwa melalui kematian dan kehidupan, Allah sesungguhnya melatih manusia untuk mencapai amal terbaiknya. Bila belum  (bukannya tidak) seperti itu, tidaklah mengapa, karena segala sesuatunya akan mengalami prosesnya sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Sekalipun prosesnya panjang, berliku, dan berkali-kali sebagai suatu siklus, tidaklah menjadi soal bagi-Nya, karena tempat (alam) dan program (sunathullah)-nya semua telah disediakan dan disiapkan oleh-Nya.

Ya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan merupakan alam tempat penggodokan kekotoran yang melekat agar terlepas dari jiwa manusia, sehingga mencapai kemurnian atau kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Jadi, kematian bukanlah perjalanan langsung untuk kembali pulang, melainkan salah satu proses penyucian jiwa. Karena yang dapat kembali pulang kepada-Nya hanyalah jiwa-jiwa yang telah suci. Ketika diciptakan dalam keadaan suci, maka saat kembali pun harus dalam keadaan suci. Apakah mungkin jiwa yang masih melekat padanya kekotoran, dapat kembali masuk kepada Dia Yang Maha Tunggal dan Maha Suci?

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Perjalanan jiwa diantaranya sebagai yang mengalami kehidupan dan kematiannya, yang merupakan sarana pemurnian dan pembersihan jiwa-nya agar dapat kembali pulang kepada Allah, adalah seperti pula proses-proses segala sesuatu lainnya di alam ini. Seperti proses tidur dan bangun, proses terjadinya hujan, proses terurai-bergabungnya unsur-unsur pada senyawa kimia, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang kesemua proses-proses tersebut merupakan siklus atau kejadian yang berulang-ulang sebagai yang harus dilalui.

Apakah lebih jauhnya, makna ini dikaitkan dengan reinkarnasi-nya agama Hindu dan Budha, adalah tak menjadi soal. Apakah bila adanya perbedaan menjadi sebuah kesalahan, dan bila adanya persamaan pun juga merupakan kesalahan? Apakah hal yang penting, menjadi berbeda dengan lainnya? Masalahnya bukan pada perbedaan atau persamaan, melainkan adalah kebenaran yang haqq. Mendapatkan makna atau pemahaman yang benar adalah hal utama. Mari kita simak ayat di bawah ini,

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)

Bila kehidupan dimaknai hanya di alam dunia  (saat ini) saja, dan setelah mati maka tak ada lagi kehidupan, tentu juga adalah pemahaman yang salah. Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.

Kehidupan di alam-alam tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan alam dunia,  kehidupan alam kubur (barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian dari hari-hari agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.

“Yang menguasai hari-hari agama.”  (QS 1:4)

Yaitu hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.

Kehidupan di alam-alam tersebut pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula. Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan-kehidupan tersebut.

“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)

Maka jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.

Pemahaman dari ayat tersebut diatas maka akan melebar, pernah salah seorang sahabat rasul Allah Muhammad SAW bertanya,  “dimanakah neraka ya rasul Allah, bila surga telah memenuhi langit dan bumi?”  Maka dijawab rasul dengan bijak dan balik bertanya, ”berada dimanakah malam bila siang telah datang?”

“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)…….”  (QS 11:106-107)

Pemahaman sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)

Ayat ini menggambarkan kejadian hari akhir (kiamat qubra), yaitu peluruhan semesta alam beserta isinya, yang digulung menjadi padat dan mengecil, seperti menggulung lembaran kertas. Begitulah Allah menerangkan kejadian akhir alam semesta beserta isinya, yang prosesnya seperti memulai penciptaan pertama alam semesta yang juga beserta isinya. Dan kejadian-kejadian tersebut pun merupakan proses siklus hidup-mati alam semesta, karena Allah dengan tegas mengatakan sebagai yang akan mengulanginya kembali, bahwa hal tersebut merupakan janji yang pasti akan ditepati-Nya. Kemudian simak pula ayat di bawah ini yang menerangkan pula masa-masa awal penciptaan bumi dan langit.

“…. bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…….” (QS 21:30)

Setelah kejadian kiamat qubra (QS 21:104), dan berpadunya kembali langit dan bumi. Mulai kembalilah proses siklus penciptaan kembali langit dan bumi, yang memisahkan keduanya dari keterpaduan sebelumnya (QS 21:30). Pada saat inilah sebagai yang disebut, bahwa segala sesuatu dibangkitkan dan dikumpulkan di padang masyhar untuk menjalani perhitungan hisab yang menentukan kehidupan selanjutnya, yaitu di bumi yang baru dan langit yang baru.

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)

Itu adalah merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali (QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya.

Bila hari akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur secara bersama-sama.

Akan tetapi, jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).

Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)

Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan menjadi tumbuh menghijau kembali.

“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)

Bukan hanya setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu (baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian (akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir. Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya, akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari amal perbuatan sebagai sebab hingga terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.

Pekerjaannya dan perdagangannya pun adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkannya. Bila pekerjaannya buruk dan malah merugikan perusahaannya bukan tidak mungkin turun jabatan atau malah dipecat sebagai hari pembalasan-nya. Dan bila dalam perdagangannya hanya demi menguntungkan dirinya sendiri tetapi merugikan pembeli, bukan tidak mungkin para pembeli dan langganannya kabur bahkan meninggalkan kebangkrutan sebagai hari pembalasan-nya.

Begitu banyak kategori hari akhir untuk dimaknai, seperti akhir dari hari ini adalah pas jam 24.00 malam nanti. Lewat dari dari itu sudah besok atau lusa namanya, dimana keduanya adalah sebagai hari kemudian disebut namanya.

Pada masa-masa sekolah, hari akhir-nya adalah saat bel tanda pulang berbunyi. Besok-besok kembali sekolah lagi sebagai hari kemudian-nya. Saat bagi rapor pun adalah hari akhir masa-masa tingkat kelasnya sekarang, masa liburan pun adalah masa penantian menunggu untuk kembali ke kehidupan kelasnya yang telah meningkat. Begitulah bertingkat-tingkat dan semakin berkualitas.

Masing-masing tingkatan memiliki nilainya sendiri-sendiri. Semakin tinggi nilainya dan berbekas bagi jiwanya, maka semakin sedih dan berat dia menghadapi hari akhir-nya. Begitu pulalah pada kematian, begitu banyak kenangan yang indah yang memberatkan jiwanya untuk mau berpisah. Padahal jelas kualitas hari kemudian-nya jauh lebih baik.

Jika di kehidupan dunia, menghadapi masa-masa akhir, seperti kenaikan kelas, lulus sekolah, atau bila diterima kerja, bahkan naik jabatan, hati terasa dag dig dug, bisa timbul rasa senang atau rasa takut, yang jelas pula merupakan kegelisahan akan masa-masa yang akan dihadapinya sebagai hari kemudian-nya.

Bagi mereka yang telah mantap dan siap untuk menghadapinya, tentu kegelisahannya takkan membuat rasa takut yang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi bagi mereka yang tak siap dan mantap hatinya, tentulah kegelisahannya dapat saja malah membuat dirinya menemui kesulitan-kesulitannya kelak.

Hari kemudian setelah kematian pun sebenarnya seperti itu, karena amal perbuatan, atau bagi yang menyadari bahwa amal perbuatan di dunia adalah merupakan tugas kerasulan yang juga merupakan fitrah-nya sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sebagai tugas besar, maka pertanggungan jawabnya pun adalah hal yang besar. Ingatlah, hidup dan mati adalah seperti tidur dan bangun tetapi dengan skala waktu yang panjang.

Maka menjadi penting dan sangat utama seseorang menghadapi kematiannya dalam keadaan islam. Memaknainya pun jangan hanya “dalam keadaan beragama islam”, melainkan islam yang dimaknai sebagai dalam keadaan berserah diri secara ikhlas hanya kepada Allah semata.

Kebanyakan orang menjadi salah kaprah dan berlebihan dalam menilai makna islam jika dikaitkan sebagai agama, akan menjadi berkembang kemana-mana dan membuat kabur atau hilangnya makna asal yang sesungguhnya amatlah penting. Renungkanlah kembali makna islam (berserah diri secara ikhlas) yang sesungguhnya hanyalah salah satu jalan dari jalan-jalan terang-Nya, sebagai salah satu aturan hidup dalam menuju-Nya.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama qayyimaah (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

Makna-makna yang salah kaprah dan berlebihan yang dikembangkan kemana-mana yang mengaburkan makna asalnya dapat menyebabkan pula mengaburnya bahkan hilangnya kesadaran diri, hingga malah menyesatkan jiwa kita sendiri. Saat seperti itulah malaikat berubah menjadi iblis pembangkang yang membisikkan fanatisme berlebihan dalam segala tindakan amal perbuatan. Inilah yang menyimpangkan makna seperti timbulnya rasa paling benar sendiri, paling tahu sendiri, paling suci sendiri. Yang kesemuanya adalah rasa superioritas sebagai perwujudan sifat iblis, sehingga menganggap selain kelompoknya yang tidak sealiran dengannya adalah salah, sesat, kafir, dan musyrik.

Justru amal perbuatan seperti tersebut adalah yang menghilangkan keberserah dirian (islam) kita yang seharusnya selalu terjaga. Bayangkanlah, bahkan penyesatan iblis telah menyeret diri-diri kita kepada amal perbuatan yang merusak dan saling menumpahkan darah dengan mengatas namakan  agama. Sehingga, sesungguhnya, kita sendiri pulalah sebagai yang membuat baik atau buruk-nya agama kita, kita pulalah yang menjaga kesucian atau tercemarnya agama kita.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)

Iblis telah begitu banyak menyesatkan diri-diri kemanusiaan kepada keburukan dan kehinaannya, seakan tak puas-puasnya dengan cara-cara yang keji pula dalam tujuannya, bahkan dengan cara seperti diterangkan ayat di atas. Ya, kejahatan yang terasa indah bagi pandangan. Dengan cara inilah dia menggelincirkan mereka yang semula dalam kebaikan kepada kehinaan yang amat buruk.

Iblispun bermain dengan mengatas namakan seni dan kecantikan, mengatas namakan hukum dan hak asasi, mengatas namakan harga diri dan kehormatan, mengatas namakan ideologi dan nasionalisme, mengatas namakan budaya dan tradisi, mengatas namakan keluarga-suku-etnis, bahkan dengan mengatas namakan agama dan tuhan.

Kebenaran dijungkir balikkan dengan keinginan dan kebutuhan, kemudian dibumbui dengan bujuk rayu dan godaan hingga dikemas dengan kenyataan semu yang terlihat dan terkesan indah oleh pandangan mata dan hati. Dan inipun seolah tak asing lagi hadir di hadapan mata kita hampir di setiap harinya.

Segala sesuatu adalah dari Allah yang merupakan rahmat-Nya, dan setiba di dunia (alam) maka kemudian menjadi berpasangan (sunathullah), layaknya rahmat cahaya matahari-Nya yang sampai ke bumi maka akan juga terdapat bayangannya sebagai sisi gelap yang tak terkena cahayanya, layaknya seperti rahmat hujan yang diturunkan-Nya ke bumi maka akan menjadi bencana banjir bagi mereka yang tak dapat menjaga kelestarian lingkungannya, serta layaknya rahmat rezeki makanan dan minuman yang diberikan-Nya kepada kita maka harus ke belakang untuk buang air setelah menikmatinya. Yang semua rahmat tersebut dipandang setiap diri kemanusiaan dengan nilai baik atau buruk-nya. Semuanya, segala sesuatu yang merupakan rahmat anugerah dari-Nya, maka adalah yang memiliki pasangan-nya pula.

Karena itulah, rahmat-rahmat tersebut agar dapat disyukuri sebagai yang pasti akan kembali kepada-Nya, dan itulah bentuk kesadaran tunggal dengan berserah diri (islam) secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, baik ketika aktivitas amal perbuatan selama di kehidupannya maupun saat detik-detik menghadapi ajalnya. Itulah mengapa menjadi betapa pentingnya islam dimaknai sebagai keadaan berserah diri hanya kepada Allah, apalagi  saat menghadapi ajal. Agar yang kembali pulang kepada Allah adalah kemurnian yang tunggal pula

Sebab karena itulah maka kepada orang yang sedang menghadapi ajal (kematian)-nya, dibimbing dengan kalimat tauhid atau syahadat sebagai pengingatnya kembali akan tugas besar sebagai fitrah-nya, asy-hadu an-laa illaha illaallaah wa asy-hadu anna muhammadan rasulullaah. Ya, tentu dengan makna yang harus tepat dimengerti atau dipahami, sesungguhnya diri ini bersaksi bahwa tiada tujuan dari segala tujuan adalah hanya kepada Allah dan diri ini bersaksi bahwa wujud yang terpuji ini yang merupakan perwujudan Allah Yang Maha Terpuji (muhammad, yang bukan Muhammad bin Abdullah) adalah yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia sebagai utusan (rasul) Allah.

Yang sesungguhnya diri-diri manusia adalah juga merupakan utusan Allah yang menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada sesama sebagai makhluk-Nya di semesta alam sebagai fitrah kehidupannya.

“Allah memilih para utusan (rasul-rasul) dari malaikat dan manusia, ……..”  (QS 22:75)

Segala sesuatu makhluk Allah adalah utusan-Nya, apalagi pada diri-diri kemanusiaan sebagai wujud yang dalam bentuk sesempurna-sempurnanya (QS 95:4). Segala sesuatu telah Allah jadikan kemudahan bagi manusia. Dan segala sesuatu itu adalah membawa manfaat bagi manusia, dari mulai taburan bintang di langit yang sebagai petunjuk penentuan arah, matahari dan bulan sebagai petunjuk waktu penanggalan, dan padahal masih banyak lagi petunjuk-Nya yang bermanfaat dari matahari dan bintang-bintang di langit. Segala macam tumbuhan dan hewan selain berguna sebagai makanan, juga menjadi petunjuk bagi keilmuan bahkan tekhnologi. Pergerakan angin dan awan yang dapat di monitor menjadi ilmu metreologi dan geofisika. Mineral-mineral di dalam perut bumi sebagai ilmu geologi. Seluruhnya, di alam ini adalah merupakan segala sesuatu yang saling berbagi rahmat dan petunjuk Allah.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

Begitupun diri-diri kita, juga merupakan utusan Allah dalam menyampaikan kebenaran-Nya, bisa kepada umat bagi yang memiliki kekuatan besar, sampai hanya kepada keluarga, atau cuma kepada anak-anaknya. Atau bahkan paling tidak, hanya kepada dirinya sendiri. Ingatlah, dirinya sesungguhnya, terdiri dari milyaran sel, adalah wujud akbar di dalam kesen-diri-annya bila tak menyadari keberadaan wujud-wujud lain di dalam jasadnya. Ada yang bekerja bagi kelangsungan hidup kita, ada yang menyampaikan petunjuk, ada yang sebagai penjaga, kesemuanya adalah merupakan kebaikan.

Dan perlu disadari juga, kesemuanya pun memiliki pasangannya sebagai keburukan bila jiwanya lebih cenderung kepada kesesatan yang menjauh dari cahaya Tuhannya, yang semula bekerja bagi kelangsungan hidupnya menjadi pembangkang yang malah merusak organ-organ kehidupannya, yang semula menyampaikan petunjuk menjadi pembangkang yang malah membisik dan menggoda agar tersesat jalan, serta yang semula menjaga menjadi pembangkang yang malah menjerumuskan kepada kecelakaan dan kehinaan. Begitulah memaknai iblis yang membangkang perintah Tuhannya untuk tunduk bersujud kepada kemanusiaan yang ternyata lebih tertuju kepada sifat pembangkangan jiwa kemanusiaan itu sendiri.

Hal ini menjadi terasa asing kedengarannya adalah karena selama ini kita memaknainya tidaklah demikian, sehingga pemahamannya pun menjadi berbeda. Kita memaknainya hanya Muhammad bin Abdullah sajalah rasul Allah, sedang kita tak pernah menyadari sesungguhnya fitrah diri kita ini juga sebenarnya adalah utusan Allah, sebagai muhammad-muhammad, wakil-Nya di bumi. Dan saat itu disadari dan dinyatakan adalah sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia sebagai utusan-Nya telah selesai, dan telah siap pula untuk mempertanggung jawabkannya.

Sebagai nabi, ya beliau, putra pasangan Abdullah dan Fathimah yang pertama kali mendapat gelar muhammad, adalah nabi terakhir (khataman nabiyyin), akan tetapi rasul-rasul Allah, yang juga sebagai penerus risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW, tidak akan berhenti setelah wafatnya beliau, melainkan terus berlanjut pada diri-diri kemanusiaan yang juga sebagai pewaris pula gelar ke-muhammad-an.

“…. Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)

Mereka yang telah menemukan atau memahami realitas sejati, tentu telah kokoh keimanannya, takkan lagi ada rasa takut dan rasa sedih pada dirinya. Tuhan takkan pernah meninggalkannya, karena dengan kesadarannya ia tak pernah merasa lepas dari rahmat-Nya. Tuhannya selalu hadir di setiap kemana pun arah penglihatannya, di setiap suara pendengarannya, di setiap gerak langkah dan ucapnya, di setiap pemikiran dan bathinnya. Serta takkan mungkin pula ia dapat meningggalkan atau menjauhi Tuhannya, karena di setiap keinginan dan kehendak-nya adalah merupakan keinginan dan kehendak Dia Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu, yang tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Dan begitu pulalah sesungguhnya yang terjadi pada seluruh diri kemanusiaan. Sehingga takkan lagi dapat hinggap kepadanya segala jenis rasa takut  dan segala jenis rasa sedih.

Mengapa jiwa takut menghadapi kematian? Naluri kemanusiannya tak dapat ditipu, bahwa jiwanya belum siap untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, tak siap mempertanggung jawabkan gelar ke-muhammadan-nya.

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)

Manusia, dengan jiwanya yang tenang dan terkendali (nafs al muthma’inah) serta telah menyadari fitrah dirinya yang merupakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn) yang saling menebarkan kebajikan kepada sesama. Tiada takut akan siksa neraka dan tak tertarik akan nikmat-nya surga. Jiwa-nya hanya tertuju kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

 (QS 30:30)

 

 

 

Bab XXII

ALAM SURGA & NERAKA

“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)……. Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”

(QS 11:106-108)

Allah menciptakan Alam Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati.

Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal, bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi, benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)

Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.

Pilihan & Godaan

Surga dan neraka hanyalah alam, tempat persinggahan rasa yang membawa balasan dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Hidup dan kehidupan adalah suatu yang diberi berikut pilihan-pilihan yang dibebaskan kepada kita hendak menggunakannya yang pada kenyataannya menyesuaikan kapasitas diri, tentunya.

Seperti sebagai sebuah contoh, bila tujuan hendak ke Bali dari Jakarta, maka ada beberapa pilihan yang dapat digunakannya. Yaitu, jalan darat, jalan laut, dan jalan udara, yang kesemuanya, sekarang tarifnya tidaklah berbeda jauh. Tapi renungkanlah.

Dari segi waktu tempuh perjalanan, tentu jalan laut lebih memakan waktu dibanding jalan darat, dan jalan darat pun lebih memakan waktu dari jalan udara. Kemudian dari segi biaya lain yang akan dapat dikeluarkan selain tiket kendaraan atau alat transportasi yang digunakan, seperti makan dan minum selama di perjalanan, maka waktu perjalanan yang panjang akan mengeluarkan biaya tambahan, tentu juga sebagai efek samping dari pilihan transportasi yang hendak kita pilih.

Di dalam perjalanannya pun, terdapat pilihan-pilihan yang menggoda hati dan menimbulkan hasrat yang justru dapat menunda atau bahkan menyimpangkan dari arah tujuannya semula, bahkan lebih lagi, dapat menggagalkan sampai kepada tujuan utamanya. Bila pada pilihan transportasi laut atau transportasi darat yang lebih ada kemungkinan transit di kota-kota yang telah ditentukan, dan pada saat itulah timbul godaan-godaan yang dimaksud. Entah karena adanya sanak famili di kota tersebut, atau karena terbujuk promosi wisata kota tersebut, atau hal-hal lainnya sehingga menunda atau bahkan malah dapat menggagalkan perjalanan selanjutnya sebagai tujuan utamanya.

Dengan demikian, bagi mereka, yaitu diri-diri yang telah memahami dan menyadari tujuan hidup dan kehidupannya, maka tak tergoda lagi akan kenikmatan surga, apalagi terhadap godaan yang dapat menyebabkan dirinya singgah dan merasakan neraka. Dan ternyata, pilihan pun sesungguhnya tak ada, sebab tujuan hanyalah satu atau tunggal, yaitu kembali pulang kepada-Nya. Segala sesuatu berasal dari Allah, dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Inna lillaahi wa inna ilayhi raji’un. Allah, kepada Dia-lah tujuan utama segala sesuatu, termasuk diri-diri kita.

Jadi, surga dan neraka ternyata hanyalah pilihan dan godaan, hanyalah berada pada rasa yang sesungguhnya fana, sehingga adalah angan-angan semu. Yang ada hanyalah keberadaan Dia Yang Maha Tunggal. Dia-lah hakikat segala sesuatu, sebagai tujuan dari segala tujuan. Bila yang ada hanya-lah keberadaan Dia, maka keberadaan selain Dia, termasuk dengan diri-diri kita adalah semu (tidak ada). Apalagi rasa yang menyentuh pada setiap diri kemanusiaan, tentunya lebih semu lagi, karena semu yang berada di dalam yang semu.

“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)

Jalan hidup ini sesungguhnya adalah tunggal, yaitu dari Dia Yang Maha Tunggal. Di dunia (alam), maka manusia dengan keterbatasan melihatnya menjadi berbayang, seakan-seakan ada pilihan. Padahal tidak demikian, angan-angan dari keinginan dan kebutuhannyalah yang menjadikannya banyak, dan sebagai yang baginya merasa memiliki pilihan. Segala sesuatu berasal atau bersumber dari Allah dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Asal dan tujuan Yang Tunggal. Bila dalam prosesnya berulang-ulang, maka ini adalah yang disebut siklus yang harus dijalaninya untuk dapat kembali pulang dalam keadaan murni, suci dan bersih kepada-Nya Yang  Maha Suci.

Perhatikan dan renungkanlah hidup dan kehidupan ini, telah berapa kali kita tidur dan bangun yang sama selama ini? Telah berapa kali kita makan dan minum yang sama selama ini? Telah berapa kali kita pergi dan pulang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita melewati jalan yang sama selama ini? Telah berapa kali kita bertemu dengan orang-orang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita mengalami senang dan susah yang sama selama ini? Semua aspek kehidupan kita adalah siklus. Dan ternyata alam pun seperti itu, siang dan malam, bulan dan matahari, hujan dan kemarau, awan dan angin, gunung-gunung yang marah, begitu pula pada tumbuhan dan hewan, bahkan pada hidup dan mati.

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Sesungguhnya pula, bila kesadaran jiwa-nya telah memahami hal tersebut, maka tak ada lagi yang disebut pilihan dan godaan, maka tak ada lagi baik dan buruk, maka tak ada lagi susah dan senang, maka tak ada lagi surga dan neraka, karena asal dan tujuan yang telah jelas, dan jalannya pun lurus dan lebar lagi terang–benderang dibanjiri cahaya Tuhan yang penuh akan petunjuk dan kebenaran.

Rasa Bathin

Tidak jarang firman-firman Allah di dalam ayat-ayatNya memberitakan kehidupan surga yang berupa nikmat-nikmat lahiriah, bahkan kebanyakannya. Yaitu penggambaran seperti berupa taman-taman sejuk yang tak terkena terik matahari, kebun-kebun dengan buah-buahan yang tak pernah habis, sungai-sungai dari susu dan anggur atau khamar yang nikmat rasanya, bahkan bidadari-bidadari yang menemani lagi muda dan cantik jelita. Sebagai nikmat-nikmat keduniaan.

Bila di kehidupan dunia, hal-hal tersebut sebagai yang perlu diwaspadai atau malah dihindari, bahkan kepada istri dan anak sebagai musuh yang dapat menjerumuskan (QS 9:24 dan 64:14), dan dikehidupan akhirat seakan-akan malah diberikan, atau seakan tak berlaku lagi hukum-hukum seperti ketika di dunia, seolah-olah sebagai kebebasan. Tetapi jangan terburu-buru dalam menafsirkannya, ada pula ayat yang memberitakan di surga Adn juga ada kejahatan yang dapat mengganggu dan menjerumuskan penghuninya. Simaklah ayat-ayat di bawah ini, tentang malaikat yang mendoakan untuk orang-orang yang beriman agar dihindarkan dari kejahatan.

“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)

Begitupula sebaliknya dengan penggambaran neraka, yang diberitakan di dalam ayat-ayatNya, berupa azab-azab lahiriah yang selalu berhubungan dengan rasa sakit jasad penghuninya yang tak berkesudahan.

Perhatikan dan renungkan pula, tentang ‘ramalan’ Allah  terhadap segeranya kemenangan imperium Romawi  (sebagai wakil agama samawi atau nasrani yang ahli kitab pula) setelah baru dikalahkan oleh imperium Persia (penyembah api atau berhala sebagai wakil agama musyrik), dalam wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW di masa-masa awal kenabiannya, dikarenakan pada masa-masa awal kenabiannya, kaum muslimin mendapatkan cercaan dan hinaan dari kaum musyrikin Mekkah. Konon, malah Abu Bakar, sahabat nabi, dianjurkan nabi untuk ikut bertaruh sebanyak seratus unta, untuk membuktikan keyakinan kebenaran wahyu Allah tersebut (QS 30:2-7).

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Akhirat dalam ayat tersebut tidaklah dimaksudkan Allah sebagai alam setelah kematian saja, atau bahkan setelah kiamat (setelah hancurnya langit dan bumi), melainkan juga sebagai hari kemudian yang bermakna masih di kehidupan dunia, bisa dengan hari-hari esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau masa-masa yang akan datang. Sekalipun banyak pula ayat-ayat yang menerangkan kehidupan akhirat setelah kematian, setelah hari kiamat, atau bahkan setelah kebangkitan. Maka jelas, di kehidupan dunia ini pun ada akhirat-nya sebagai yang bathin, atau belum diketahui (ghaib).

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.

Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.

Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.

Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.

Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.

Suatu hari, diri ini pernah tercengang ketika disuruh menyembelih seekor ayam untuk membuat makanan bacang sebagai isi dalamnya. Dia minta setelah dipotong agar dipisah bagian per bagiannya, maka setelah selesai sesuai dengan permintaannya, diantarlah kepadanya. Masing-masing bagian ditempatkan diatas piring-piring, ada piring yang berisi daging, tulang-tulang, kepala, usus-usus, hati, dan ampela. Bahkan bulunya pun ditunjukkan di dalam plastik kresek untuk dibuang. Kemudian dia berkata, “loh, ayam-nya kemana?”

Maka, segala sesuatu adalah bathin, fana, atau tidak ada. Hanya Dia yang wujud, dan segala sesuatu wujud selain Dia adalah karena perwujudan-Nya, yaitu karena kehendak-Nya.

Alamnya Hari Pembalasan

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Seperti yang telah di ketahui dan diulas sebelumnya di awal, hari pembalasan tidak hanya masa-masa setelah kematian dan dibangkitkan saja, melainkan juga masa-masa masih di kehidupan dunia pun ada pula hari pembalasannya sebagai akibat dari gerak amal perbuatan. Jangan tertipu oleh hawa nafsu sehingga menyangka tidak adanya pembalasan selama masih hidup di dunia, yang merupakan akibat dari perbuatannya. Sadarilah, tidak hanya diri kita sendiri saja yang memiliki hawa nafsu, yang lain pun memilikinya. Maka apabila sampai kita terperosok dengan mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, jelas dia pun akan  balik bereaksi yang menuntut kerugiannya. Tidak hanya kepada manusia, bahkan kepada hewan, tumbuhan, ataupun alam ini, mereka pun dapat balik bereaksi buruk terhadap perilaku kita.

Sebenarnya, diri-diri kita kebanyakan, telah terjebak memaknai hari kemudian, hari yang setelah kematian (hari akhir), yang didalamnya termasuk dengan hari penantian di alam kubur, hari kebangkitan di padang mashar, dan hari pembalasan di surga atau neraka, lebih tertuju kepada alam-alam lain, yaitu alam-alam tersendiri selain alam semesta yang ada sekarang ini, sebagai alam-alam yang terpisah dari alam kita sekarang ini. Padahal makna sesungguhnya, hari kemudian adalah masa-masa di kemudian hari yang jiwa-jiwa kita melalui kehidupan selanjutnya tanpa pernah terpisah dengan alam yang kita tempati ini. Hanya waktu atau masanya yang berbeda, yaitu waktu atau masa kemudian.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)

Jika umumnya orang mengatakan, bahwa setelah kematian maka jiwa tersebut telah memasuki alam yang berbeda sebagai alam yang lain dari alam ini, tetapi mengapa pula ada rasa takut pada diri mereka bila sempat bersinggungan dengan makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang mereka anggap telah berada di alam lain tersebut?

Sekali lagi, betapa banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul  rasa ingin menikmati surga.

Padahal, keduanya adalah godaan. Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan merasakan nikmatnya surga,  sedang tujuan utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.

Layaknya seorang yang keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan.

Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam sedikit merasakan neraka-nya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk dan mendapat balasan neraka-nya, mendapat harapan pula merasakan sedikit kenikmatan surga-nya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)

Kehidupan berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat.

Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”

 (QS 21:104)

 

Bab XXIII

MENGHINDARI  TAQLID

yang

MENYESATKAN

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

(QS 3:190-191)

Al Qur’an, sebagai kitab kumpulan wahyu Tuhan, yang banyak memberikan penjelasan secara universal tentang alam dan kehidupan isinya, adalah sebuah panduan yang memerlukan penafsiran serta membutuhkan akal-pikir manusia dalam interaksinya terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya, sehingga memiliki makna bagi kehidupannya.

Segala macam pembuktian terhadap firman-firman Allah di dalam Al Qur’an oleh sains, yaitu akal pikir manusia, ternyata belumlah cukup mencapai kepada taraf memuaskan semakin dalam pemahaman kita terhadap alam. Sementara, keterbatasan akal pikir serta dalam penafsiran ayat adalah juga sebagai faktor penentu keberhasilannya. Tetapi dengan petunjuk dan hidayah dari Allah saja lah yang merupakan suatu faktor keberhasilan sehingga memiliki makna yang besar bagi kehidupan kemanusiaan dan peradabannya.

Dalam setiap penafsiran tentu akan menimbulkan perbedaan-perbedaan makna dari masing-masing diri yang menafsirkannya. Ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya minat (ketertarikan), latar belakang kehidupan, wawasan, emosi dan kecerdasan, serta lain-lainnya. Masing-masing tentulah akan mempertahankan sampai kepada pelemahan pemahamannya, dan bagi mereka yang telah terbukanya pintu kesadaran akan lemahnya pemahamannya, tentu dapat menerima dan beralih kepada pemahaman baru yang lebih memiliki nilai kebenaran.

“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit….. ”  (QS 6:125)

Sedangkan mereka yang pintu kesadarannya tidak terbuka, jelas akan mempertahankan pemahamannya layaknya seorang buta yang teriak memaki tidak suka ketika akan dituntun untuk dibantu sewaktu hendak menyeberang jalan. Hal seperti inilah, yang sesungguhnya menyebabkan perbedaan-perbedaan yang tak pernah terselesaikan, bahkan sampai menyebabkan pertentangan-pertentangan paham, apalagi bila masing-masing memiliki pengikut atau umat. Sehingga timbullah taqlid terhadap madzhab-madzhab yang dijadikan dogma oleh dirinya sendiri.

“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)

Lebih jauh lagi pertentangannya, akan lebih jauh pula dalam menyesatkannya, bahkan sampai kepada saling tuduh sesat atau kafir. Seperti yang terjadi setelah masa-masa sepeninggal keempat sahabat rasulullah SAW. Bahkan pada masa itu, teori evolusi (sebelum teori Darwin) penciptaan kehidupan pun telah mengemuka dan menimbulkan banyak pertentangan. Sejak abad ke 6 SM (sebelum Masehi), pemikiran-pemikiran evolusi telah ada. Pencetus pertamanya adalah seorang filsuf Yunani, Anaximander, bahkan biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawih, Ikhwan as Shafa, dan filsuf Cina Zhuangzi.

Seiring dengan pengetahuan biologi pada abad ke 18 M, pemikiran evolusi mulai ditelusuri lagi oleh beberapa filsuf di eropa, seperti Piere Maupertuis dan Erasmus Darwin. Pemikiran biologiawan Jean Baptiste Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang sangat luas saat itu. Hingga Charles Darwin  merumuskan pemikirannya dalam struggle for life dan survival of  fittest (seleksi alam).

Alam semesta berikut kehidupan di dalamnya, termasuk kehidupan kemanusiaan, yang luasnya tak terkira oleh akal pikir maupun pemahaman, juga ternyata telah berada di dalam dada setiap diri kemanusiaan. Yaitu, bagi mereka yang menyadari dan menggali, serta hati yang peka akan  petunjuk dari kemurahan Sang Pencipta. Cahaya-Nya akan menerangi segala pemahaman, yang terbuka sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap, sesuai dengan kebersihan hati dari lunturnya kekotoran yang menghalangi cahaya-Nya untuk masuk dan mengungkap segala hakikat.

Dari atom sampai bintang dan dari sel sampai pada wujud manusia seutuhnya, adalah memiliki keidentikan struktur penyusunannya. Pola yang diterapkan oleh suatu Yang Tunggal dalam setiap penciptaan-Nya. Dialah yang meng-awali dan meng-akhiri, Dialah yang tak ber-awal dan tak ber-akhir, Dialah yang Maha Hidup dan Maha Mandiri. Dialah yang tidak ber-anak dan tidak diper-anak-an. Dialah Allah tuhan yang Tunggal. Dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.

“,,,,,Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya…..”  (QS 7:37)

“………melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)

 “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .”  (QS 6:38)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 6:59)

“………… Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 11:6)

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa segala sesuatu materi, baik yang diklasifikasikan sebagai makhluk hidup maupun materi yang disebut benda mati, memiliki energi bawaan-nya yang disebut pilinan rantai genetika (pada sel makhluk hidup, atau DNA) dan pilinan rantai energi (pada energi di dalam partikel materi). Keduanya inilah yang sama-sama berfungsi sebagai cetak biru arah gerak hidup-nya, dalam bahasa ruhani adalah kodrat dan iradat yang telah ditetapkan Tuhannya. Dan dalam bahasa Al Qur’an, adalah sebagai kitab-nya yang nyata (kitab mubiyn).

“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”  (QS 2:255)

Inilah sesungguhnya, sebagai dasar pijakan akal dan pemikiran, bahwa Allah tiada pernah tersentuh kelelahan, kerepotan, ataupun rasa kantuk dalam mencipta, menguasai, hingga memelihara segala sesuatu di alam ini berikut isinya yang tak terhitung banyaknya. Karena Dia telah menciptakannya secara sistematis dan amat sempurna. Dari sinilah, bahwa segala sesuatunya tiada yang lepas telah tercatat dan ditetapkan arah gerak hidup-nya oleh Allah, sebagai ar rahmaan. Dia Yang Maha Pemurah, maka jelas kemurahan-Nya adalah merahmati segala sesuatu yang diciptakan-Nya, makhluk-Nya, yang tersebar seantero jagad raya ini, maka Dia tentunya mengetahui segala sesuatu itu, disebutlah Dia sebagai Yang Maha Mengetahui. Dengan pengetahuan-Nya tentu membuatnya tak pernah tersentuh kelelahan,  kerepotan, ataupun rasa kantuk di setiap waktu, maka disebutlah Dia sebagai Yang Maha Kuasa.

“Sucikanlah nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)

Proses  penciptaan semesta alam ini, yang dalam Al Qur’an disebut sebagai penciptaan langit dan bumi, banyak dijelaskan Allah melalui ayat-ayat Nya secara terpisah-pisah dan dengan gaya bahasa yang universal dapat diterima oleh semua kalangan. Jika ayat-ayat tersebut diurutkan maka akan dapat disimpulkan bahwa prosesnya melalui tahapan-tahapan yang panjang skala waktunya. Tidak ujug-ujug jadi.

Kebanyakan para penentang teori evolusi, tidak hanya dari sebagian umat muslim saja melainkan pula dari kalangan gereja, karena merasa teori tersebut bertentangan dengan penafsiran mereka terhadap kitab sucinya. Dan memang, penafsiran terhadap segala sesuatu adalah sangat dipengaruhi oleh peran fungsi akal dan kesadaran setiap diri kemanusiaan, begitu pula penafsiran terhadap firman Tuhan.

Padahal telah ada pelajaran berharga pada abad pertengahan, yaitu hukuman mati yang dijatuhkan oleh gereja Katholik Roma terhadap Galileo Galilei, karena pernyataannya yang berdasarkan penelitian melalui teleskop bahwa bumi-lah yang ternyata mengelilingi matahari. Dan baru beberapa ratus tahun kemudian pihak gereja mengakui kesalahannya. Disinilah nama baik atau kesucian agama menjadi taruhan. Janganlah karena taqlid-nya pada penafsiran sehingga membuat kita malah tersesat seperti tersesatnya mereka, karena firman Tuhan di dalam ayat-ayat masih memerlukan penafsiran yang mendalam yang perlu juga didukung oleh akal pemikiran bahkan tekhnologi. Yang pada akhirnya manfaatnya akan kembali pula pada diri kita.

Seperti pula penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka terjadilah), yang ditafsirkan bahwa, bila Allah berkata jadi, maka jadilah seketika itu juga. Sehingga mereka yang menafsirkannya seperti itu, tergesa-gesa pula menjadi penentang teori evolusi-nya Darwin, seperti pihak gereja tergesa-gesa menentang teori sistem planeter-nya Galileo Galilei. Padahal di ayat-ayat yang lainnya menunjukkan hal tersebut memerlukan waktu proses.

“….. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 22:47)

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun (untuk ukuran manusia).” (QS 70:4)

Dan pada kisah Maryam, saat malaikat Jibril membawa berita dari Tuhannya, bahwa dia akan memiliki seorang putra yang bernama al Masih Isa putra Maryam. Kemudian Jibril pun meyakinkannya dengan berkata, ….. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya,  jadilah, lalu jadilah dia. (QS 3:45-47)

Para cendekiawan agama yang terjebak dalam perdebatan pertentangannya terhadap teori evolusi, yang secara terang-terangan menolak teori ini karena didasarkan dogma kitab suci yang ternyata memerlukan penafsiran pula dalam memahaminya, sebenarnya selain mempertaruhkan keilmuannya, juga telah berani mempertaruhkan kesucian kitabnya yang tentunya mutlak kebenarannya dengan penafsiran yang benar. Maka bila kesalahan ada pada penafsirannya, sungguh ia telah turut menjatuhkan martabat kesucian kitabnya. Seperti kasus Galileo Galilei yang telah disebut di atas.

Tidak ada kitab suci yang menerangkan proses penciptaan manusia dan penciptaan semesta alam selengkap Al Qur’an. Tetapi mengapa masih sering terpancing pada perdebatan yang tiada guna, dan jelas-jelas memang pada setiap ciptaan-Nya pasti mengalami proses evolusi (tahapan perubahan) sebagai suatu ketetapan-Nya (sunathullah). Mana lebih kompleks susunan unsurnya pada tubuh kera atau tanah? Bila demikian, mengapa terusik egonya bila teori evolusi ini menyebutkan manusia berasal dari kera? Ingatlah, iblis dikutuk Allah karena kesombongannya yang merasa asal kejadiannya lebih sempurna dari manusia.

Dan penciptaan Isa al Masih itupun memerlukan proses, yaitu proses di dalam kandungan selama sembilan bulan, kepayahan, dan melalui juga proses kelahirannya. Tidak langsung jadi. Dan itulah ketetapan-Nya.

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata, aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”  (QS 19:22-23)

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian darinya Kami menjadikan air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh. Kemudian dari air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah Pencipta yang paling sempurna.”         (QS 23:12-14)

“Dan mengapa mereka tak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan……..” (QS 30:8)

Pahamilah dengan seksama ayat-ayat  tersebut di atas, sangat jelas menerangkan proses tahapan penciptaan manusia, dari mulai sebagai yang belum bisa disebut (unsur-unsur materi, seperti senyawa-senyawa protein, asam amino, dan senyawa organik lainnya) yang berasal dari saripati tanah yang dihisap oleh tumbuhan sebagai makanannya, kemudian tumbuhan itupun menjadi makanan manusia, dan di dalam tubuhnya di cerna yang sebagian hasil pencernaannya untuk pembentukan sperma-sperma yang selalu terbarukan. Selanjutnya setelah sperma yang bertemu dengan sel telur dan tersimpan di dalam rahim pun melalui tahapan-tahapan proses perubahan bentuk (evolusi) kejadiannya  yang menuju kesempurnaannya. Belum cukupkah itu membuktikan terjadinya proses evolusi pada penciptaan kehidupan?

Maka makna penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka terjadilah), tidaklah selalu harus terjadi dengan seketika atau sekejapan mata, melainkan melalui proses-proses yang telah ada dalam setiap ketetapan-Nya (sunathullah). Dan tahapan prosesnya adalah merupakan proses perubahan bentuk atau wujud yang juga tidak seketika dan memerlukan waktu, atau disebut pula evolusi. Sedangkan tahapan yang prosesnya berlangsung cepat disebut revolusi.

Seperti ulat daun yang makan sebanyak-sebanyaknya sebagai bekalnya untuk waktu berpuasa di dalam kepompong selama berminggu-minggu, dan ketika keluar telah bersayap indah sebagai kupu-kupu yang cantik mempesona. Begitupun pada larva-larva di dalam air, setelah masanya menjadi bentuk yang lain, yaitu nyamuk-nyamuk. Atau belatung-belatung yang menjijikkan yang berada pada sisa-sisa makanan yang membusuk, maka setelah masanya pun akan menjadi lalat-lalat.

Begitulah segala sesuatu yang selain Dia adalah ciptaan-Nya, makhluk yang tidak kekal (hadits) mengalami perubahan dan selalu terbarukan dalam berbagai bentuk dan wujudnya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

“…… maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari stetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) sampailah pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. ……” (QS 22:5)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.”  (QS 16:78)

Juga pada proses penciptaan yang lebih besar dibandingkan penciptaan manusia atau makhluk hidup lainnya, yaitu proses penciptaan langit dan bumi, juga tentu memerlukan waktu.

Ulasan ini hanyalah sebagai contoh kasus bahayanya taklid terhadap segala sesuatu, apalagi taqlid kepada penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. Yang namanya penafsiran tentu selalu berkembang sesuai perkembangan peradaban. Belum lagi penafsiran yang pasti berbeda-beda. Jangankan pada penafsiran, pada penerjemahan ayat-ayat Al Qur’an saja memiliki perbedaan penggunaan istilah di setiap masanya. Jika ingin lebih jelas, coba saja cek terjemahan keluaran cetakan lima atau sepuluh tahun yang lalu dengan terjemahan yang keluaran cetakan terbaru, maka pasti terdapat perbedaan pemakaian istilah yang mungkin saja menyulitkan pembacanya untuk mendapatkan  makna yang seharusnya. Bila hal tersebut diperkuat lagi dengan ketaqlidan, maka tentu dapat pula membawa kita kepada kesesatan dalam pemahaman.

Taqlid sungguh akan mematikan akal kita dalam setiap petunjuk yang sesungguhnya setiap saat hadir di hadapan kita, karena taklid yang mempertahankan pemahaman lama dari datangnya pemahaman baru yang lebih mencerahkan. Sedangkan seperti yang kita sadari, bahwa Al Qur’an tak pernah lekang oleh masa.

Penafsiran ayat-ayatnya pun berkembang sesuai perkembangan peradaban kemanusiaan yang semakin menunjukkan kebenaran-nya. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin membuka tabir-tabir segala seuatu yang sebelumnya ghaib di alam ini untuk dapat diketahui, dikenal, dan dipahami serta mengambil manfaat-manfaat darinya. Begitulah Allah menunjuki kepada siapapun yang mau menggunakan akalnya.

Penafsiran adalah merupakan produk kemanusiaan, yang diliputi keterbatasan. Karena itulah selalu diperbaharui sepanjang masa. Bila diri kita ini terjebak, dan tidak mau menerima petunjuk-petunjuk berupa pemahaman baru, dan lebih kuat dalam mempertahankan pemahaman lama tanpa mengusahakan terlebih dahulu akalnya untuk menimbang, maka jelaslah diri kita termasuk golongan orang-orang yang menutup pintu hatinya dari petunjuk (cahaya Tuhan). Orang-orang inilah yang lebih memiliki peluang terjerumus kesesatan, karena tidak pernah mau melatih akalnya untuk bekerja. Kepekaan hatinya menjadi tumpul dalam melihat yang bathin dari segala sesuatu, sehingga lebih mudah terjerumus pada kesesatan.

Setelah shalat shubuh, Bilal bertanya,“Ya Rasulullah, apa gerangan yang telah membuatmu menangis. Bukankah Allah SWT telah mengampuni segala dosamu yang lampau dan yang akan datang?” Kemudian beliau menjawab, “Celaka kamu Bilal, bagaimana aku tidak menangis jika pada malam ini Allah SWT telah mewahyukan kepadaku ayat Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS 3:190) Kemudian beliau berkata lagi, “Celakalah bagi siapa saja yang membacanya, tapi tidak merenungkan kandungan maknanya.” [Tafsir Ibnu Katsir (1/441)]

Dibawah ini disajikan beberapa ayat Al Qur’an, yang sengaja dicoba untuk diurutkan berdasarkan proses kejadian alam semesta (langit dan bumi serta isinya), yang insya Allah, dapat membantu mempermudah pemahaman kita kepada proses tersebut.

“…..Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan……” (QS 30:8)

“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…..”  (QS 21:30)

“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.(QS 41:10)

Setelah langit dan bumi terpisah, dan Allah membentuk langit dan menghiasinya dengan bintang-bintang. Demikian pula bersamaan waktunya Dia menetapkan kepada penciptaan di bumi. Pada masa-masa inilah sebagai masa penciptaan sarana bagi kehidupan, dengan terlebih dahulu menyiapkan makanan-makanan bagi penghuni bumi, nantinya.

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)

Ketentuan-Nya diantaranya adalah,

Gaya-gaya serta energi yang terjadi saat langit telah dilengkapi segala isinya, kemudian matahari dengan tata suryanya yang juga telah terbentuk sebagai lingkungan atau habitat bagi bumi, amat mempengaruhi apa-apa yang terjadi kemudian pada bumi. Diantaranya adalah mempengaruhi posisi tata letak kedudukan bumi yang amat menentukan proses-proses selanjutnya pada terciptanya kehidupan di bumi.

Pertama, gaya berputar pada porosnya (spinself) akibat gaya magnet pada kedua kutubnya yang menyebabkan terjadinya siang dan malam, sehingga terbentuklah suatu sistem waktu yang konstan, serta suhu permukaan yang dipengaruhi oleh keadaan siang maupun malam.

Kedua, pergeseran kemiringan poros bumi sebesar 23,5⁰ tegak lurus terhadap garis edar bumi yang mengelilingi matahari, menyebabkan ada malam atau siang yang lebih panjang di suatu wilayah tertentu. Dan hal ini menyebabkan perbedaan musim atau iklim suatu wilayah dibanding wilyah lainnya di permukaan bumi.

Kedua hal tersebut telah sangat mempengaruhi semakin kaya dan beragamnya pembentukan unsur-unsur di bumi karena dipengaruhi suhu permukaan dari adanya siang dan malam, yaitu perubahan temperatur dan iklim yang ekstrim pada awalnya, sehingga mengakibatkan keadaan dan kondisi bumi kepada aktivitas perubahan pada kontur lapisan kerak permukaan bumi. Baik pada pembentukan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya, dan kekayaan gas yang keluar akibat perubahan kontur di permukaan, seperti gerak akibat pergeseran kerak bumi, terbentuknya gunung-gunung berapi purba, lembah dan ngarai, rawa-rawa, danau, laut dan samudra, dan sebagainya. Inilah penghamparan bumi bagi persiapan pembentukan dari setiap ciptaan di masa kemudian.

Kekayaan mineral gas yang keluar dari aktivitas gunung-gunung api purba dan aktivitas lempeng yang mengeluarkan uap panas bumi, yang dipengaruhi gaya gravitasi sehingga tertahan tidak terus bergerak menjauhi permukaaan dan membentuk lapisan-lapisan atmosfir yang akan berguna melindungi bumi dari hantaman-hantaman benda langit yang datang, seperti meteor, asteroid, dan komet. Juga radiasi sinar matahari yang sebagiannya berbahaya bagi kehidupan, dan sebagiannya lagi yang berguna tetap menembus masuk dan mempengaruhi di atas permukaan bumi. Selain itu juga sebagai pelindung masuknya pengaruh suhu luar yang mencapai 270⁰ C di bawah nol. Selain atmosfir, bumi pun memiliki pelindung lain seperti Sabuk Van Allen, adalah radiasi medan magnet yang terbentuk karena kerapatan massa dari inti bumi yang terdiri dari Nikel dan Besi. Sabuk Van Allen ini ternyata ikut melindungi bumi dari jilatan lidah api matahari ketika terjadi badai di matahari yang suhunya ketika mendekati bumi mencapai 2500⁰ C secara tiba-tiba dan menimbulkan radiasi gelombang kejut.

Kemudian pada gas-gas yang molekul-molekulnya berinteraksi berupa uap air akan diturunkan kembali dalam bentuk hujan yang membasahi permukaan bumi. Yang tidak keluar dari permukaan, berinteraksi membentuk sumber-sumber air tersebar dan terkandung di dalam perut bumi. Dan mengeluarkannya melalui mata-mata air di permukaan.

Mari kita telaah kembali kalimat penutup ayat 30 surah Al Anbiya,

“…….. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS 21:30)

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya (bumi) sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya.”  (QS 15:19-20)

Proses penciptaan yang tiada henti-hentinya ini, semakin melimpahkan kekayaan akan unsur-unsur yang terbentuk di permukaan bumi. Selain air dan mineral, serta cahaya yang melimpah, ditambah perubahan-perubahan iklim yang ekstrim menciptakan hujan-hujan petir sebagai gelombang kejut yang juga merupakan pemicu interaksi yang lebih dinamis dan kompleks lagi, maka mulailah pembentukan protein dan asam amino sebagai senyawa molekul organik dari interaksi atom-atom beberapa unsur tersebut, yang juga adalah merupakan pembentuk sel kehidupan primitif seperti, fungi, protozoa dan bakteri-bakteri bersel tunggal, sel yang terdiri atau berbasis kabon dan air.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat (halilintar) untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.”  (QS 30:24)

Air sebagai sumber dasar kehidupan, tidak perlu diulas mendetail lagi, dan telah dipertegas kembali oleh penutupan ayat  tersebut (QS 21:30) di atas. Dan keberadaannya yang melimpah, meliputi 70% permukaan bumi dalam bentuk lautan dan samudra, belum lagi kandungan-kandungannya di dalam perut bumi, sehingga bumi merupakan ibu kandung bagi kehidupan yang melahirkan begitu banyak kehidupan. Sebagai ibu pertiwi.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.”  (QS 15:16)

“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?  (QS 71:16)

“Dan Dia telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”  (QS 14:33)

“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata air-nya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan kokoh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (QS 79:27-33)

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”  (QS 51:47)

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)

Kembali kepada proses terbentuknya kehidupan pertama yang memakan waktu ribuan bahkan jutaan tahun, dengan proses reaksi sintesa terhadap tanah permukaan bumi yang telah didukung air yang melimpah dalam bentuk rawa-rawa, serta energi panas matahari sehingga terbentuklah zat-zat anorganik, dan kemudian zat-zat organik, sebagai benih dasar sel-sel generatif.

Dan fungsi air sebagai pelarut, yang membawa dan mengumpulkan zat-zat organik dan segala macam unsur-unsur mineral, air yang melimpah tersebar merata di permukaan bumi, selain dalam bentuk lautan dan samudra, danau dan sungai, juga yang diduga kuat andilnya sebagai dapur penciptaan adalah rawa-rawa purba yang dangkal dan kental serta kaya akan mineral serta zat organik seperti protein dan asam amino. Seperti kaldu purba.

Dan peranannya dalam kelahiran kehidupan pertama ini, rawa-rawa purba yang banyak tersebar di seluruh permukaan bumi, keberadaannya tersebutlah sebagai rahim bagi janin-janin makhluk hidup pertama. Penciptaan manusia dengan kerumitan strukturnya yang terdiri dari milyaran sel penyusun tubuhnya, adalah pula karya gemilang yang merupakan kesempurnaan dari seluruh ciptaan.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”  (QS 14:48)

Dua ayat terakhir ini menjelaskan keadaan alam semesta pada hari akhir (kiamat qubra), yang disebutkan pula ternyata memiliki keadaan atau proses yang sama saat pada hari awal (penciptaan pertama). Dan Allah sungguh-sungguh menegaskan, bahwa proses tersebut merupakan siklus pengulangan penciptaan.

Perumpamaan proses kejadian pada hari akhir (kiamat qubra), dimana langit dengan bintang-bintangnya hancur luluh melebur bersama bumi, seperti mengulung lembaran-lembaran kertas yang berlapis-lapis (QS 21:104), agar kita mudah memahami proses  singularitas (berpadunya kembali langit dan bumi), termasuk tujuh lapis langit, galaksi-galaksi dengan bintang-bintangnya, bumi, matahari, bulan, serta seluruh benda-benda langit lainnya, menjadi suatu yang padu kembali seperti kejadian awal yang dijelaskan pada QS 21:30. Yaitu, kembali pulang-nya segala sesuatu kepada sumber-nya Dia Yang Maha Tunggal, inna lillahi wa inna ilayhi raji’un.

Demikianlah ulasan ini hendak mengingatkan kita agar tidak tersesat oleh pemahaman kita sendiri, seperti di waktu-waktu yang lalu, bahwa sesungguhnya Dia-lah tujuan utama kita dalam kehidupan ini dan kehidupan nanti. Artinya, segala sesuatu tiada yang kekal dan abadi, baik dari segi waktu-nya maupun kebenaran-nya. Akan selalu ada kebenaran lain yang memperbaikinya.

Hanya Dialah Kebenaran Sejati, karena itu janganlah mengunci mati hati kita dari setiap yang akan datang sebagai petunjuk dari Tuhan untuk memperbaiki kebenaran sebelumnya yang telah ada pada kita. Petunjuk yang merupakan kebenaran adalah rahmat Allah yang takkan pernah berhenti, sebagai yang akan terus datang bagaikan cahaya matahari yang selalu hadir menerangi segala sesuatu untuk diketahui dan dipahami seluruh makhluk-Nya di bumi. Maka dengan selalu memohon perlindungan kepada-Nya dari penyesatan iblis yang menjadikan kesalahan dan keburukan terlihat indah oleh pandangan mata, serta terasa indah di dalam angan-angan, semoga Allah selalu memberikan petunjuk kepada yang haqq sebagai kebenaran sejati.

 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”

(QS 41:53)


  • § Umat-umat yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau sebelum nabi Muhammad SAW, orang-orang yang menyembah bintang atau yang menyembah dewa-dewa.

(Al Quran & Terjemah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy-Syarif  Medinah Munawwarah – Kerajaan Saudi Arabia)

This entry was posted in RELIGION. Bookmark the permalink.

Leave a comment