pupuh-islam.png

Posted in RELIGION | Leave a comment

PUPUH JIWA

October 2012 Selfy  by Sam Breach -1

 

PUPUH JIWA

 

Lihatlah cahaya ketika datang menyentuh benda…. benda menjadi ada terlihat, namun ada sisi hitam gelap yang tak terkena cahaya sebagai bayangan-nya.

Begitulah cahaya (ruh) selama berada dan menyentuh jasad kemanusiaan, menjadikan nyata keberadaan dan hidup-nya…… maka begitu pula jiwa adalah sebagai bayang hitam kegelapan-nya.

Jasad kan hidup ada sebagai eksistensi keberadaan ruh yang terang juga menghidupkan, dan jiwa yang gelap merusak,……… keduanya bathin tersembunyi di dalam jasad sebagai yang saling bertentangan.

Bayang gelap adalah jiwa yang selalu bergerak bertolak arah dengan menjauhi cahaya…..

cenderung mencederai dan menyakiti jasad-nya sendiri,

cenderung menolak terang dan petunjuk,

cenderung menyukai kenikmatan sesaat dan sesal kemudian,

dan cenderung menyukai pandangan indah yang menyesatkan.

“Ia (iblis) berkata : Tuhan-ku oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa INDAH BAGI PANDANGAN mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semua-nya.”  [QS 15:39]

Jiwa adalah nafsu yang amat perlu dikendalikan……

Maka siapakah yang Maha Mengendalikan ??

Tidak secuilpun kekuatan yang kita miliki untuk mengendalikan jiwa, karena jiwa adalah diri kita sendiri…..

Adakah diri-diri kamu merasa sebagai yang dpt mengendalikan diri kamu sendiri…. ??

Jika benar begitu, siapakah yang memberi petunjuk bahwa yang ini benar dan yang itu salah, atau sebaliknya ??

Siapakah yang memberi akal untuk dapat mengetahui ??

Siapakah yang memberi mata untuk melihat kebenaran dan kesalahan ??

Siapakah yang memberi telinga untuk mendengar pelajaran ??

Siapakah yang memberi hati untuk memahami hikmah kebenaran ??

Maka siapakah yang memberi kekuatan hati untuk berhijrah dari kegelapan menuju terang benderang ??

Kelahiran hidup-nya di dunia saja bukan diri-nya sendiri yg menghendaki…… bahkan gerak bernafas dan detak jantung pun bukanlah diri-nya sendiri yg menghendaki….

Jika dirimu yg merasa menguasai dan memiliki itu semua…. bersiaplah, krn pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan diminta pertanggung jawaban-nya kelak.

Wayutuzzakata adalah tindakan pensucian jiwa dari kekotoran pengakuan rasa memiliki kekuatan dan kekuasaan atas semua tersebut….. (zakat, bukanlah pensucian harta-benda, melainkan pensucian jiwa yg terikat materi dan merasa sbg yg menguasai dan memiliki-nya).

Hanya DIA-lah yg memiliki kendali atas apa-apa yg terjadi di semesta alam ini…..

“Maka Allah mengilhamkan kpd jiwa itu (jalan) KEFASIKAN dan KETAKWAAN-nya, sesungguhnya beruntunglah orang yg mensucikan jiwa-nya itu, dan merugilah orang yg mengotori-nya.”  [QS 91:7-10]

Janganlah menyalahkan iblis yg ternyata adalah jiwa sesat-mu sendiri…..
Sebab dia adalah bayang gelap yg tercipta dari cahaya yg terhalang kekotoran jiwa ketika hendak masuk kedalam hati-mu….

Cahaya yg berubah menjadi bayang gelap adalah malaikat yg tak mau tunduk patuh pd kepentingan murni kemanusiaan….

Begitulah iblis yg pd mulanya adalah cahaya malaikat, kemudian membangkang tak mau tunduk dan bersujud kpd kemanusiaan atas perintah Tuhan-nya (QS 2:34, renungkanlah ayat ini…. yg diperintah utk tunduk sujud adalah seluruh para malaikat, tp mengapa jd disebut iblis bagi yg membangkang ??)

“Allah mengetahui segala sesuatu yg di hadapan dan yg di belakang (para malaikat) mereka, dan mereka (para malaikat) tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kpd orang2 yg diridhai Allah, dan mereka selalu berhati-hati krn takut kepada-NYA” [QS 21:28]

Memahami jiwa adalah memahami diri pribadi….. dan memahami diri pribadi adalah memahami pula segala yang ghaib agar menjadi nyata keberadaan-nya.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pd diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar…..”  [QS 41:53]

Perhatikan satu saja, yaitu apa-apa yang terjadi di dalam tubuh-mu…… Dari mulai yang masuk sebagai asupan (energi) dan informasi (energi pula)….. Ada milyaran bahkan trilyunan proses mekanisme pada sel-sel tubuh yang jumlah-nya trilyunan (dapat-lah dibayangkan bila proses yang terjadi pada satu helai rambut saja yang berisi ratusan juta sel), dari mulai pernafasan sebagai bahan bakar setiap proses-proses tersebut, makanan yang diubah menjadi intisari energi dan disalurkan ke masing-masing sel tubuh, belum lagi pada proses perintah motorik (gerak) sel, gerak pikiran, gerak bahasa (bayangkan berapa karakter huruf yang terucap setiap hari-nya)………. subhanallah !!

Adakah jiwa-mu merasa sebagai yamg mengatur semua proses di dalam jasad-mu itu ?? Bahkan dalam berdoa pun tak pernah kau meminta-nya kepada Yang Maha Mengatur….. sungguh kita termasuk jiwa-jiwa yang lalai……….. Taukah kau wahai sahabat, faedah memahami semua itu kemudian meminta dalam doa-mu kepada-NYA ?? …… yaitu menyembuhkan penyakit atau menjaga kesehatan tubuh-mu !!

Begitulah hingga terjadi peneguhan kembali iman kita terhadap segala yang semula ghaib (tak terlihat nyata) menjadi nyata ada, dan ternyata selama ini adalah sebagai yang selalu hadir bersama dalam kehidupan sehari-hari kita, mempermudah dan membantu kehidupan kita, sehingga iman tak sekedar meyakini sesuatu berdasarkan aqidah yang tak dapat dicerna akal kesadaran kita…..

Iman kita bukanlah iman taqlid buta !!

Iman kitapun bukan sekedar ikut2-an karena semua orang yang mengaku telah beriman !!

Bukan pula iman warisan ibu-bapak atau nenek moyang !!

Tidak pula iman karena guru yang mengajarkan dogma kepatuhan tanpa hikmah !!

Iman kita adalah karena akal kesadaran anugerah-NYA yang kita gunakan sebagai alat untuk menjelajah dan menyelami kedalaman serta luas-nya samudera ilmu Allah yang tak terukur oleh keterbatasan makhluk….. adalah juga iman yang dapat mengantarkan akal kesadaran kita menemui KEBENARAN REALITAS SEJATI.

Karena Allah pun mengingatkan kita, ….

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang-nya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.”  [QS 17:36]

Dengan demikian jiwa dengan sepasang sayap akal kesadaran adalah sebagai yang terkendali (nafs al muthma’inah) oleh iman yang berdasar KEBENARAN SEJATI (al HAQQ), yang mutlak tak terbantahkan……. kemanapun ia terbang menjelajah di alam raya ini, takkan pernah tersesat karena adanya ‘compass iman’ yang tertanam di dalam dada dan selalu tepat menunjuki arah yang benar menuju kebenaran hakiki, kebenaran Tuhan-nya.

Semoga bermanfaat………………… insya Allah, kelak jiwa kita termasuk sebagai jiwa-jiwa yang telah dapat berserah diri (islam) secara kaffah (totalitas).

 

sandoz

Posted in RELIGION | Leave a comment

PUPUH HENING

PUPUH HENING

Posted in RELIGION | Leave a comment

KEMBALI PULANG – Bagian 4

 ThunderStorm-203548_573x187

BAGIAN 4

LAHIR & BATHIN

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”

(QS 41:53)

Uraian pada bab-bab sebelumnya, sungguh takkan menyentuh, bila tidak pula menguraikan keberadaan jasad, jiwa, dan ruh sebagai unsur-unsur penyusun lahir dan bathin kemanusiaan yang tentunya sebagai pelaku utama dalam pengokohan iman dan islam-nya. Hal ini amatlah penting bagi usaha mengokohkan kembali keimanan agar mencapai keberserah dirian (islam) secara murni atau ikhlas dalam menapaki jalan lurus (agama Allah) diynul qayyimah.

Seperti yang telah diketahui, segala sesuatu yang Allah ciptakan memiliki pasangannya, seperti apapun segala sesuatu tersebut, terlihat nyata (lahir) maka memiliki pula wujud bathinnya sebagai yang tak terlihat nyata. Juga pada umumnya pemahaman tentang kemanusiaan yang terdiri dari jasad sebagai wadah atau media bagi bathin yang tak terlihat nyata, yaitu jiwa dan ruh. Ruh adalah sebagai gerak hidup yang merupakan energi dari setiap materi segala sesuatu sebagai makhluk ciptaan, dan jiwa sebagai pribadi berkarakter (aku) yang membedakan satu dengan lainnya.

Karena di alam, maka setiap materi berubah-berubah bentuk. Atau dalam bahasa Tuhan, adalah tidak kekal abadi, fana, atau juga bersifat hadits. Dalam hal ini telah diuraikan sebelumnya di dalam sifat dua puluh, bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak kekal abadi.

Materi pada wujud asalnya adalah energi, yaitu bersumber dari energi cahaya-Nya, sebab itulah dikatakan laa hawla wa laa quwwata illa billaahi, tiada kekuatan (energi) selain kekuatan (energi) Allah. Juga, inna lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun, segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya pulalah tempat kembali.

Beriring waktu, partikel-partikel cahaya kemudian saling berinteraksi dengan sesamanya seperti membentuk koloni, sehingga memiliki massa untuk membentuk materi. Inilah cikal bakal atom sebuah unsur yang pada mulanya memiliki inti dengan hanya satu elektron yang mengelilinginya. Dan karena sifatnya, atau karena ketetapan-Nya (sunathullah), bahwa setiap materi cenderung terus berkumpul membentuk koloni yang semakin besar, maka kecenderungan ini semakin memperkaya khasanah unsur-unsur yang ada di alam pun terjadi. Yang semula elektron yang mengelilingi inti atom hanyalah satu, dan disebut sebagai atom unsur Hidrogen. Kemudian merekrut elektron lainnya menjadi dua yang mengelilingi intinya, berubah menjadi unsur lain yang lebih berat, yaitu disebut Helium. Begitu seterusnya, tanpa menghilangkan yang pertama atau yang sebelumnya.

Di awal abad 20, setelah perkembangan teori relativitas telah banyak menguak dan menjawab rahasia-rahasia yang sebelumnya tertutupi. Bila sebelumnya penelitian-penelitian terhadap partikel materi untuk membuktikan keberadaan benda terkecil sebagai penyusun segala sesuatu sempat mengalami kerancuan dan menimbulkan kebingungan dalam menetapkannya antara materi atau malah energinya.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, telah ditetapkan bahwa atom sebagai benda terkecil, setelah beriring pula ditemukannya tekhnologi penemuan alat-alat bantu yang semakin canggih seperti mikroskop elektron, ternyata atom masih dapat dibelah-belah lagi menjadi inti atom dengan elektron-elektronnya. Dalam skala besar, makrokosmos, hal ini seperti matahari dengan planet-planet yang mengitarinya dalam suatu sistem tatasurya.

Sampai tahap ini mereka merasa atau membayangkan adanya misteri di balik materi, yaitu kemungkinan benda terakhir tersebut masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi jauh lebih kecil lagi. Teori relativitas tersebut akhirnya telah membuktikan bahwa inti atom tersebut masih dapat dipecah-pecah lagi menjadi bagian partikel yang jauh lebih kecil (sub atomik), yaitu proton dan neutron. Sehingga ditemukannya energi Nuklir. Hingga terakhir yang dapat diketahui, semakin dipecah-pecah, maka materi  hanya menyisakan pilinan rantai energi.

Di dalam materi hidup, sel-sel di dalam tubuh manusia, mikrobiologi pun telah menemukan metabolisme kehidupan  di dalam inti sel yang terdapat pula pilinan rantai genetika yang tersusun dari protein DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Sebagai kode-kode genetika yang membawa karakteristik sifat seseorang, yaitu seperti jenis kelamin, usia hidup, kapasitas kemampuan diri manusia. Juga menyimpan jutaan perintah atau pesan berupa kode-kode dalam bentuk kimiawi yang harus dikerjakan dan diterjemahkan setiap sel tersebut dalam gerak perkembangan kehidupannya oleh protein lain yang disebut RNA (Rybo Nucleic Acid). Ini lebih kepada program hidup kehidupan dalam sebuah koloni multisel (milyaran sel) jasad atau tubuh manusia, yaitu kodrat dan iradat kemanusiaan yang telah ditetapkan Allah.

“,,,,,Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya…..”  (QS 7:37)

Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (QS 57:22)

“………, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).”  (QS 13:39)

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .”  (QS 6:38)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 6:59)

“………… Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 11:6)

Sehingga penemuan (mikrobiologi, yaitu DNA dan RNA) tersebut, mengarahkan pemahaman bahwa, selain yang hidup, di dalam bathinnya sebuah materi pun, sekalipun disebut benda mati, ada energi atau kekuatan tak terlihat yang menentukan arah nasib-nya sebagai qudrat dan iradat-Nya yang sesungguhnya mengarahkan arah gerak kelanjutan hidupnya. Yaitu, sesungguhnya Dia menggunakan para aparat-Nya pada qudrat dan iradat tersebut, yaitu energi bawaan.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.”  (QS 97:4)

Agar lebih jelas, sehingga tak menimbulkan kesesatan dalam memahami ayat diatas tersebut, maka ada ayat lainnya yang semoga mengarahkan pemahaman kita kepada kebenaran yang Tuhan kehendaki kita mendapatkannya.

“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)

Maka sumber energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah (laa hawla wa laa quwwata illa billaahi, tiada kekuatan selain kekuatan Allah). Dan karena Dia meliputi segala sesuatu, sehingga, seluruh materi atau wujud segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada yang gaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus (gaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini.

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, …..”

 (QS 2:3)

 

Bab XIX

MATERI sebagai PENYUSUN

JASAD

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”

 (QS 31:20)

Jika dalam setiap partikel penyusun materi, masing-masingnya membawa energi bawaan, maka tentunya energi dari sebuah unsur, atau molekul, ataupun senyawa kimia lainnya yang jauh lebih rumit, seperti pada benda-benda, tentu akan membawa pula energi bawaan yang semakin terkumpul besarnya sesuai persenyawaan unsur-unsurnya tersebut. Dan adalah manusia, sebagai susunan materi dengan persenyawaan kimia terumit yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan sel, maka tentunya membawa energi bawaan yang amat dahsyat. Bayangkan berapa banyak energi dari apa-apa yang dimakan dan diminumnya yang telah diserap seorang manusia semenjak lahirnya hingga dewasa? Telah berapa huruf yang keluar dari setiap pikir dan ucapnya? Telah berapa kilometer gerak langkah kakinya?

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

Energi bawaan tersebut adalah energi yang berasal saat  penciptaan semesta alam, dan terus terbarukan sebagai yang berkembang karena berinterkasi terus menerus. Seperti telah diulas sebelumnya pada bab keimanan kepada para malaikat, bahwa pada awal penciptaan, segala sesuatu Allah ciptakan dari pancaran cahaya-Nya. Cahaya-Nya itulah sebagai energi bawaan yang merupakan para aparat Allah, sebagai struktur penyusun segala sesuatu ciptaan-Nya, penyampai dan pembawa pesan serta kehendak-Nya. Cahaya-Nya yang terpancar terus menerus itulah yang membuat seluruh aparat-Nya tersebut hidup dan menghidupkan terus berlanjut silih berganti sampai kepada waktu yang telah ditetapkan-Nya.

Energi-energi atau yang merupakan juga para aparat-Nya tersebut mengalami perubahan wujud-nya, dan tugasnya tergantikan oleh energi baru yang terpancar terus menerus tanpa pernah berhenti melalui cahaya-Nya. Namun energi bawaan tersebut tetap melekat sekalipun wujud-nya telah berubah menjadi wujud yang lain. Menjadi makhluk ciptaan-Nya yang lain sebagai rahmat Tuhannya kepada semesta alam.

“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (-nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (QS 24:35)

Karena itulah Dia sebagai Yang Maha Meliputi segala sesuatu, Yang Maha Halus dan Lembut, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat. Sebab seluruh aparat-Nya tersebar kepada segala sesuatu tersebut di seluruh pelosok langit dan bumi, sedangkan Dia tidak bergantung kepada seluruh aparat-Nya tersebut, malah mereka-lah yang amat bergantung kepada-Nya dalam segala hal.

Jasad, yang juga merupakan kumpulan materi, dari waktu ke waktu mengalami perubahan sampai pada kematiannya, terurai kembali sebagai unsur-unsur bebas. Dari semenjak di dalam kandungan, lahir, mengalami masa-masa balita, remaja, dewasa, dan hingga masa tuanya, sekalipun dengan identitas yang sama, pun mengalami perubahan-perubahan. Hanya saja sebutannya yang berbeda-beda, masa-masa di dalam kandungan disebut dengan masa perkembangan janin, masa balita disebut dengan masa pertumbuhan, masa remaja disebut masa peralihan, selanjutnya masa pendewasaan, dan di masa-masa akhir disebut dengan masa senja. Bentuk lahirnya berubah berdasarkan waktu, menjadi tumbuh besar, berubah gemuk atau kurus, kulitnya semakin gelap atau semakin terang, semakin mengendur kekencangannya (keriput), dan rambut yang beruban (memutih). Yang kesemuanya adalah bermakna perubahan wujud. Maka, begitupula dengan jiwanya, sekalipun karakternya sebagai pribadi tidak berubah, akan tetapi kematangannya tentu mengalami perubahan menuju kepada perbaikan (penyempurnaan) dari sebelumnya.

“Dan demi jiwa dan Yang menyempurnakannya.”  (QS 91:7)

Dalam kenyataannya, bukti bahwa setiap materi mengandung energi bawaan, yang sederhana, seperti air yang dipanaskan. Selain membutuhkan energi untuk mengurai unsur-unsur penyusunnya, juga menghasilkan energi, seperti untuk menggerakkan turbin yang dapat berguna bagi kehidupan. Dan sungguh, pada kelanjutannya mempengaruhi materi di sekitarnya untuk berinteraksi lebih jauh lagi.

Juga akan semakin dibutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk mengurai unsur-unsur tersebut menjadi yang lebih kecil lagi, sehingga wujud materinya berubah atau menghilang dan menyisakan yang tinggal hanya energi yang dihasilkannnya. Seperti pada proses fisi dan fusi nuklir, maka energi yang dihasilkannya pun amat jauh lebih besar. Dahsyat.

Seperti itulah proses di permukaan matahari kita. Dimana tidak pernah terbentuk unsur-unsur yang jauh lebih berat dari Hidrogen dan Helium saja, karena selalu dilebur seperti memasak air di panci besar yang tertutup rapat dan api yang terus menyala dengan konstan, sehingga uapnya tidak ada yang keluar dan hilang, melainkan akan jatuh kembali dan dimasak kembali terus berulang-ulang. Bayangkan, itu hanya dipermukaannya, tentu di dalam inti matahari lebih dahsyat lagi. Sedangkan suhu dipermukaannya saja diperkirakan 6000 ⁰ Celcius.

Dan yang terlepas dari proses di permukaan matahari hanyalah pancaran cahayanya, yang ternyata sedemikian besar manfaat kegunaannya bagi kebutuhan energi di bumi, sehingga memperkaya bumi. Proses ini adalah sunathullah sebagai hukum semesta, sebagaimana pada proses awal penciptaan alam semesta yang diawali oleh pancaran cahaya-Nya. Nur Allah.

Cahaya ada yang tak terlihat bentuk atau wujudnya, tetapi ada pula beberapa cahaya yang memiliki warna dan ada pula yang tak memiliki warna alias gelap, kesemuanya dikarenakan panjang gelombang (gerak partikel)-nya yang mempengaruhinya. Disebabkan mata lahir kita yang hanya memiliki keterbatasan dalam menerima panjang gelombang tertentu untuk dapat melihat, dan warna cahaya pun dipengaruhi oleh panjang gelombangnya.

Energi yang bersumber dari energi cahaya tersebut tidaklah hilang karena berubah menjadi materi, melainkan tetap ada sekalipun ‘dia’ telah memiliki wujud baru akibat interaksi dengan sesamanya dalam membentuk koloni. Wujudnya dapat terlihat karena telah berkelompok sehingga semakin membesar. Mata telanjang kita takkan dapat melihat atom sebuah unsur, akan tetapi setelah atom-atom tersebut berkelompok membentuk senyawa barulah dapat terlihat.

Itupun tidak pada semua senyawa, pada senyawa dalam bentuk gas tentu kita tak dapat melihatnya, kecuali hanya mungkin baunya yang tercium untuk dapat diketahui keberadaannya (seperti pada gas amoniak). Dalam keseharian, kita mengetahui bahwa air hujan yang turun dari langit merupakan uap-uap air yang tak terlihat kemudian berkumpul dan saling berinteraksi membentuk koloni awan mendung setelah berkondensasi dan menimbulkan berat hingga akhirnya jatuh kembali ke bumi sebagai wujud air hujan.

Energi merupakan bathin-nya, dan setelah berkoloni kemudian terwujudlah bentuk lahir-nya. Itulah materi, dimana setiap materi memiliki energi sebagai yang tak terlihat. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa materi dapat berubah wujud atau bentuknya dengan membawa energi bawaan-nya bila ada kodrat dan iradat yang menentukannya. Dengan kodrat dan iradat itulah bumi dan langit terbentuk dan kemudian dipisahkan, kemudian di langit yang terlihat sebagai ruang kosong dibentuk bintang-bintang yang jumlahnya milyaran, serta di bumi yang sebelumnya mati atau tandus dan kering kemudian dihamparkan-Nya dengan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai awal mula kehidupan.

“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ……..”  (QS 21:30)

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)

Pada orang-orang yang percaya  ada kekuatan halus yang dipercaya sebagai ruh atau roh yang tak terlihat (dinamisme) yang menempati beberapa atau setiap benda (materi). Pemahaman ini benar tetapi tidak tepat bila tak dimasukkan pula unsur kodrat-iradat yang melekat dan menentukannya, karena kekuatan halus itulah yang merupakan sumber keberadaan (mewujudnya) benda atau materi. Bukan telah ada bendanya dahulu baru kemudian masuk kekuatan halus tersebut. Akan tetapi pada banyak kasus, ada pula energi-energi yang terpancing masuk kedalam suatu benda oleh energi yang memang telah ada pada benda tersebut sebelumnya.

Ini bukanlah hal yang luar biasa, layaknya ilmu yang masuk sebagai pengetahuan kepada diri kita. Inipun dapat terjadi, tentunya, tidak lepas karena kekuatan energi yang mempengaruhi benda atau materi tersebut yang telah ditetapkan kodrat dan iradat-nya.

Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap masih memerlukan cahaya sebagai asupan makanan untuk keberlangsungan gerak hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa energi tidaklah musnah melainkan hanya mengalami perubahan wujud sebagai sifat bawaan. Seperti berubah menjadi energi panas, menjadi energi listrik, menjadi energi bunyi, dan lain-nya yang karena disebabkan interaksinya dengan energi lainnya, dan inilah yang disebut sebagai gerak hidup-nya.

Sebenarnya, begitupun kepada materi sebagai wujud jasad yang membungkus energi, yang dibilang mati atau terurai, ternyata tidaklah musnah, melainkan mengalami gerak hidup-nya dengan berubah wujud. Seperti wujud air yang dipanaskan hingga menguap, materinya terurai berubah wujud menjadi wujud uap (gas), dan akan kembali kepada wujudnya semula bila suhu yang mempengaruhinya kembali normal seperti suhu asal saat berwujud cair. Dan perubahan-perubahan wujudnya selalu memiliki atau membutuhkan waktu.

Maka sumber energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah, sehingga materi (wujud) segala sesuatu adalah perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada yang ghaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus (ghaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini. Ya, kekuatan halus (ghaib) yang merupakan aparat Allah yang menjalankan apa yang telah menjadi kehendak-Nya.

Pada bab sebelumnya tentang keimanan kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)

Energi-energi tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini. Kekuatan ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan. Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan  dibanding yang lainnya.

Dan dalam teori relativitas-nya Albert Einstein disebutkan, bahwa kecepatan cahaya adalah 300 ribu kilometer per detik. Hal ini mewakili kecepatan tersebut sebagai kekuatan gerak atau kerja malaikat yang teramat cepat, bahkan sebelum mata kita sempat berkedip. Bagaimana tidak? Bayangkanlah, bagaimana cepatnya antara gerak-gerak tubuh kita pada saat kita baru menginginkannya, atau yang lebih terasa pada gerak reflek kita terhadap sesuatu yang datang mendadak dan terasa membahayakan diri kita.

“Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)

Dengan demikian, sesungguhnya energi yang mendasari pembentukan setiap materi (benda) tersebut adalah sebagai yang disebut ruh atau para aparat (malaikat) Allah dengan menyandang kodrat dan iradat-Nya. Termasuk pula pada jasad atau tubuh kita yang terdiri dari milyaran sel yang berbeda-beda dalam setiap jaringannya dan memiliki fungsi dan kerja masing-masingnya yang bukan diri kita-lah sebagai yang mengatur dan memerintahkannya, melainkan adalah karena Dia yang telah menetapkan dalam suatu qudrat dan iradat-Nya.

“Dan kepunyaan-Nya lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS 21:19)

Begitulah sesungguhnya keberadaan malaikat-Nya, sebagai aparat-aparat Allah yang bertugas menjaga dan membantu kehidupan kemanusiaan.  Juga sebagai makna malaikat yang bersujud kepada kemanusiaan (QS 2:34), bukan malaikat yang menjadi pembangkang yang tak mau bersujud dan menjadi disebut iblis, akibat kehendak kemanusiaan sendiri yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya, dan tidak lagi berserah diri (islam) kepada Tuhannya.

Dan mereka, para aparat Allah ini adalah merupakan energi-enrgi yang tersebar memenuhi alam raya ini, baik yang kelihatan sebagai materi atau benda, maupun yang tak kelihatan seperti unsur-unsur gas atau yang lainnya. Mereka juga sebagai unsur-unsur dasar pembentuk segala sesuatu di semesta alam raya ini, sebab mereka membawa energi bawaan yang disebut qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak) Allah SWT. Dengan demikian telah menjadi masuk akal-lah firman-Nya, “….. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, kun fa ya kun ( jadilah, lalu jadilah dia).” (QS 3:45-47).

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”(QS 41:53)

Jasad & Ruh

“…… Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)

Dari ayat inilah timbul pemahaman yang kuat, bahwa kemanusiaan dengan jasad, ruh, dan jiwa-nya memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan segala sesuatu (materi) lainnya sebagai makhluk ciptaan, bahkan termasuk dengan para malaikat yang merupakan aparat Allah yang selalu dekat dan selalu bertasbih memuji-Nya. Renungkanlah ayat diatas tersebut secara dalam dan seksama, semoga Allah memberikan hidayah atau petunjuk-Nya agar kita mendapatkan hikmah yang haqq.

Segala sesuatu (materi) dalam bentuk lahir atau nyata, termasuk materi yang menyusun jasad manusia, memiliki ruh atau kekuatan (energi) halus yang tidak kasat mata sebagai bentuk bathinnya. Pada jasad manusia yang multisel tentu dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya memiliki ruh-ruhnya pula. Karena diseluruh tubuh  jasad, bukan hanya manusia, yang terdiri dari sel-sel tersebut adalah tumbuh dan berkembang, juga mati dan tergantikan, sehingga bermakna hidup. Dan hidup adalah bukti yang menunjukkan keberadaannya ruh. Ruh inilah yang dimaksud dengan ruh ciptaan Allah. Lain halnya dengan Ruh-Ku seperti bunyi firman ayat di atas. Hal ini menunjukkan kedekatan Allah terhadap manusia dibanding makhluk atau benda-benda materi lainnya.

“….. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”    (QS 2:3)

Hal inipun menegaskan bahwa manusia adalah wakil (waliiy) atau perwujudan-Nya di alam yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Sebagai penebar rahmat Allah kepada sesamanya (makhluk Allah). Penegasan lainnya adalah gelar Khalifah pada kemanusiaan, sebagai pemimpin alam ciptaan-Nya ini. Dan perlunya membedakan ruh yang mendasari setiap materi termasuk pada jasad dengan Ruh-Ku (Ruh Allah) seperti maksud ayat di atas. Karena ada beberapa kata ruh yang disebut di dalam Al Qur’an dengan makna yang jelas-jelas berbeda, seperti ruh al quds yang menunjuk kepada malaikat (jibril), ruh Kami (kata Kami biasanya dimaknai bahwa Allah melibatkan beberapa makhluk-Nya), dan ruh-Nya.

Bila kita ingat tentang dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah yang merupakan dosa besar yang tak terampuni. Tetapi mengapa di dalam ayat tersebut (QS 38:71-72) justru Dia malah memerintahkan kepada para malaikat untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Sedangkan kepada mereka (para malaikat) yang menolak tunduk dan bersujud kepada selain Allah malah disebut iblis dan dikutuk? (QS 2:30 dan 15:35).

Kepada jasad sebagai materi, dan ruh sebagai yang bathin, tidak diberi kebebasan seperti kebebasan yang diberikan kepada jiwa. Pada setiap materi segala sesuatu yang didalamnya (tak terlihat) mengandung energi bawaan, atau lebih akrab dengan sebutan ruh ini, hanya bekerja berdasarkan kodrat dan iradat dari yang telah ditetapkan oleh-Nya, karena itu mereka dapat bertumbuh, bergerak, ataupun berubah wujudnya sekalipun materi itu banyak disebut sebagai benda mati. Ruh ini pula yang mewakili sifat-sifat kemalaikatan yang secara sukarela penuh dengan kesucian, ketaatan dan tunduk patuh, keikhlasan berserah diri, kasih sayang, serta akal sehat.

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)

Nikmat Allah adalah segala sesuatu apa yang berada di langit dan apa yang berada di bumi, dan segala sesuatu yang merupakan nikmat dari rahmat-Nya adalah pula memiliki lahir dan bathin-nya. Jadi sebagai rahmat yang dapat dinikmati lahir dan bathin-nya pula oleh kemanusiaan. Begitulah Allah mengungkapkan rahmat-Nya, yaitu segala sesuatu di semesta alam ini sebagai yang selain memiliki wujud lahir, sesungguhnya juga memiliki wujud bathinnya yang adalah ruh atau energi bawaan sebagai yang membawa kodrat dan iradat-Nya untuk sampai kepada kemanusiaan sebagai nikmat dari-Nya.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)

Semakin kompleks persenyawaan kimia suatu materi maupun makhluk, tentu pula semakin tinggi kualitas ruh di dalamnya. Hal ini dapat dilihat atau diamati baik kepada materi-materi yang disebut benda mati maupun terhadap makhluk hidup selain manusia, apakah itu bakteri yang hanya bersel tunggal maupun yang agak lebih tinggi seperti tumbuh-tumbuhan, ataupun yang lebih tinggi seperti hewan-hewan. Yang pasti mereka ini tidak mendapatkan tiupan  Ruh-Ku oleh Allah.

Sebenarnya pada jasadnya, manusia pun mengalami perubahan di setiap masanya. Yang jelas kelihatan perubahan-perubahannya adalah dari masa bayi ke masa balita, ke masa remaja, dewasa, kemudian perubahan di masa tuanya. Yang tidak kelihatan secara signifikan mengalami perubahan hanya identitas pribadinya, yaitu jiwa-nya.

“…… Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”  (QS 17:70)

Sehingga yang membedakan manusia dengan selainnya sebagai makhluk-Nya juga adalah karena jasadnya atau materi penyusun tubuhnya yang bila telah disempurnakan kejadiannya maka Ruh-Ku (Ruh Allah) akan bersemayam di dalamnya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kepada para malaikat seluruhnya untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Kita telah membahas bagaimana tunduk dan bersujudnya kemalaikatan, bahkan iblis sebagai yang disebut pembangkang atau musuh yang nyata bagi manusia pada bab keimanan terrhadap malaikat.

Jasad atau tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel, yang bermula dari satu sel yang membawa genre (sifat lahir, wujud atau bentuk rupa) ayah-ibunya. Di dalam rahim perut ibunya, perkembangan dan pertumbuhannya, sel tersebut membelah diri menjadi dua sel, dan keduanya kembali membelah diri menjadi empat sel. Begitu seterusnya, setiap sel hasil pembelahan selalu kembali membelah dirinya hingga menjadi bermilyar-milyar.

Tidak hanya membelah saja sel-sel tersebut, di dalam perkembangannya, melainkan pula tumbuh berkembang menjadi sel-sel yang berbeda bentuk dan fungsinya masing-masing sesuai kodrat-iradat yang telah ditetapkan kepadanya. Menjadi jaringan yang membentuk organ-organ hingga anggota tubuh. Sungguh kejadian yang teramat rumit dan kompleks.

Bayangkanlah, bahkan dalam setiap harinya, proses-proses setiap segala sesuatu yang sedang berlangsung di bumi ini, berapa ribu atau juta ibu yang sedang mengandung, yang didalam perutnya sedang terjadi milyaran proses kejadian pembentukan (penyempurnaan) bayi manusia. Belum lagi pada hewan-hewan, tumbuhan, hingga kepada bentuk-bentuk makhluk yang lebih sederhana strukturnya. Pada pergerakan angin dan awan, serta lain-lainnya. Belum lagi pada keseimbangan semesta yang terdapat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam milyaran galaksi. Subbahanallah, betapa sibuknya Allah dari waktu ke waktu mengatur sekaligus memelihara semesta alam ini (QS 2:255).

“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”  (QS 55:29)

Jangankan untuk dapat menentukan jumlah materi yang mengisi semesta alam ini, untuk menentukan nilai ukuran besarnya alam ini pun tak pernah ada yang sanggup. Dan tak akan sanggup. Bahkan nilai ukuran materi terkecil pun tak sanggup, dan takkan pernah sanggup. Hanya mampu mengatakan “ke-tak-ber-hingga-an” (~), hampir-hampir penulisannya pun membuat rancu dan membingungkan yang membaca. Ya, ke-tak-ber-hingga-an besarnya alam ini, atau,  ke-tak-ber-hingga-an kecilnya sebuah partikel sub atomik penyusun materi.

Itulah kerumitan yang kita sadari dari membayangkan bentuk lahir yang hanya terlihat oleh mata, tetapi perlu disadari bahwa Allah mencipta segala sesuatu selalu dengan pasangannya. Yaitu juga bentuk bathin yang mengiringi segala sesuatu yang belum kita sadari karena tak terlihat. Bentuk bathin yang berupa energi (kekuatan)-nya inilah yang menjadikan segala sesuatu adalah mudah bagi Allah. Kun fa yaakun. Adalah energi bawaan yang membawa aparat-aparat (malaikat) Allah dalam menjalankan perintah dari segala kehendak yang telah menjadi ketetapan-Nya.

Di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, kemanusiaan dengan setelah kesempurnaan wujud kejadiannya, dan selain diliputi oleh sifat ke-Maha Kuasaan Allah, kemanusiaan diliputi pula sifat ke-Maha Adilan-Nya, maka Dia-pun memberikan kebebasan kepada diri kemanusiaan (dengan jasad dan ruhnya) berupa jalan kebaikan dan keburukan sebagai yang hendak dipilih jiwanya. Disinilah mulai berperannya jiwa sebagai yang bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tentu menunjukkan pula di saat inilah keberadaan jiwa mulai ada dan terasa pada kemanusiaan.

“….. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Seiring dengan pertumbuhan kedewasaanya, jiwa kemanusiaan pun semakin berkembang kepada rasa tanggung jawab dari setiap pilihannya. Kesulitan, kekurangan, kesedihan, dan yang sejenis lainnya adalah suatu kondisi penempaan jiwanya, yang kelak, dapat menjadikannya sebagai termasuk dalam manusia-manusia unggul.

Ya, dengan rahmat keburukan (sebenarnya adalah kebaikan, kelak sebagai yang akan disadarinya), diri-diri kemanusiaan sesungguhnya sedang mengalami penyucian atau pemurnian jiwa-nya menuju kepada kesempurnaan. Itulah fitrah kemanusiaan-nya.

Jasad, Ruh & Jiwa

“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)

Dan cahaya yang merupakan energi adalah asal dari setiap materi, ternyata terus terbawa sekalipun cahaya tersebut telah berwujud sebagai materi, bahkan sebagai materi yang bersenyawa jauh lebih rumit, sehingga menentukan karakteristik-karakteristiknya. Dan pada manusia, yaitu materi dengan bentuk senyawa sempurna yang jauh teramat kompleks, maka sebagai penyusun jasadnya pun berlaku. Energi bawaan yang berkarakter inilah sebagai yang disebut pribadi atau jiwa (aku). Yang sebelum lahir ke dunia jiwa ini telah mengadakan persaksian dengan Tuhannya akan kodrat dan iradat yang ditetapkan kepadanya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)

Energi yang berkehendak dan berkeinginan, yaitu yang setelah sempurna keadaannya, bentuk atau wujud kejadiannya di alam, maka memiliki kebutuhan. Dan saat itulah timbul kehendak serta keinginannnya sebagai aku (ego) yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan angan-angan. Bila sebelumnya, kehendak dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.

Pada ayat 9 surah as Sajdah (32) tersebut diatas, maksud Allah dengan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya, adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.

Jiwa inilah yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat mempengaruhi kejiwaan.

Pada diri atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan  sejati. Tiada pernah memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya.

Juga tidak memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan pemahaman.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)

Kelak setiap diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati, sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).

Bahkan mereka, diri-diri yang menuhankan agamanya, yang karena lebih mengutamakan ego kelompok atau golongannya dengan berlebihan rela melakukan kerusakan malah sampai kepada saling menumpahkan darah. Bahkan mengatas namakan agama-nya, padahal mereka telah  menerima kitab, dan sebagai ahli kitab. Manusia manakah yang tidak menerima kitab? Bahkan di dalam dadanya pun telah ditanamkan kitab-Nya.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

……… Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat. (QS 11:118)

……… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

Jelas dan terang sekali keempat ayat ini menerangkan Bahwa Dia-lah yang memberikan aturan dan jalan yang terang kepada tiap-tiap umat diantara manusia, dan dengan perbedaan-perbedaan Allah hendak menguji diri-diri kemanusiaan agar berlomba dalam berbuat KEBAJIKAN, bukan kerusakan apalagi saling menumpahkan darah. Tidak cukupkah ini menjelaskan?!

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in§, siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)

Berhati-hati dan selalu waspadalah terhadap siasat iblis akan tujuan utamanya untuk menjerumuskan setiap diri kemanusiaan hingga hari kiamat (QS 15:35-36). Demikianlah seperti yang digambarkan firman-Nya di dalam ayat-ayat Al Qur’an  berikut ini pula.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)

Di setiap firman-Nya di dalam Al Qur’an, Allah tidak pernah menyebutkan bahwa Dia meniupkan Ruh-Nya kepada selain manusia. Dan bila lebih seksama merenungkan dan memahaminya secara mendalam, sesungguhnya Dia menghendaki manusia agar menjadi wakil-Nya sebagai yang mewujudkan sifat-sifatNya di bumi. Tidak hanya sekedar sebagai utusan yang membawa pesan-pesan dari-Nya, tidak pula hanya sekedar sebagai khalifah (pemimpin) melainkan juga amanah, sebagai perwujudan Dia ar Raahmanur-Rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), yaitu sebagai khalifah yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk-Nya.

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (QS 2:34)

Satu hal utama yang harus menjadi kewaspadaan pada setiap diri kemanusiaan, yaitu terhadap iblis dengan sifat pembangkangannya terhadap perintah Tuhannya dan sifat takabur (sombong) yang ternyata amat membuat Allah murka, sehingga sebagai yang terkutuk hingga hari kiamat (QS 15:35) dengan neraka sebagai ganjarannya, hingga abadilah kutukan-Nya. Maka hikmahnya adalah, bila diri kemanusiaan melakukan dua sifat tersebut, sesungguhnya dia telah menciptakan iblis di dalam dirinya sendiri untuk menjerumuskan kepada kesesatan yang semakin dalam yang amat membuat Allah murka. Simak kembali bunyi ayatnya, ….. ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah………….. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, …….

Yang diperintah sujud adalah malaikat, dan mereka yang tunduk patuh pun bersujud. Sementara mereka (para malaikat) yang tidak tunduk patuh atau membangkang karena takabur disebutlah sebagai iblis. Maka iblis tercipta dari malaikat, yang sesungguhnya memiliki sifat yang taat dan tunduk patuh pada dasarnya, menjadi pembangkang dan takabur karena sesungguhnya pula sifat-sifat itu ada pada diri kemanusiaan. Pembangkangan dan ketakaburannya tertuju kepada diri kemanusiaan, bukan kepada Allah. Wong, sebelum diciptakannya Adam mereka senantiasa bertasbih dan memuji serta mensucikan nama Allah. Lihat kembali juga pada bab keimanan kepada para malaikat sebelumnya.

Sehingga mereka, diri-diri yang menurutkan hawa nafsu (ego)-nya, sesungguhnya, dirinya sendirilah yang telah menciptakan atau menjadikan malaikat yang sebelumnya tunduk patuh untuk membantu sebagai aparat-aparatnya, kini menjadi iblis pembangkang yang  justru menjadi musuh yang menjerumuskan dan merugikan dirinya sendiri.

Sel-sel di dalam tubuh menjadi tidak bersahabat lagi terhadap satu sama lainya. Mereka membangkang, kerjanya menyimpang dari yang ditetapkan, membuat kerusakan hingga terjadi kegagalan sistem (mal function) pada organ tubuh, sehingga, sesungguhnya, dia sendirilah yang telah menetapkan kodrat-iradat bagi dirinya di hari kemudian sebagai yang merugikan.

Dalam sebuah hadits-nya Nabi memperingatkan, bahwa “ada segumpal daging di dalam tubuh yang apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, segumpal daging itu ialah hati.”  Tentunya hal ini membuktikan betapa keterkaitan yang amat mempengaruhi antara yang bathin dapat menentukan kepada yang lahir. Bagaimana hati seseorang yang kotor, yang selalu menuruti hawa nafsunya, dapat merusak tubuh atau jasadnya. Yaitu penyakit hati yang dapat menyebabkan penyakit di jasad atau tubuh seseorang. Yang telah banyak terbukti, tentunya kita sering mendengar tentang penyakit darah tinggi. Pada skala yang berat, pengaruh pikiran penderita amat berat menekan suasana hati-nya, maka penyakitnya akan lebih meningkat lagi menjadi stroke yang menyebabkan kelumpuhan pada beberapa organ tubuhnya, bahkan hingga pada kematian.

Pikiran kotor yang berada dalam hatinya ini adalah merupakan kebalikan atau lawan dari berserah diri (islam) dengan murni atau ikhlas dan rasa syukur nikmat atas setiap rahmat yang sesungguhnya telah diterima baik yang disadari maupun yang tak disadarinya. Pikiran-pikiran kotor inilah yang menghalangi mata-hatinya dalam memandang kebenaran dan kebaikan yang berada dibalik segala sesuatu yang dilihat mata-lahirnya, yang didengar telinganya, bau yang dicium hidungnya, rasa yang dikecap lidah dan rabaannya, dan lain sebagainya yang pada akhirnya dapat menyesatkan dan menjauhkan diri atau jiwanya dari kebenaran yang haqq.

“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)

“……. kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”   (QS 7:16-17)

“…… pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)

“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)

Begitulah seharusnya memaknai islam (berserah diri), bukan malah sebagai komunitas atau kelompok agama yang dengan eksklusivitasnya merasa berbeda sehingga tidak lagi menjadi rahmat bagi semesta alam, dan bahkan malah merusak dan menumpahkan darah.  Memahaminya secara positif adalah bahwa islam (berserah diri secara ikhlas) merupakan salah satu cara atau jalan di dalam jalan lurus menuju Tuhan untuk saling berbagi dan menebarkan rahmat-Nya.

Umat yang dikehendaki Allah adalah komunitas manusia yang menetapkan keberserah dirian (islam)-nya secara ikhlas, berlaku lurus dan selalu mensucikan amal perbuatan berupa kebajikan, serta selalu ingat dan menyadari akan kuasa lindungan dan pemeliharaan Tuhan Rabb semesta alam.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

……… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Bahkan Allah membenci orang yang shalat tetapi amal perbuatan-nya tak mencerminkan shalat-nya. Seolah-olah orang tersebut tak memahami untuk apa ia melakukan shalat. Seakan tak mengerti lagi, bahwa shalat adalah agar diri terhindar dari perbuatan keji dan mungkar (mengingkari Allah), apalagi perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah.

Mengapa kalimat “perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah” ini berulang-ulang dipakai ketika kita mengulas umat dan agama?  Ini, tidak lain, karena seringnya terjadi perselisihan yang melibatkan banyak orang sehingga kerusakannya pun tentu semakin besar. Dan yang paling mudah tersulut emosi (ego)-nya adalah, dalam kebanyakan kasus, mengatas namakan agama. Dan sepanjang sejarah peradaban manusia, banyak kejadian yang dilatari oleh isu-isu keagamaan yang tercatat sebagai tragedi kemanusiaan. Ingat kembali surah al Baqarah (2) ayat 35, yaitu …… Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, ……. Pada ayat tersebut sepertinya Allah menghendaki agar diri-diri kemanusiaan waspada terhadap perbuatan tersebut yang menjadi perhatian dan kekhawatiran para malaikat bahwa manusia tidak akan mampu menghindarinya. Atau kalimat itu merupakan celaan malaikat terhadap sifat-sifat kemanusiaan? Renungkanlah dengan hati yang tertuju kepada Allah semata, dan semoga Dia memberikan hikmahnya kepada diri-diri kita. Amin.

Dalam kejiwaan ini,  tahapan kejiwaan mengalami tingkatan-tingkatan yang dilaluinya dalam kehidupannya yang panjang. Dan sebagai yang perlu diingat dan menjadi dasar pemahaman, bahwa energi bawaan sebagai yang disebut jiwa, mengalami penyempurnaan seperti penyempurnaan yang terjadi pada bentuk-bentuk lahirnya, yang berasal dari partikel kemudian membentuk unsur, kemudian lagi berinteraksi membentuk senyawa, dan terus menyempurnakan diri kepada wujud-wujud yang lebih kompleks lagi persenyawaan kimianya.  Seperti yang telah diketahui secara umum, tak ada salahnya bila diulas sekilas sebagai tambahan untuk memahami yang akan diurai selanjutnya.

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

Dimulai dari tahapannya ketika masih merupakan materi atau yang disebut benda-benda mati lainnya, sebagai yang disebut al nafs al ammarah, adalah jiwa yang bekerja berdasarkan kodrat dan iradat yang telah ditetapkan kepadanya (seperti di awal bab ini telah diuraikan pula).

Kemudian tahapan kejiwaan berikutnya, al nafs al law-wamah, jiwa yang interaksinya telah dapat merespon lebih variatif lagi terhadap lingkungannya. Jiwa ini bekerja pada tumbuhan dan hewan.

Berikutnya adalah al nafs al mulham-mah, yaitu jiwa yang dapat merespon lebih jauh lagi dari segala sesuatu disekelingnya, yang pada awalnya sebagai petunjuk. Kemudian menimbang-nimbang reaksi yang akan dilakukannya berdasarkan petunjuk tersebut akan nilai-nilai, baik buruk, untung rugi, dan lain sebagainya.

Kemudian yang terakhir sebagai yang tertinggi, al nafs al muthmain-nah, adalah merupakan jiwa yang telah dapat mengendalikan segala sesuatunya demi nilai-nilai luhur.

Keempat tahapan kejiwaan diatas adalah ada yang telah, sedang, dan akan dilalui setiap kemanusiaan. Dua tahapan yang pertama tentu telah dilalui, dan yang ketiga kebanyakan umumnya kemanusiaan sedang menjalaninya sebagai proses menuju tahapan yang terakhir agar dapat kembali pulang kepada Allah SWT. Dan tahapan-tahapan ini sangat berhubungan dengan ulasan pada bab berikutnya tentang yang mempengaruhi jiwa kemanusiaan.

 

 

 

Bab XX

HATI, AKAL & KESADARAN

bagi JIWA

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

 (QS 3:190-191)

Hati atau kalbu (qalb) adalah tempat akal dan kesadaran bekerja dan berperan lebih bernilai lagi bagi kehidupan yang telah dibangkitkan oleh ruh terhadap jasad. Kedua hal tersebut, akal dan kesadaran, sungguh amat mempengaruhi jiwa kemanusiaan. Bila keduanya terganggu maka jiwapun menjadi terganggu pula. Pada tingkat keparahan yang berat gangguan yang menimpanya, disebut gila, maka hukum manapun tak berlaku lagi dikenakan kepadanya. Karena jiwanya dianggap tak ada, sekalipun dia dikatakan hidup, jasadnya masih tumbuh dan berkembang, ruh-nya pun masih melekat, serta masih butuh makan dan minum juga buang air apalagi bernafas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, maupun yang dikatakan sebagai benda mati. Yaitu jiwa-nya.

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)

Kembali kepada keberadaan jiwa, kapan jiwa mulai ada keberadaannya dan menyentuh jasad serta ruh kemanusiaan. Karena begitu dominannya akal dan kesadaran bagi kejiwaan seorang manusia, bahkan hukum manapun (termasuk hukum Tuhan) tak berlaku bila akal dan kesadaran dalam gangguan berat, maka tentunya keberadaan jiwa-pun bergantung dengan keberadaan akal dan kesadaran kemanusiaan. Bagi umat muslim tentunya masa akil baligh, yaitu masa dimana hukum telah dapat dikenakan kepadanya.

Dan dalam kondisi sadar-lah, maka rasa-nya dapat merangsang akal untuk bereaksi bekerja membuat hatinya menjadi lebih hidup lagi menerangi jiwa. Begitupun sebaliknya, dimulai dari hati yang resah atau hati yang memendam kekotoran, maka akal dan kesadaran-nya hanya tertuju pada apa yang ada di dalam hatinya saja, sedang untuk hal-hal lainnya maka akal dan kesadarannya menjadi lemah. Karena energi-nya tersedot kepada penggunaan akal & kesadaran pada hatinya yang kotor, pada saat inilah hawa nafsunya menjadi semakin kuat bergolak dan bisa tak terkendalikan lagi oleh jiwanya.

Keadaan seperti itu, tak selamanya berlangsung, dan bila Allah berkehendak, maka Dia-pun berkuasa menyentuh kesadaran-nya dengan petunjuk (cahaya yang menerangi). Dan sekali lagi akalnya akan berperan, untuk segera beralih atau terus melanjutkan kesesatannya. Bagi jiwa yang menjauhi terang cahaya-Nya, maka diri-nya sendirilah yang sesungguhnya menjauhi cahaya Allah, dan semakin butalah hatinya di dalam kegelapan yang jauh dari terangnya cahaya Allah.

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 7:72)

Kesadaran adalah suatu kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.”  (QS 33:41)

“…… Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (QS 2:198)

Kesadaran dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.

Yang paling terasa dan nyata bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan adalah, produk-produk tekhnologi modern saat ini yang merupakan hasil eksplorasi kesadaran dan akal yang pada awalnya dianggap gila dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang lainnya. Satu contoh saja produk terakhir yang ada sekarang ini, yaitu telepon selular, maka tak terhitung manfaatnya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan. Padahal, pada awalnya mungkin ratusan atau ribuan tahun yang lalu, seperti telepati sebagai cikal bakal produk ini, dianggap sebagai produk takhyul yang tak mungkin. Bila ternyata telepati berhasil dibuktikan, dianggap menggunakan jin dan merupakan perbuatan syirik. Belum lagi pada eksplorasi kesadaran dan akal pada bidang-bidang pengobatan dan kedokteran, yang pada masa-masa awalnya para juru penyembuh disebut dukun atau tukang sihir. Begitulah diri-diri, yang karena ketakutan mengalami kesesatan tetapi justru malah terpenjara oleh ketakutan (kesesatan)-nya sendiri.

Maka pikirkanlah, apa yang akan terjadi kepada mereka yang meremehkan peran kesadaran dan akal bagi kehidupannya? Tentu, sama saja dengan menutup pintu hati-nya dari menerima petunjuk yang dapat memberi kemudahan bagi dirinya sendiri, kelak.  Sehingga dirinya sebagai yang tak dapat merasakan nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya telah banyak diterimanya. Ya, nikmat-nikmat yang sesungguhnya Allah berikan adalah nikmat tunggal, bukan saja tak dirasakan nikmat kebaikannya tersebut, tetapi pula telah berubah menjadi nikmat keburukan. Karena di alam, diri kemanusiaan menerima segala sesuatu selalu bersama pasangannya.

Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu, agar tidak tersesat. Dan sungguh luas makna tersesat dalam ayat ini. Yang dalam makna keseluruhannya adalah menjaga kesadaran dengan mengingat  Allah, maka akan terhindar dari segala macam kesalahan atau tersesat, yang justru, sesungguhnya, akan merugikan dirinya kelak.

Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang di lihat, di dengarnya, di penciumannya, di rasanya, hingga di pikirnya. Akan tetapi kemanusiaan tidak akan langsung mencapai kesadaran tersebut, ada beberapa tahapan sedari awalnya yang pasti dilaluinya jenjang per jenjang.

Kesadaran Jasad (Inderawi)

Kesadaran ini adalah kesadaran yang bekerja pada tahap indera-indera kemanusiaan telah berfungsi. Dimana indera-indera seperti mata telah dapat melihat dengan jelas baik rupa dan bentuknya juga warna-warnanya, telinga pun telah dapat mendengar dengan jelas, hidung dapat mencium bau-bauan, dan lain sebagainya seperti yang telah diketahui secara umum, sehingga dirinya telah dapat berintraksi dengan lingkungannya.

Kesadaran ini telah hadir pada diri kemanusiaan di masa kanak-kanak atau balita, paling tidak usia dua tahun. Maka akan lucu bila ada orang dewasa yang telah matang secara intelektual yang tidak mau mempercayai suatu hal, dan merasa harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, atau mendengar langsung dari sumbernya. Maka orang tersebut masih berada pada tahap kesadaran kanak-kanak. Yang segala sesuatunya dipandang secara nyata terlihat oleh matanya, terdengar oleh telinganya, dan teraba oleh kulitnya. Yaitu serba materi, terjebak dengan paham materialisme sendiri.

Ketahuilah, paham ini sungguh akan mengkungkung jiwanya dari penjelajahan ke tingkat pemahaman-pemahaman yang jauh lebih luas dan tinggi dari sebelum-sebelumnya, sehingga jiwa tidak mendapatkan wawasan yang maksimal.

Seperti gunung yang terlihat jauh adalah berupa onggokan berwarna biru kusam. Setelah didekati ternyata warnanya berubah menjadi hijau kusam. Dan semakin didekati lagi warnya hijau tua. Setelah semakin dekat kita menyadari bahwa warna yang berubah-ubah itu adalah kumpulan pepohonan yang terlihat rapat berwarna hijau tua. Setelah sampai di gunung tersebut, kita tidak lagi melihat onggokan yang berubah-ubah warnanya tersebut, melainkan warna-warni dedaunan dan rerumputan. Bahkan tidak hanya itu, hawa sejuk yang sebelumnya tidak kita rasakan pun hadir menerpa indera-indera kita sebagai yang baru. Belum lagi aneka penghuni di dalam ekosistemnya yang dapat kita ketahui. Itulah salah satu contoh penjelajahan pemahaman yang menggugah kesadaran manusia menuju ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Di kali yang lain, masih terhadap orang seperti ini, yang takkan pernah percaya bila tak melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan dia merasa telah beriman dengan baik dan benar. Termasuk percaya kepada nabi-nabinya, yang tak pernah dapat lagi dilihat, didengar, apalagi diraba atau dicium keberadaanya. Bagaimana mungkin, sedangkan foto atau gambar nabi saja tidak pernah ada. Dalam hal ini dia dapat mempercayainya. Maka bagaimana pula imannya kepada Tuhan?

“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)

Suatu dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi di dalam kehidupan sehari-hari dia hanya mau menerima yang realita saja, tetapi di sisi lainnya, yang menyangkut keagamaannya, dia secara taklid dapat menerima sebagai yang diyakininya tanpa pengetahuan yang mendasari segala sebab akibat. Sehingga makna ikhlas dalam keberserah dirian (islam)-nya tidak menjadi hal yang mendasari setiap amal perbuatannya.

Begitulah Allah menghendaki setiap diri kemanusiaan menggunakan hati dan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang banyak tersebar di alam ini, yang juga dapat bermanfaat bagi kehidupannya.

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi itu sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, segala puji bagi Allah. Tetapi kebanyakan mereka tak memahaminya.”  (QS 29:63)

Bila kita mau jujur, justru yang seperti inilah yang ternyata menghinggapi kebanyakan manusia. Dimana imannya adalah merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya. Sekali lagi, kesadaran ini adalah tahap kesadaran kanak-kanak. Layaknya anak-anak yang ketika ditanya bukti-bukti atas pernyataanya maka mereka akan menjawab, “begitulah yang dibilang ayah dan ibuku kepadaku.”

Kesadaran Ilmiah (Rasional)

“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)

‘ilm al yaqqin

Kesadaran setiap diri kemanusiaan seharusnya berkembang, dari yang semula hanya merupakan kesadaran kanak-kanak naik kepada yang diatasnya, yaitu kesadaran yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Ya, kesadaran ilmiah yang berdasarkan tingkat rasionalitas yang ada pada dirinya yang juga seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.

Sesungguhnya, orang-orang yang telah mengamalkan ilmunya, baik yang didapat dari bangku pendidikan atau selainnya, sebagai orang yang telah menggunakan kesadaran ilmiahnya. Jika belum sampai diamalkan atau dipraktekkan, tetap saja merupakan kesadaran inderawi. Teori, atau hanya angan-angan belaka. Karena bila ditanya bukti-bukti pernyataannya, jawaban yang adapun seperti layaknya jawaban anak-anak, “begitulah yang dibilang guruku kepadaku.” Atau jawaban seperti ini, “begitulah yang dibilang si fulan kepadaku.”

Seperti di masa kecil, kita mendapat pengetahuan bahwa bumi-lah sesungguhnya mengelilingi matahari. Padahal yang dilihat matanya yang bergerak adalah matahari, saat pagi matahari terbit di Timur dan tenggelam sore harinya di Barat. Akalnya belum bisa menerima pengetahuan itu, dan hatinya tak puas.

Lama sekali setelah sampai di masa remajanya, dan hampir-hampir saja terlupakan, hatinya yang masih tak puas  terhadap pengetahuan tentang gerak revolusi bumi itu, saat ia bepergian ke luar kota bersama teman-teman dengan menggunakan kereta api, yang dalam lamunan dengan kepala menyender ke jendela kaca dan melihat pemandangan, tiba-tiba hatinya tersentuh, akalnya terbuka. Ya betul, apa-apa yang dilihatnya barusan, yang berada di luar kereta api, pepohonan dan rumah-rumah serta benda lainnya yang sebenarnya tak bergerak menjadi terlihat bergerak, sedangkan dirinya yang sebenarnya sedang bergerak bersama kereta api yang ditumpanginya terasa tak bergerak. Begitupun ketika seseorang di dalam pesawat dalam perjalanannya, tentu tak merasakan dirinya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, bahkan jauh melebihi kecepatan kereta api, kecuali bila kesadarannya mengingatkan itu.

Begitulah Allah memberi petunjuk kepadanya, dan masih banyak cara Allah dalam memberikan petunjuk-Nya secara misterius, yang tak disangka-sangka ketika datangnya.

Suatu kesadaran yang disandarkan kepada ilmu tentunya harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebenarnya tahapan kesadaran inipun masih dalam taraf materi atau bentuk lahir. Belumlah menyentuh kepada yang bathinnya. Karena, ternyata, begitu banyaknya yang tak terlihat dibalik yang kita lihat dengan mata lahir kita.

Kesadaran inipun sebenarnya terbantukan oleh hadirnya banyak alat-alat bantu canggih modern yang canggih, seperti mikroskop elektron-optik, teleskop, satelit, radar, GPS, radio, televisi, komputer, handphone dan lain-lainnya yang sungguh-sungguh membuat kemudahan bagi manusia untuk dapat membuka kesadaran-kesadaran tahap-tahap selanjutnya.

Contohnya, bila kita buka Al Qur’an Surah al Mu’minuun ayat 14, yang memberitatakan tahap pertumbuhan janin di dalam rahim sang ibu, maka dengan adanya alat USG kita pun dapat memonitor secara langsung bagaimana pertumbuhan seperti yang diungkapkan ayat tersebut.  Jadi tidak lagi menjawabnya seperti anak-anak menjawab, “begitulah yang aku baca di dalam Al Qur’an.”

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)

Sekalipun kita meyakini Al Qur’an adalah kitab berisi wahyu Tuhan yang penuh kebenaran, tetapi jauh lebih sempurna kita meyakininya dengan keyakinan yang nyata yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan keyakinan buta.

Di alam ini begitu banyak tersebar petunjuk kepada pemahaman yang menggugah kesadaran kita serta dapat menggiring jiwa kita kepada kesadaran-kesadaran pada tahap-tahap selanjutnya yang lebih tinggi dari sebelumnya. Serasa masih banyak lagi yang belum diketahui bagaikan rahasia-rahasia yang menyelimuti kedalaman lautan, yang dari luar permukaannya terlihat tenang  tetapi banyak misteri kehidupan di dalamnya.

Contohnya lagi adalah, bintang-bintang yang bertebaran di langit malam yang menggugah kesadaran manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu astrologi (dulu ilmu falak) kemudian berkembang kepada mempelajari musim-musim sehingga berguna pada perkembangan pemahaman dalam penentuan musim tanam pada pertanian, dan pada kelautan yang berguna bagi nelayan, bahkan juga kepada pengetahuan navigasi bagi para penjelajah yang tertarik pada penemuan-penemuan daerah-daerah baru sebagai daerah jajahan yang hendak dikuasainya.

Dan dunia pun semakin kesini semakin terasa sempit setelah kesadaran demi kesadaran terkuak satu per satu. Sekarang ini bahkan, setelah internet telah dapat diakses oleh siapapun, dalam hitungan detik kita dapat mengetahui keadaan suatu daerah sekalipun nun jauh di negri atau benua lain. Akan tetapi, semakin diketahui satu per satu, semakin pula mengundang yang lain berikutnya untuk diketahui dan dikenalnya, seakan tak pernah habis-habisnya.

“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)

Allah memang kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas, akan tetapi Dia pun menyatakan kepada mereka yang mau menggunakan akalnya itulah maka Allah berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya.

Jadi, semakin manusia menggunakan akalnya, maka semakin terbukalah kesadaran-kesadaran yang akan ditemuinya sebagai yang wajib disyukurinya, kelak. Karena telah memberinya kemudahan-kemudahan bagi yang sebelumnya terasa menyulitkannya. Yang kelak pada kesadaran tahap tertinggi, dimana hati pun ikut berperan selain akalnya, maka keimanan bukan lagi sekedar keyakinan, melainkan sebagai realitas yaitu kenyataan yang terlihat, terdengar, terrasa, tercium, bahkan terraba. Bahwa keyakinannya bukanlah cerita omong kosong para orangtua pendahulunya, melainkan perjalanan panjang kesadaran jiwa menuju sebuah kenyataan yang hakiki.

Sebenarnya, dari ayat di atas pula, menjadi timbul pemahaman pada diri ini, bahwa adanya paham Jabariyah dan Qadariyah adalah pasangan paham yang tumbuh di dunia pemikiran muslim, seperti layaknya pasangan malam dan siang atau yang lainnya, yang keduanya adalah kebenaran, dan akan menjadi kesalahan bila salah satunya dihilangkan atau dianggap tiada. Kita takkan mencapai pemahaman ini, bila sebelumnya tak mencapai pula kesadaran bahwa segala sesuatu Allah ciptakan saling berpasangan. Bahkan termasuk dengan pemikiran kita.

Jika inderanya saja belum mampu mengetahui dan menyadari segala sesuatu yang nyata wujudnya, maka bagaimana hendak beralih hendak memahami kepada segala yang bathin dan masih ghaib serta jauh sekali dari akal pemikirannya? Tetapi keyakinannya terhadap adanya segala sesuatu yang tak tampak dari apa-apa yang dilihat oleh mata lahirnya, membuat jiwanya terus menerawang berusaha dapat menembus selaput-selaput yang menyelimuti pandangan mata hatinya.

Pada saat itulah jiwanya mengalami awal transformasi kesadaran menuju kepada kesadaran yang lebih tinggi. Yaitu menuju kepada kesadaran ruhani yang halus dan lembut, yang sesungguhnya hanya dapat ditembus juga oleh hati yang halus dan penuh kelembutan.

Kesadaran Ruhani

“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)

‘ayn al yaqqin

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, ruh adalah eksistensi yang tersembunyi dan bersifat halus (ghaib) tak terlihat, tak terdengar,  tak tercium, bahkan tak terraba. Tetapi bagi hati yang peka maka akan terrasa keberadaannya. Maka tentunya kesadaran pada tahap ini sungguh adalah kesadaran yang amat sulit bagi umumnya jiwa kemanusiaan, kecuali mereka yang di dalam hatinya sebanyak mungkin menghilangkan kekotorannya.

“…..sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Apa hubungannya hati yang bersih dengan hal ini? Tidak usah kepada kesadaran tahap yang tinggi ini, kepada kesadaran yang terendah saja, yaitu kesadaran jasad (inderawi), akan menjadi tidak berguna bila hati kita sedang dipenuhi kekotoran, seperti lamunan misalnya.  Terkadang orang di sekitar berbicara apapun kita takkan mengerti, jangankan untuk paham, mendengar sajapun tidak. Terkadang guru atau dosen menerangkan sejauh manapun, murid atau mahasiswanya pun yang sedang dilanda problema di hatinya, menjadi percuma, karena jangankan akan dimengerti, didengarnya saja pun tidak. Atau bahkan bila sedang disibukkan lamunan, kita tak menyadari kehadiran seseorang atau apapun.

“Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.(QS 12:105)

“……. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.(QS 30:59)

Hatinya sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”. Menjadi hal yang tak mungkin.

Itulah sebabnya Allah mengingatkan kita agar ber-ta’awudz, memohon perlindungan-Nya dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari bisikan-bisikan yang menyesatkan yang dilakukan oleh utusan-utusan iblis (setan) untuk  menyimpangkan makna-makna yang dibaca.

Memohon perlindungan-Nya agar terhindar dari kesalahan, penyimpangan, ataupun kesesatan. Sungguh di dalamnya, Al Qur’an itu, banyak terkandung petunjuk dan hikmah sebagai kebenaran yang haqq dari Tuhan Yang Maha Haqq. Jika membaca Al Qur’an yang suci saja kita dianjurkan untuk berlindung dari penyesatan setan, maka apalagi kepada hal-hal yang jelas kesuciannya meragukan, akan menjadi wajib bagi kita untuk terus benrlindung dalam kuasa Tuhan.

“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)

Kesadaran ini adalah tahap kesadaran awal untuk dapat mengenal Tuhannya. Suatu kesadaran untuk dapat memahami segala apa yang sebelumnya hanya sekedar diimani atau diyakini, tanpa pernah dapat memuaskan hatinya. Dimana hal inilah yang menyebabkan hatinya mudah berubah-rubah, sebagaimana dikatakan banyak orang sebagai yang tak memiliki keteguhan di hatinya. Selalu dalam kebimbangan, keresahan, kesempitan, bahkan hingga kepada tak dapat mensyukuri segala rahmat Tuhan yang telah banyak diterimanya selama ini.

Untuk mengasah dan masuk lebih dalam lagi kepada kesadaran ini, maka selalu ingat dan memohon perlindungan-Nya dari kesesatan pemahaman yang dibisikkan setan atau iblis kepadanya, sebagai awal mengasah kepekaan menjadi lebih tajam dari sebelum-belumnya.

Di perjalanannya, menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego) dengan berusaha berserah diri secara ikhlas, menyempatkan diri dengan mengambil waktu-waktu tertentu di kesunyian dan keheningan malam untuk melakukan perjalanan malam (isra’) menuju dan mendekati Tuhannya. Maka tunggulah dengan kesabaran juga rasa syukur dan ikhlas berserah diri, hingga pada suatu waktu kelak, yang dengan kehendak-Nya, maka Dia akan memberikan hikmah-Nya sebagai karunia yang besar. Sempatkanlah.

Kesadaran ruhani ini adalah kesadaran yang mulai menyadari bahwa adanya eksistensi Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu yang telah diketahuinya, kemudian mengatur keseimbangannya agar terjaga, hingga kepada memelihara hidup dan kehidupannya. Dan itu berlangsung terus menerus, tiada henti dari awal yang tak pernah diketahui siapapun dan berakhirnya pun tanpa pernah diketahui siapapun. Hanya Dia Yang Maha Sempurna sendirilah yang mengetahuinya.

Sayangnya kesadaran ini mulai timbul dan terasa, pada umumnya kemanusiaan, adalah pada usia produktivitasnya sedang tinggi-tingginya, yaitu pada kisaran usia antara 30-50 tahun. Dimana pada usia-usia tersebut umumnya kemanusiaan disibukkan oleh urusan dunia-nya, seperti antara karir dan nafkah kebutuhannya saling berebut untuk mendahului, membuat kesadaran ini menjadi terabaikan oleh hatinya yang sibuk.

Kesadarannya ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas, yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin.  Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.

Bagaimana tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran (bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.

Bumi yang bisa tak dianggap keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini, ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)

Maka hatinya yang terpesona pun bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)

Menyadari kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan  jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya secara amat sempurna dan menakjubkan.

Keterbatasannya yang membuatnya hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut. Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.

Kesadaran Sejati (Realitas Tunggal)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)

haqq al yaqqin

Kesadaran ruhaninya telah mengakui eksistensi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya berperan dalam segala hal terhadap segala sesuatu di jagat raya ini. Tetapi, baginya, keberadaan-Nya tersebut masih tersembunyi.

Ya, matanya memang belum melihat, telinganya pun belum mendengar,  akan tetapi hatinya-lah yang merasakan kehadiran-Nya. Membuat jiwanya semakin merasa dahaga menginginkan untuk dapat bertemu demi menyatakan keyakinannya menuju yakin yang dapat diketahuinya. Tentu mudah untuk mengetahui keberadaan hujan dari mengalami kehujanan. Akan tetapi keyakinannya tersebut tentu pembuktiannya tak semudah itu.

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam sia berkata, sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”  (QS 6:75-79)

Renungkanlah makna bunyi ayat di atas …. sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ….. Setelah beliau (Ibrahim) kebingungan sendiri, akhirnya dia berserah diri kepada siapapun yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi dari usaha pencariannya yang tak memuaskan hatinya. Begitulah wujud manusia yang hanif, yang berusaha meluruskan kembali tujuan utamanya agar tak tersesat.

Perjalanan jiwa dalam menapaki kesadaran demi kesadaran amatlah panjang dan tak mudah. Hal ini karena amat pula dipengaruhi oleh kejernihan hati serta penggunaan akal dari setiap apa yang dilihat, didengar, dicium, diraba, yang kesemuanya agar dapat dirasakan untuk dapat diolah lagi sebagai informasi yang berguna bagi pemahaman yang haqq atas segala sesuatu.

Sesungguhnya ini pula sebagai proses menuju kedewasaan dan kebijakan  yang amat berguna bagi jiwanya. Tentu di perjalanannya pasti bertemu dengan segala macam yang menjadi rintangan, yang sesungguhnya bila direnungkan, justru adalah bagian dari proses penyucian yang dapat memurnikan segala tujuan kepada hanya tujuan tunggal.  Tujuan dari segala tujuan, yaitu Dia Yang Maha Sempurna, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Tunggal.

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.”   (QS 18:14)

Kesadaran ruhaninya pula yang berjasa membawanya kepada Realitas Tunggal, bahwa segala apa yang dilihatnya adalah karena telah diberi penglihatan sebagai anugerah dari-Nya, sekalipun tak pernah ia merasa minta untuk diberi penglihatan.

Sekarang, setelah menyadari betapa penting dan bergunanya penglihatan bagi kehidupan, baru menyadari bahwa ia diberi tanpa meminta. Tentu dulunya, ketika masih di dalam kandungan ibunya sebagai waktu yang tepat untuk meminta, maka jangankan meminta penglihatan dengan perangkatnya berupa bola mata serta syaraf-syarafnya, mengerti fungsinya pun tidak.

Begitupun kepada pendengaran, penciuman, dan banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya diberikan Allah sebagai anugerah yang lupa untuk dapat disyukurinya. Bagaimana dapat mensyukurinya, memahami fungsi pentingnya bagi kehidupannya saja baru saat ini. Sungguh lalai jiwa ini terhadap kasih dan karunia-Nya. Dan telah puluhan tahun kelalaian ini berlansung tanpa disadari.

Padahal masih banyak lagi yang belum kita sadari, dan ternyata telah bekerja membantu dan mempermudah kita dalam kehidupan ini. Apakah jiwa kita menyadari, siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan jantung untuk berdetak dan memompa darah keseluruh tubuh agar terpenuhi suplay makanan dan oksigen bagi sel-sel yang membangun tubuh kita?

Dan siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan paru-paru untuk bekerja demi pernafasan yang dibutuhkan tubuh kita?

Dan siapa pula yang sesungguhnya mengatur dan memerintahkan sel-sel untuk membelah dirinya untuk mengganti sel-sel lain yang telah mati?

Siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan syaraf-syaraf menyalurkan setiap informasi yang masuk dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa panas atau dingin, rasa yang menyenangkan atau yang menyedihkan, rasa puas atau kecewa?

Bagaimana bila Dia Yang Maha Sempurna libur sehari saja dalam pemeliharaan-Nya terhadap kita seluruh makhluk-Nya?

Tentunya masih banyak lagi yang belum kita ketahui sesungguhnya, yang telah terjadi dari semenjak lahirnya kita, bahkan membuat lupa diri dengan menjadikan pengakuan (ego)-nya lebih kuat. Merasa sombong, berbangga diri, merasa kuasa dan sekehendak hati, bahkan terhadap tubuh sendiri, karena merasa memiliki, merasa telah mengetahui banyak hal, maka menyepelekan hal-hal lainnya dan mengutamakan apa yang menjadi hawa nafsu-nya. Yang padahal sesungguhnya Allah-lah pemilik, penguasa, dan pemelihara langit dan bumi serta apa-apa yang berada dan diantara keduanya, termasuk segala sesuatu yang berada di tubuh atau jasad kita. Semuanya, termasuk dengan ilmu, akal, dan rasa kita adalah karena kemurahan-Nya.

Bernafas pun karena kemurahan-Nya. Pernahkah merasakan sakit flu? Dimana saat malam tiba, mengalami kesulitan tidur yang disebabkan tenggorokan gatal membuat batuk-batuk, telinga tersumbat dan berdengung yang mengganggu pendengaran, di sekitar mata terasa bengkak dan berair yang mengganggu penglihatan, hidung tersumbat terasa susah untuk bernafas. Begitulah tubuh ini menjadi banyak terganggu hanya karena virus flu yang menyerang kita. Hanya karena satu sebab, maka efek berantainya amat mempengaruhi banyak yang lainnya, kemudian menjadi sebab-sebab lainnya yang menyebar sehingga menyulitkan banyak hal dalam beraktivitas.

Dia Yang Maha Sempurna sebagai Eksistensi dari segala eksistensi-Nya, Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya, dan Dia-lah Realitas Sejati Yang Maha Tunggal dari setiap realita yang memenuhi langit dan bumi.

Dia-lah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu tersebut. Sedang Dia sendiri tak berawal juga tak berakhir (wa awalu wa akhiru). Dia-lah sumber segala sesuatu, pusat dari segala sesuatu berangkat dan pusat segala sesuatu kembali pulang (inna lillahi wa inna ilay’ihi raji’un).

“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.”  (QS 13: 22)

Ada hikmah yang dapat kita ambil dari penggalan ayat di atas yang mengatakan, …. menolak kejahatan dengan kebaikan, …. Yaitu dengan memaknainya, bahwa mendahului perbuatan kebaikan sesungguhnya dapat terhindar dari kejahatan yang akan datang kepada dirinya. Bagaimana mungkin orang tega melakukan kejahatan kepada orang yang selalu melakukan kebaikan, sedangkan kebaikan-kebaikannya itulah yang ternyata menjaga dirinya dari kejahatan karena tertanam di benak orang-orang di sekitarnya.

Jika menanam kebaikan maka yang tumbuh dan berkembang adalah kebaikan pula, disamping itu tumbuh pula keburukan sebagai rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan itu sesungguhnya pula adalah proses menuju kemurnian atau kebersihan diri. Ibarat menanam padi (sebagai kebaikan) di sawah, maka yang tumbuh dan berkembang adalah tanaman padi, tetapi secara bersamaan tumbuh pula rerumputan di sekitarnya yang mengganggu (sebagai keburukan). Sedangkan bila yang ditanam adalah rerumputan (keburukan), maka jangan sekali-kali berharap akan tumbuhnya tanaman padi (kebaikan). Suatu hal yang mustahil. Begitulah sunathullah sebagai ketetapan-Nya, dan tidak ada yang berubah dari fitrah ketetapan-Nya, kecuali Dia menghendaki lain.

“…… maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ……”  (QS 5:48)

Dan kita akan mengulas lebih jauh dan lebih luas lagi mengenai kebaikan atau kebajikan ini, disebabkan telah mulai sedikit memahami keberadaan Realitas Sejati sebagai Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya. Dan tiada keburukan sedikitpun yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Tetapi, karena di alam, maka manusia pun menilai segala sesuatu sebagai yang berpasangan, menilainya sebagai baik atau buruk, senang atau sedih, pahit atau manis, dan lain sebagainya. Padahal segala sesuatu yang Allah berikan adalah rahmat (kebaikan), maka bagi jiwa yang di hatinya banyak kekotoran, rahmat yang merupakan kebaikan menjadi hal yang buruk dirasakan menimpanya. Yang ternyata pula, pada akhirnya, kelak, hal tersebut berguna bagi dirinya, yaitu karena sedang mengalami pelatihan atau pembersihan bagi memurnikan jiwanya dari kekotoran.

Bila dapat merasakan nikmatnya makan makanan yang enak-enak yang menggugah selera hingga kenyang dan puas, maka nikmatilah pula perut kencang dan mulas hingga ingin ke belakang untuk buang air. Begitulah di alam.

Bagai cahaya matahari yang sampai ke bumi yang merupakan rahmat Tuhan yang besar bagi kehidupan, tetapi ada pula bagian bumi yang tidak terkena cahaya tersebut sebagai bagian dari wilayah bumi yang gelap, tentu bukanlah berarti sebagai keburukan dari rahmat-Nya melainkan  yang sedang mengalami malamnya.

Bila dapat menerima malam yang gelap sebagai kebaikan pula seperti layaknya menerima siang yang terang, mengapa tak dapat menerima kesedihan seperti layaknya menerima kebahagiaan? Mengapa tak dapat menerima kesulitan layaknya menerima kemudahan? Hingga tak dapat menerima kematian layaknya menerima kehidupan?

Tahapan kesadarannya meningkat lagi kepada menyadari dan bersyukur atas apa-apa yang telah diterimanya adalah merupakan rahmat dari Tuhannya. Yaitu telah dapat menikmati keburukan sama seperti ketika menerima kebaikan, menikmati sakit sama seperti menerima sehat, menikmati kesulitan sama seperti ketika menerima kemudahan, menikmati kesedihan sama seperti ketika menerima kebahagiaan, menikmati kekurangan sama seperti ketika menerima kecukupan, dan lain-lainnya. Baginya semuanya itu adalah sama, tiada dualitas. Merupakan pasangan dari segala sesuatu, sedangkan segala sesuatu bersumber dan mengarah kepada Allah sebagai Yang Maha Tunggal. Pada tahap inilah, kesadaran telah mencapai tahap tertinggi yang hendak menuju tempat terakhir.

Dan pada usaha mencapai tahap kesadaran ini pula, maka berdzikir (mengingat) Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah suatu cara paling baik dalam melatih diri untuk menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang dilihat, didengar, dipenciumannya, dirasa, hingga dipikirnya. Hingga pada suatu waktu kelak sampai kepada, Allah-lah yang sesungguhnya ada dilihatnya, didengarnya, diciumnya, dirasanya, sampai kepada yang ada dipikirnya. Sehingga pula dirinya pun telah sampai kepada menyadari, bahwa sesungguhnya yang melihat adalah Allah, sesungguhnya yang mendengar adalah Allah, sesungguhnya yang mencium bau adalah Allah, sesungguhnya yang merasa adalah Allah, bahkan sesungguhnya yang berpikir pun adalah Allah. Dan dimanakah jiwanya? Jiwanya hanya ada di setiap nikmat-Nya.

Manusia itu hanya menerima segala rahmat dari Allah raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), tidak kurang dan tidak lebih sebagai yang telah ditetapkan-Nya. Dari mulai nafas, hidup dan rezeki kehidupan, mati, dan dibangkitkan. Maka apakah yang utama dari hal-hal tersebut? Dapat merasakan nikmatnya-lah yang utama, oleh sebab itu bersyukurlah yang banyak pula kepada-Nya.

Itulah  ketauhidan murni, telah memahami Realitas Tunggal sebagai sejatinya realita dari segala realita yang ada di alam. Sehingga kemanapun menghadap, timur, barat, selatan dan utara, atas dan bawah maka yang ditemuinya adalah Dia. Sejauh manapun akal berpikir, maka tiada lepas dari semakin menyadari keagungan Dia Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya menguasai, mencipta, dan memelihara segala sesuatu. Maka jiwanya pun akan menjaga hawa nafsunya dari kesesatan yang dapat disesalinya kelak. Karena telah menyadari dirinya adalah wujud sempurna yang terpuji (muhammad, yang dimaksud bukan Muhammad bin Abdullah nabi SAW) sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Sempurna dan Maha Terpuji. Sebagai wujud yang mewakili perwujudan sifat-sifat Allah di alam.

 

 

 

Bab XXI

PERJALANAN KEHIDUPAN

JIWA

“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

 (QS 67:2)

Rasanya tidak tepat bila diterjemahkan sebagai menguji, karena tentu Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, maka tentu telah mengetahui pula siapa-siapa yang lebih baik amalnya. Sehingga ayat ini akan lebih tepat dimaknai, bahwa melalui kematian dan kehidupan, Allah sesungguhnya melatih manusia untuk mencapai amal terbaiknya. Bila belum  (bukannya tidak) seperti itu, tidaklah mengapa, karena segala sesuatunya akan mengalami prosesnya sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Sekalipun prosesnya panjang, berliku, dan berkali-kali sebagai suatu siklus, tidaklah menjadi soal bagi-Nya, karena tempat (alam) dan program (sunathullah)-nya semua telah disediakan dan disiapkan oleh-Nya.

Ya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan merupakan alam tempat penggodokan kekotoran yang melekat agar terlepas dari jiwa manusia, sehingga mencapai kemurnian atau kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Jadi, kematian bukanlah perjalanan langsung untuk kembali pulang, melainkan salah satu proses penyucian jiwa. Karena yang dapat kembali pulang kepada-Nya hanyalah jiwa-jiwa yang telah suci. Ketika diciptakan dalam keadaan suci, maka saat kembali pun harus dalam keadaan suci. Apakah mungkin jiwa yang masih melekat padanya kekotoran, dapat kembali masuk kepada Dia Yang Maha Tunggal dan Maha Suci?

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Perjalanan jiwa diantaranya sebagai yang mengalami kehidupan dan kematiannya, yang merupakan sarana pemurnian dan pembersihan jiwa-nya agar dapat kembali pulang kepada Allah, adalah seperti pula proses-proses segala sesuatu lainnya di alam ini. Seperti proses tidur dan bangun, proses terjadinya hujan, proses terurai-bergabungnya unsur-unsur pada senyawa kimia, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang kesemua proses-proses tersebut merupakan siklus atau kejadian yang berulang-ulang sebagai yang harus dilalui.

Apakah lebih jauhnya, makna ini dikaitkan dengan reinkarnasi-nya agama Hindu dan Budha, adalah tak menjadi soal. Apakah bila adanya perbedaan menjadi sebuah kesalahan, dan bila adanya persamaan pun juga merupakan kesalahan? Apakah hal yang penting, menjadi berbeda dengan lainnya? Masalahnya bukan pada perbedaan atau persamaan, melainkan adalah kebenaran yang haqq. Mendapatkan makna atau pemahaman yang benar adalah hal utama. Mari kita simak ayat di bawah ini,

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)

Bila kehidupan dimaknai hanya di alam dunia  (saat ini) saja, dan setelah mati maka tak ada lagi kehidupan, tentu juga adalah pemahaman yang salah. Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.

Kehidupan di alam-alam tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan alam dunia,  kehidupan alam kubur (barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian dari hari-hari agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.

“Yang menguasai hari-hari agama.”  (QS 1:4)

Yaitu hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.

Kehidupan di alam-alam tersebut pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula. Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan-kehidupan tersebut.

“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)

Maka jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.

Pemahaman dari ayat tersebut diatas maka akan melebar, pernah salah seorang sahabat rasul Allah Muhammad SAW bertanya,  “dimanakah neraka ya rasul Allah, bila surga telah memenuhi langit dan bumi?”  Maka dijawab rasul dengan bijak dan balik bertanya, ”berada dimanakah malam bila siang telah datang?”

“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)…….”  (QS 11:106-107)

Pemahaman sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)

Ayat ini menggambarkan kejadian hari akhir (kiamat qubra), yaitu peluruhan semesta alam beserta isinya, yang digulung menjadi padat dan mengecil, seperti menggulung lembaran kertas. Begitulah Allah menerangkan kejadian akhir alam semesta beserta isinya, yang prosesnya seperti memulai penciptaan pertama alam semesta yang juga beserta isinya. Dan kejadian-kejadian tersebut pun merupakan proses siklus hidup-mati alam semesta, karena Allah dengan tegas mengatakan sebagai yang akan mengulanginya kembali, bahwa hal tersebut merupakan janji yang pasti akan ditepati-Nya. Kemudian simak pula ayat di bawah ini yang menerangkan pula masa-masa awal penciptaan bumi dan langit.

“…. bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…….” (QS 21:30)

Setelah kejadian kiamat qubra (QS 21:104), dan berpadunya kembali langit dan bumi. Mulai kembalilah proses siklus penciptaan kembali langit dan bumi, yang memisahkan keduanya dari keterpaduan sebelumnya (QS 21:30). Pada saat inilah sebagai yang disebut, bahwa segala sesuatu dibangkitkan dan dikumpulkan di padang masyhar untuk menjalani perhitungan hisab yang menentukan kehidupan selanjutnya, yaitu di bumi yang baru dan langit yang baru.

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)

Itu adalah merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali (QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya.

Bila hari akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur secara bersama-sama.

Akan tetapi, jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).

Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)

Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan menjadi tumbuh menghijau kembali.

“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)

Bukan hanya setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu (baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian (akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir. Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya, akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari amal perbuatan sebagai sebab hingga terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.

Pekerjaannya dan perdagangannya pun adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkannya. Bila pekerjaannya buruk dan malah merugikan perusahaannya bukan tidak mungkin turun jabatan atau malah dipecat sebagai hari pembalasan-nya. Dan bila dalam perdagangannya hanya demi menguntungkan dirinya sendiri tetapi merugikan pembeli, bukan tidak mungkin para pembeli dan langganannya kabur bahkan meninggalkan kebangkrutan sebagai hari pembalasan-nya.

Begitu banyak kategori hari akhir untuk dimaknai, seperti akhir dari hari ini adalah pas jam 24.00 malam nanti. Lewat dari dari itu sudah besok atau lusa namanya, dimana keduanya adalah sebagai hari kemudian disebut namanya.

Pada masa-masa sekolah, hari akhir-nya adalah saat bel tanda pulang berbunyi. Besok-besok kembali sekolah lagi sebagai hari kemudian-nya. Saat bagi rapor pun adalah hari akhir masa-masa tingkat kelasnya sekarang, masa liburan pun adalah masa penantian menunggu untuk kembali ke kehidupan kelasnya yang telah meningkat. Begitulah bertingkat-tingkat dan semakin berkualitas.

Masing-masing tingkatan memiliki nilainya sendiri-sendiri. Semakin tinggi nilainya dan berbekas bagi jiwanya, maka semakin sedih dan berat dia menghadapi hari akhir-nya. Begitu pulalah pada kematian, begitu banyak kenangan yang indah yang memberatkan jiwanya untuk mau berpisah. Padahal jelas kualitas hari kemudian-nya jauh lebih baik.

Jika di kehidupan dunia, menghadapi masa-masa akhir, seperti kenaikan kelas, lulus sekolah, atau bila diterima kerja, bahkan naik jabatan, hati terasa dag dig dug, bisa timbul rasa senang atau rasa takut, yang jelas pula merupakan kegelisahan akan masa-masa yang akan dihadapinya sebagai hari kemudian-nya.

Bagi mereka yang telah mantap dan siap untuk menghadapinya, tentu kegelisahannya takkan membuat rasa takut yang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi bagi mereka yang tak siap dan mantap hatinya, tentulah kegelisahannya dapat saja malah membuat dirinya menemui kesulitan-kesulitannya kelak.

Hari kemudian setelah kematian pun sebenarnya seperti itu, karena amal perbuatan, atau bagi yang menyadari bahwa amal perbuatan di dunia adalah merupakan tugas kerasulan yang juga merupakan fitrah-nya sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sebagai tugas besar, maka pertanggungan jawabnya pun adalah hal yang besar. Ingatlah, hidup dan mati adalah seperti tidur dan bangun tetapi dengan skala waktu yang panjang.

Maka menjadi penting dan sangat utama seseorang menghadapi kematiannya dalam keadaan islam. Memaknainya pun jangan hanya “dalam keadaan beragama islam”, melainkan islam yang dimaknai sebagai dalam keadaan berserah diri secara ikhlas hanya kepada Allah semata.

Kebanyakan orang menjadi salah kaprah dan berlebihan dalam menilai makna islam jika dikaitkan sebagai agama, akan menjadi berkembang kemana-mana dan membuat kabur atau hilangnya makna asal yang sesungguhnya amatlah penting. Renungkanlah kembali makna islam (berserah diri secara ikhlas) yang sesungguhnya hanyalah salah satu jalan dari jalan-jalan terang-Nya, sebagai salah satu aturan hidup dalam menuju-Nya.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama qayyimaah (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

Makna-makna yang salah kaprah dan berlebihan yang dikembangkan kemana-mana yang mengaburkan makna asalnya dapat menyebabkan pula mengaburnya bahkan hilangnya kesadaran diri, hingga malah menyesatkan jiwa kita sendiri. Saat seperti itulah malaikat berubah menjadi iblis pembangkang yang membisikkan fanatisme berlebihan dalam segala tindakan amal perbuatan. Inilah yang menyimpangkan makna seperti timbulnya rasa paling benar sendiri, paling tahu sendiri, paling suci sendiri. Yang kesemuanya adalah rasa superioritas sebagai perwujudan sifat iblis, sehingga menganggap selain kelompoknya yang tidak sealiran dengannya adalah salah, sesat, kafir, dan musyrik.

Justru amal perbuatan seperti tersebut adalah yang menghilangkan keberserah dirian (islam) kita yang seharusnya selalu terjaga. Bayangkanlah, bahkan penyesatan iblis telah menyeret diri-diri kita kepada amal perbuatan yang merusak dan saling menumpahkan darah dengan mengatas namakan  agama. Sehingga, sesungguhnya, kita sendiri pulalah sebagai yang membuat baik atau buruk-nya agama kita, kita pulalah yang menjaga kesucian atau tercemarnya agama kita.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)

Iblis telah begitu banyak menyesatkan diri-diri kemanusiaan kepada keburukan dan kehinaannya, seakan tak puas-puasnya dengan cara-cara yang keji pula dalam tujuannya, bahkan dengan cara seperti diterangkan ayat di atas. Ya, kejahatan yang terasa indah bagi pandangan. Dengan cara inilah dia menggelincirkan mereka yang semula dalam kebaikan kepada kehinaan yang amat buruk.

Iblispun bermain dengan mengatas namakan seni dan kecantikan, mengatas namakan hukum dan hak asasi, mengatas namakan harga diri dan kehormatan, mengatas namakan ideologi dan nasionalisme, mengatas namakan budaya dan tradisi, mengatas namakan keluarga-suku-etnis, bahkan dengan mengatas namakan agama dan tuhan.

Kebenaran dijungkir balikkan dengan keinginan dan kebutuhan, kemudian dibumbui dengan bujuk rayu dan godaan hingga dikemas dengan kenyataan semu yang terlihat dan terkesan indah oleh pandangan mata dan hati. Dan inipun seolah tak asing lagi hadir di hadapan mata kita hampir di setiap harinya.

Segala sesuatu adalah dari Allah yang merupakan rahmat-Nya, dan setiba di dunia (alam) maka kemudian menjadi berpasangan (sunathullah), layaknya rahmat cahaya matahari-Nya yang sampai ke bumi maka akan juga terdapat bayangannya sebagai sisi gelap yang tak terkena cahayanya, layaknya seperti rahmat hujan yang diturunkan-Nya ke bumi maka akan menjadi bencana banjir bagi mereka yang tak dapat menjaga kelestarian lingkungannya, serta layaknya rahmat rezeki makanan dan minuman yang diberikan-Nya kepada kita maka harus ke belakang untuk buang air setelah menikmatinya. Yang semua rahmat tersebut dipandang setiap diri kemanusiaan dengan nilai baik atau buruk-nya. Semuanya, segala sesuatu yang merupakan rahmat anugerah dari-Nya, maka adalah yang memiliki pasangan-nya pula.

Karena itulah, rahmat-rahmat tersebut agar dapat disyukuri sebagai yang pasti akan kembali kepada-Nya, dan itulah bentuk kesadaran tunggal dengan berserah diri (islam) secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, baik ketika aktivitas amal perbuatan selama di kehidupannya maupun saat detik-detik menghadapi ajalnya. Itulah mengapa menjadi betapa pentingnya islam dimaknai sebagai keadaan berserah diri hanya kepada Allah, apalagi  saat menghadapi ajal. Agar yang kembali pulang kepada Allah adalah kemurnian yang tunggal pula

Sebab karena itulah maka kepada orang yang sedang menghadapi ajal (kematian)-nya, dibimbing dengan kalimat tauhid atau syahadat sebagai pengingatnya kembali akan tugas besar sebagai fitrah-nya, asy-hadu an-laa illaha illaallaah wa asy-hadu anna muhammadan rasulullaah. Ya, tentu dengan makna yang harus tepat dimengerti atau dipahami, sesungguhnya diri ini bersaksi bahwa tiada tujuan dari segala tujuan adalah hanya kepada Allah dan diri ini bersaksi bahwa wujud yang terpuji ini yang merupakan perwujudan Allah Yang Maha Terpuji (muhammad, yang bukan Muhammad bin Abdullah) adalah yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia sebagai utusan (rasul) Allah.

Yang sesungguhnya diri-diri manusia adalah juga merupakan utusan Allah yang menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada sesama sebagai makhluk-Nya di semesta alam sebagai fitrah kehidupannya.

“Allah memilih para utusan (rasul-rasul) dari malaikat dan manusia, ……..”  (QS 22:75)

Segala sesuatu makhluk Allah adalah utusan-Nya, apalagi pada diri-diri kemanusiaan sebagai wujud yang dalam bentuk sesempurna-sempurnanya (QS 95:4). Segala sesuatu telah Allah jadikan kemudahan bagi manusia. Dan segala sesuatu itu adalah membawa manfaat bagi manusia, dari mulai taburan bintang di langit yang sebagai petunjuk penentuan arah, matahari dan bulan sebagai petunjuk waktu penanggalan, dan padahal masih banyak lagi petunjuk-Nya yang bermanfaat dari matahari dan bintang-bintang di langit. Segala macam tumbuhan dan hewan selain berguna sebagai makanan, juga menjadi petunjuk bagi keilmuan bahkan tekhnologi. Pergerakan angin dan awan yang dapat di monitor menjadi ilmu metreologi dan geofisika. Mineral-mineral di dalam perut bumi sebagai ilmu geologi. Seluruhnya, di alam ini adalah merupakan segala sesuatu yang saling berbagi rahmat dan petunjuk Allah.

“…… dan malaikat dalam naungan awan………”  (QS 2:210)

Begitupun diri-diri kita, juga merupakan utusan Allah dalam menyampaikan kebenaran-Nya, bisa kepada umat bagi yang memiliki kekuatan besar, sampai hanya kepada keluarga, atau cuma kepada anak-anaknya. Atau bahkan paling tidak, hanya kepada dirinya sendiri. Ingatlah, dirinya sesungguhnya, terdiri dari milyaran sel, adalah wujud akbar di dalam kesen-diri-annya bila tak menyadari keberadaan wujud-wujud lain di dalam jasadnya. Ada yang bekerja bagi kelangsungan hidup kita, ada yang menyampaikan petunjuk, ada yang sebagai penjaga, kesemuanya adalah merupakan kebaikan.

Dan perlu disadari juga, kesemuanya pun memiliki pasangannya sebagai keburukan bila jiwanya lebih cenderung kepada kesesatan yang menjauh dari cahaya Tuhannya, yang semula bekerja bagi kelangsungan hidupnya menjadi pembangkang yang malah merusak organ-organ kehidupannya, yang semula menyampaikan petunjuk menjadi pembangkang yang malah membisik dan menggoda agar tersesat jalan, serta yang semula menjaga menjadi pembangkang yang malah menjerumuskan kepada kecelakaan dan kehinaan. Begitulah memaknai iblis yang membangkang perintah Tuhannya untuk tunduk bersujud kepada kemanusiaan yang ternyata lebih tertuju kepada sifat pembangkangan jiwa kemanusiaan itu sendiri.

Hal ini menjadi terasa asing kedengarannya adalah karena selama ini kita memaknainya tidaklah demikian, sehingga pemahamannya pun menjadi berbeda. Kita memaknainya hanya Muhammad bin Abdullah sajalah rasul Allah, sedang kita tak pernah menyadari sesungguhnya fitrah diri kita ini juga sebenarnya adalah utusan Allah, sebagai muhammad-muhammad, wakil-Nya di bumi. Dan saat itu disadari dan dinyatakan adalah sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia sebagai utusan-Nya telah selesai, dan telah siap pula untuk mempertanggung jawabkannya.

Sebagai nabi, ya beliau, putra pasangan Abdullah dan Fathimah yang pertama kali mendapat gelar muhammad, adalah nabi terakhir (khataman nabiyyin), akan tetapi rasul-rasul Allah, yang juga sebagai penerus risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW, tidak akan berhenti setelah wafatnya beliau, melainkan terus berlanjut pada diri-diri kemanusiaan yang juga sebagai pewaris pula gelar ke-muhammad-an.

“…. Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)

Mereka yang telah menemukan atau memahami realitas sejati, tentu telah kokoh keimanannya, takkan lagi ada rasa takut dan rasa sedih pada dirinya. Tuhan takkan pernah meninggalkannya, karena dengan kesadarannya ia tak pernah merasa lepas dari rahmat-Nya. Tuhannya selalu hadir di setiap kemana pun arah penglihatannya, di setiap suara pendengarannya, di setiap gerak langkah dan ucapnya, di setiap pemikiran dan bathinnya. Serta takkan mungkin pula ia dapat meningggalkan atau menjauhi Tuhannya, karena di setiap keinginan dan kehendak-nya adalah merupakan keinginan dan kehendak Dia Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu, yang tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Dan begitu pulalah sesungguhnya yang terjadi pada seluruh diri kemanusiaan. Sehingga takkan lagi dapat hinggap kepadanya segala jenis rasa takut  dan segala jenis rasa sedih.

Mengapa jiwa takut menghadapi kematian? Naluri kemanusiannya tak dapat ditipu, bahwa jiwanya belum siap untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, tak siap mempertanggung jawabkan gelar ke-muhammadan-nya.

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)

Manusia, dengan jiwanya yang tenang dan terkendali (nafs al muthma’inah) serta telah menyadari fitrah dirinya yang merupakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn) yang saling menebarkan kebajikan kepada sesama. Tiada takut akan siksa neraka dan tak tertarik akan nikmat-nya surga. Jiwa-nya hanya tertuju kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

 (QS 30:30)

 

 

 

Bab XXII

ALAM SURGA & NERAKA

“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)……. Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”

(QS 11:106-108)

Allah menciptakan Alam Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati.

Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal, bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi, benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)

Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.

Pilihan & Godaan

Surga dan neraka hanyalah alam, tempat persinggahan rasa yang membawa balasan dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Hidup dan kehidupan adalah suatu yang diberi berikut pilihan-pilihan yang dibebaskan kepada kita hendak menggunakannya yang pada kenyataannya menyesuaikan kapasitas diri, tentunya.

Seperti sebagai sebuah contoh, bila tujuan hendak ke Bali dari Jakarta, maka ada beberapa pilihan yang dapat digunakannya. Yaitu, jalan darat, jalan laut, dan jalan udara, yang kesemuanya, sekarang tarifnya tidaklah berbeda jauh. Tapi renungkanlah.

Dari segi waktu tempuh perjalanan, tentu jalan laut lebih memakan waktu dibanding jalan darat, dan jalan darat pun lebih memakan waktu dari jalan udara. Kemudian dari segi biaya lain yang akan dapat dikeluarkan selain tiket kendaraan atau alat transportasi yang digunakan, seperti makan dan minum selama di perjalanan, maka waktu perjalanan yang panjang akan mengeluarkan biaya tambahan, tentu juga sebagai efek samping dari pilihan transportasi yang hendak kita pilih.

Di dalam perjalanannya pun, terdapat pilihan-pilihan yang menggoda hati dan menimbulkan hasrat yang justru dapat menunda atau bahkan menyimpangkan dari arah tujuannya semula, bahkan lebih lagi, dapat menggagalkan sampai kepada tujuan utamanya. Bila pada pilihan transportasi laut atau transportasi darat yang lebih ada kemungkinan transit di kota-kota yang telah ditentukan, dan pada saat itulah timbul godaan-godaan yang dimaksud. Entah karena adanya sanak famili di kota tersebut, atau karena terbujuk promosi wisata kota tersebut, atau hal-hal lainnya sehingga menunda atau bahkan malah dapat menggagalkan perjalanan selanjutnya sebagai tujuan utamanya.

Dengan demikian, bagi mereka, yaitu diri-diri yang telah memahami dan menyadari tujuan hidup dan kehidupannya, maka tak tergoda lagi akan kenikmatan surga, apalagi terhadap godaan yang dapat menyebabkan dirinya singgah dan merasakan neraka. Dan ternyata, pilihan pun sesungguhnya tak ada, sebab tujuan hanyalah satu atau tunggal, yaitu kembali pulang kepada-Nya. Segala sesuatu berasal dari Allah, dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Inna lillaahi wa inna ilayhi raji’un. Allah, kepada Dia-lah tujuan utama segala sesuatu, termasuk diri-diri kita.

Jadi, surga dan neraka ternyata hanyalah pilihan dan godaan, hanyalah berada pada rasa yang sesungguhnya fana, sehingga adalah angan-angan semu. Yang ada hanyalah keberadaan Dia Yang Maha Tunggal. Dia-lah hakikat segala sesuatu, sebagai tujuan dari segala tujuan. Bila yang ada hanya-lah keberadaan Dia, maka keberadaan selain Dia, termasuk dengan diri-diri kita adalah semu (tidak ada). Apalagi rasa yang menyentuh pada setiap diri kemanusiaan, tentunya lebih semu lagi, karena semu yang berada di dalam yang semu.

“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)

Jalan hidup ini sesungguhnya adalah tunggal, yaitu dari Dia Yang Maha Tunggal. Di dunia (alam), maka manusia dengan keterbatasan melihatnya menjadi berbayang, seakan-seakan ada pilihan. Padahal tidak demikian, angan-angan dari keinginan dan kebutuhannyalah yang menjadikannya banyak, dan sebagai yang baginya merasa memiliki pilihan. Segala sesuatu berasal atau bersumber dari Allah dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Asal dan tujuan Yang Tunggal. Bila dalam prosesnya berulang-ulang, maka ini adalah yang disebut siklus yang harus dijalaninya untuk dapat kembali pulang dalam keadaan murni, suci dan bersih kepada-Nya Yang  Maha Suci.

Perhatikan dan renungkanlah hidup dan kehidupan ini, telah berapa kali kita tidur dan bangun yang sama selama ini? Telah berapa kali kita makan dan minum yang sama selama ini? Telah berapa kali kita pergi dan pulang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita melewati jalan yang sama selama ini? Telah berapa kali kita bertemu dengan orang-orang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita mengalami senang dan susah yang sama selama ini? Semua aspek kehidupan kita adalah siklus. Dan ternyata alam pun seperti itu, siang dan malam, bulan dan matahari, hujan dan kemarau, awan dan angin, gunung-gunung yang marah, begitu pula pada tumbuhan dan hewan, bahkan pada hidup dan mati.

“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Sesungguhnya pula, bila kesadaran jiwa-nya telah memahami hal tersebut, maka tak ada lagi yang disebut pilihan dan godaan, maka tak ada lagi baik dan buruk, maka tak ada lagi susah dan senang, maka tak ada lagi surga dan neraka, karena asal dan tujuan yang telah jelas, dan jalannya pun lurus dan lebar lagi terang–benderang dibanjiri cahaya Tuhan yang penuh akan petunjuk dan kebenaran.

Rasa Bathin

Tidak jarang firman-firman Allah di dalam ayat-ayatNya memberitakan kehidupan surga yang berupa nikmat-nikmat lahiriah, bahkan kebanyakannya. Yaitu penggambaran seperti berupa taman-taman sejuk yang tak terkena terik matahari, kebun-kebun dengan buah-buahan yang tak pernah habis, sungai-sungai dari susu dan anggur atau khamar yang nikmat rasanya, bahkan bidadari-bidadari yang menemani lagi muda dan cantik jelita. Sebagai nikmat-nikmat keduniaan.

Bila di kehidupan dunia, hal-hal tersebut sebagai yang perlu diwaspadai atau malah dihindari, bahkan kepada istri dan anak sebagai musuh yang dapat menjerumuskan (QS 9:24 dan 64:14), dan dikehidupan akhirat seakan-akan malah diberikan, atau seakan tak berlaku lagi hukum-hukum seperti ketika di dunia, seolah-olah sebagai kebebasan. Tetapi jangan terburu-buru dalam menafsirkannya, ada pula ayat yang memberitakan di surga Adn juga ada kejahatan yang dapat mengganggu dan menjerumuskan penghuninya. Simaklah ayat-ayat di bawah ini, tentang malaikat yang mendoakan untuk orang-orang yang beriman agar dihindarkan dari kejahatan.

“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)

Begitupula sebaliknya dengan penggambaran neraka, yang diberitakan di dalam ayat-ayatNya, berupa azab-azab lahiriah yang selalu berhubungan dengan rasa sakit jasad penghuninya yang tak berkesudahan.

Perhatikan dan renungkan pula, tentang ‘ramalan’ Allah  terhadap segeranya kemenangan imperium Romawi  (sebagai wakil agama samawi atau nasrani yang ahli kitab pula) setelah baru dikalahkan oleh imperium Persia (penyembah api atau berhala sebagai wakil agama musyrik), dalam wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW di masa-masa awal kenabiannya, dikarenakan pada masa-masa awal kenabiannya, kaum muslimin mendapatkan cercaan dan hinaan dari kaum musyrikin Mekkah. Konon, malah Abu Bakar, sahabat nabi, dianjurkan nabi untuk ikut bertaruh sebanyak seratus unta, untuk membuktikan keyakinan kebenaran wahyu Allah tersebut (QS 30:2-7).

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Akhirat dalam ayat tersebut tidaklah dimaksudkan Allah sebagai alam setelah kematian saja, atau bahkan setelah kiamat (setelah hancurnya langit dan bumi), melainkan juga sebagai hari kemudian yang bermakna masih di kehidupan dunia, bisa dengan hari-hari esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau masa-masa yang akan datang. Sekalipun banyak pula ayat-ayat yang menerangkan kehidupan akhirat setelah kematian, setelah hari kiamat, atau bahkan setelah kebangkitan. Maka jelas, di kehidupan dunia ini pun ada akhirat-nya sebagai yang bathin, atau belum diketahui (ghaib).

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)

Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.

Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.

Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.

Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.

Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.

Suatu hari, diri ini pernah tercengang ketika disuruh menyembelih seekor ayam untuk membuat makanan bacang sebagai isi dalamnya. Dia minta setelah dipotong agar dipisah bagian per bagiannya, maka setelah selesai sesuai dengan permintaannya, diantarlah kepadanya. Masing-masing bagian ditempatkan diatas piring-piring, ada piring yang berisi daging, tulang-tulang, kepala, usus-usus, hati, dan ampela. Bahkan bulunya pun ditunjukkan di dalam plastik kresek untuk dibuang. Kemudian dia berkata, “loh, ayam-nya kemana?”

Maka, segala sesuatu adalah bathin, fana, atau tidak ada. Hanya Dia yang wujud, dan segala sesuatu wujud selain Dia adalah karena perwujudan-Nya, yaitu karena kehendak-Nya.

Alamnya Hari Pembalasan

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Seperti yang telah di ketahui dan diulas sebelumnya di awal, hari pembalasan tidak hanya masa-masa setelah kematian dan dibangkitkan saja, melainkan juga masa-masa masih di kehidupan dunia pun ada pula hari pembalasannya sebagai akibat dari gerak amal perbuatan. Jangan tertipu oleh hawa nafsu sehingga menyangka tidak adanya pembalasan selama masih hidup di dunia, yang merupakan akibat dari perbuatannya. Sadarilah, tidak hanya diri kita sendiri saja yang memiliki hawa nafsu, yang lain pun memilikinya. Maka apabila sampai kita terperosok dengan mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, jelas dia pun akan  balik bereaksi yang menuntut kerugiannya. Tidak hanya kepada manusia, bahkan kepada hewan, tumbuhan, ataupun alam ini, mereka pun dapat balik bereaksi buruk terhadap perilaku kita.

Sebenarnya, diri-diri kita kebanyakan, telah terjebak memaknai hari kemudian, hari yang setelah kematian (hari akhir), yang didalamnya termasuk dengan hari penantian di alam kubur, hari kebangkitan di padang mashar, dan hari pembalasan di surga atau neraka, lebih tertuju kepada alam-alam lain, yaitu alam-alam tersendiri selain alam semesta yang ada sekarang ini, sebagai alam-alam yang terpisah dari alam kita sekarang ini. Padahal makna sesungguhnya, hari kemudian adalah masa-masa di kemudian hari yang jiwa-jiwa kita melalui kehidupan selanjutnya tanpa pernah terpisah dengan alam yang kita tempati ini. Hanya waktu atau masanya yang berbeda, yaitu waktu atau masa kemudian.

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)

Jika umumnya orang mengatakan, bahwa setelah kematian maka jiwa tersebut telah memasuki alam yang berbeda sebagai alam yang lain dari alam ini, tetapi mengapa pula ada rasa takut pada diri mereka bila sempat bersinggungan dengan makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang mereka anggap telah berada di alam lain tersebut?

Sekali lagi, betapa banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul  rasa ingin menikmati surga.

Padahal, keduanya adalah godaan. Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan merasakan nikmatnya surga,  sedang tujuan utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.

Layaknya seorang yang keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan.

Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)

Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam sedikit merasakan neraka-nya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk dan mendapat balasan neraka-nya, mendapat harapan pula merasakan sedikit kenikmatan surga-nya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)

Kehidupan berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat.

Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”

 (QS 21:104)

 

Bab XXIII

MENGHINDARI  TAQLID

yang

MENYESATKAN

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

(QS 3:190-191)

Al Qur’an, sebagai kitab kumpulan wahyu Tuhan, yang banyak memberikan penjelasan secara universal tentang alam dan kehidupan isinya, adalah sebuah panduan yang memerlukan penafsiran serta membutuhkan akal-pikir manusia dalam interaksinya terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya, sehingga memiliki makna bagi kehidupannya.

Segala macam pembuktian terhadap firman-firman Allah di dalam Al Qur’an oleh sains, yaitu akal pikir manusia, ternyata belumlah cukup mencapai kepada taraf memuaskan semakin dalam pemahaman kita terhadap alam. Sementara, keterbatasan akal pikir serta dalam penafsiran ayat adalah juga sebagai faktor penentu keberhasilannya. Tetapi dengan petunjuk dan hidayah dari Allah saja lah yang merupakan suatu faktor keberhasilan sehingga memiliki makna yang besar bagi kehidupan kemanusiaan dan peradabannya.

Dalam setiap penafsiran tentu akan menimbulkan perbedaan-perbedaan makna dari masing-masing diri yang menafsirkannya. Ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya minat (ketertarikan), latar belakang kehidupan, wawasan, emosi dan kecerdasan, serta lain-lainnya. Masing-masing tentulah akan mempertahankan sampai kepada pelemahan pemahamannya, dan bagi mereka yang telah terbukanya pintu kesadaran akan lemahnya pemahamannya, tentu dapat menerima dan beralih kepada pemahaman baru yang lebih memiliki nilai kebenaran.

“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit….. ”  (QS 6:125)

Sedangkan mereka yang pintu kesadarannya tidak terbuka, jelas akan mempertahankan pemahamannya layaknya seorang buta yang teriak memaki tidak suka ketika akan dituntun untuk dibantu sewaktu hendak menyeberang jalan. Hal seperti inilah, yang sesungguhnya menyebabkan perbedaan-perbedaan yang tak pernah terselesaikan, bahkan sampai menyebabkan pertentangan-pertentangan paham, apalagi bila masing-masing memiliki pengikut atau umat. Sehingga timbullah taqlid terhadap madzhab-madzhab yang dijadikan dogma oleh dirinya sendiri.

“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)

Lebih jauh lagi pertentangannya, akan lebih jauh pula dalam menyesatkannya, bahkan sampai kepada saling tuduh sesat atau kafir. Seperti yang terjadi setelah masa-masa sepeninggal keempat sahabat rasulullah SAW. Bahkan pada masa itu, teori evolusi (sebelum teori Darwin) penciptaan kehidupan pun telah mengemuka dan menimbulkan banyak pertentangan. Sejak abad ke 6 SM (sebelum Masehi), pemikiran-pemikiran evolusi telah ada. Pencetus pertamanya adalah seorang filsuf Yunani, Anaximander, bahkan biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawih, Ikhwan as Shafa, dan filsuf Cina Zhuangzi.

Seiring dengan pengetahuan biologi pada abad ke 18 M, pemikiran evolusi mulai ditelusuri lagi oleh beberapa filsuf di eropa, seperti Piere Maupertuis dan Erasmus Darwin. Pemikiran biologiawan Jean Baptiste Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang sangat luas saat itu. Hingga Charles Darwin  merumuskan pemikirannya dalam struggle for life dan survival of  fittest (seleksi alam).

Alam semesta berikut kehidupan di dalamnya, termasuk kehidupan kemanusiaan, yang luasnya tak terkira oleh akal pikir maupun pemahaman, juga ternyata telah berada di dalam dada setiap diri kemanusiaan. Yaitu, bagi mereka yang menyadari dan menggali, serta hati yang peka akan  petunjuk dari kemurahan Sang Pencipta. Cahaya-Nya akan menerangi segala pemahaman, yang terbuka sedikit demi sedikit dan tahap demi tahap, sesuai dengan kebersihan hati dari lunturnya kekotoran yang menghalangi cahaya-Nya untuk masuk dan mengungkap segala hakikat.

Dari atom sampai bintang dan dari sel sampai pada wujud manusia seutuhnya, adalah memiliki keidentikan struktur penyusunannya. Pola yang diterapkan oleh suatu Yang Tunggal dalam setiap penciptaan-Nya. Dialah yang meng-awali dan meng-akhiri, Dialah yang tak ber-awal dan tak ber-akhir, Dialah yang Maha Hidup dan Maha Mandiri. Dialah yang tidak ber-anak dan tidak diper-anak-an. Dialah Allah tuhan yang Tunggal. Dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.

“,,,,,Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya…..”  (QS 7:37)

“………melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)

 “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .”  (QS 6:38)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 6:59)

“………… Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 11:6)

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa segala sesuatu materi, baik yang diklasifikasikan sebagai makhluk hidup maupun materi yang disebut benda mati, memiliki energi bawaan-nya yang disebut pilinan rantai genetika (pada sel makhluk hidup, atau DNA) dan pilinan rantai energi (pada energi di dalam partikel materi). Keduanya inilah yang sama-sama berfungsi sebagai cetak biru arah gerak hidup-nya, dalam bahasa ruhani adalah kodrat dan iradat yang telah ditetapkan Tuhannya. Dan dalam bahasa Al Qur’an, adalah sebagai kitab-nya yang nyata (kitab mubiyn).

“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”  (QS 2:255)

Inilah sesungguhnya, sebagai dasar pijakan akal dan pemikiran, bahwa Allah tiada pernah tersentuh kelelahan, kerepotan, ataupun rasa kantuk dalam mencipta, menguasai, hingga memelihara segala sesuatu di alam ini berikut isinya yang tak terhitung banyaknya. Karena Dia telah menciptakannya secara sistematis dan amat sempurna. Dari sinilah, bahwa segala sesuatunya tiada yang lepas telah tercatat dan ditetapkan arah gerak hidup-nya oleh Allah, sebagai ar rahmaan. Dia Yang Maha Pemurah, maka jelas kemurahan-Nya adalah merahmati segala sesuatu yang diciptakan-Nya, makhluk-Nya, yang tersebar seantero jagad raya ini, maka Dia tentunya mengetahui segala sesuatu itu, disebutlah Dia sebagai Yang Maha Mengetahui. Dengan pengetahuan-Nya tentu membuatnya tak pernah tersentuh kelelahan,  kerepotan, ataupun rasa kantuk di setiap waktu, maka disebutlah Dia sebagai Yang Maha Kuasa.

“Sucikanlah nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)

Proses  penciptaan semesta alam ini, yang dalam Al Qur’an disebut sebagai penciptaan langit dan bumi, banyak dijelaskan Allah melalui ayat-ayat Nya secara terpisah-pisah dan dengan gaya bahasa yang universal dapat diterima oleh semua kalangan. Jika ayat-ayat tersebut diurutkan maka akan dapat disimpulkan bahwa prosesnya melalui tahapan-tahapan yang panjang skala waktunya. Tidak ujug-ujug jadi.

Kebanyakan para penentang teori evolusi, tidak hanya dari sebagian umat muslim saja melainkan pula dari kalangan gereja, karena merasa teori tersebut bertentangan dengan penafsiran mereka terhadap kitab sucinya. Dan memang, penafsiran terhadap segala sesuatu adalah sangat dipengaruhi oleh peran fungsi akal dan kesadaran setiap diri kemanusiaan, begitu pula penafsiran terhadap firman Tuhan.

Padahal telah ada pelajaran berharga pada abad pertengahan, yaitu hukuman mati yang dijatuhkan oleh gereja Katholik Roma terhadap Galileo Galilei, karena pernyataannya yang berdasarkan penelitian melalui teleskop bahwa bumi-lah yang ternyata mengelilingi matahari. Dan baru beberapa ratus tahun kemudian pihak gereja mengakui kesalahannya. Disinilah nama baik atau kesucian agama menjadi taruhan. Janganlah karena taqlid-nya pada penafsiran sehingga membuat kita malah tersesat seperti tersesatnya mereka, karena firman Tuhan di dalam ayat-ayat masih memerlukan penafsiran yang mendalam yang perlu juga didukung oleh akal pemikiran bahkan tekhnologi. Yang pada akhirnya manfaatnya akan kembali pula pada diri kita.

Seperti pula penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka terjadilah), yang ditafsirkan bahwa, bila Allah berkata jadi, maka jadilah seketika itu juga. Sehingga mereka yang menafsirkannya seperti itu, tergesa-gesa pula menjadi penentang teori evolusi-nya Darwin, seperti pihak gereja tergesa-gesa menentang teori sistem planeter-nya Galileo Galilei. Padahal di ayat-ayat yang lainnya menunjukkan hal tersebut memerlukan waktu proses.

“….. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 22:47)

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)

“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun (untuk ukuran manusia).” (QS 70:4)

Dan pada kisah Maryam, saat malaikat Jibril membawa berita dari Tuhannya, bahwa dia akan memiliki seorang putra yang bernama al Masih Isa putra Maryam. Kemudian Jibril pun meyakinkannya dengan berkata, ….. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya,  jadilah, lalu jadilah dia. (QS 3:45-47)

Para cendekiawan agama yang terjebak dalam perdebatan pertentangannya terhadap teori evolusi, yang secara terang-terangan menolak teori ini karena didasarkan dogma kitab suci yang ternyata memerlukan penafsiran pula dalam memahaminya, sebenarnya selain mempertaruhkan keilmuannya, juga telah berani mempertaruhkan kesucian kitabnya yang tentunya mutlak kebenarannya dengan penafsiran yang benar. Maka bila kesalahan ada pada penafsirannya, sungguh ia telah turut menjatuhkan martabat kesucian kitabnya. Seperti kasus Galileo Galilei yang telah disebut di atas.

Tidak ada kitab suci yang menerangkan proses penciptaan manusia dan penciptaan semesta alam selengkap Al Qur’an. Tetapi mengapa masih sering terpancing pada perdebatan yang tiada guna, dan jelas-jelas memang pada setiap ciptaan-Nya pasti mengalami proses evolusi (tahapan perubahan) sebagai suatu ketetapan-Nya (sunathullah). Mana lebih kompleks susunan unsurnya pada tubuh kera atau tanah? Bila demikian, mengapa terusik egonya bila teori evolusi ini menyebutkan manusia berasal dari kera? Ingatlah, iblis dikutuk Allah karena kesombongannya yang merasa asal kejadiannya lebih sempurna dari manusia.

Dan penciptaan Isa al Masih itupun memerlukan proses, yaitu proses di dalam kandungan selama sembilan bulan, kepayahan, dan melalui juga proses kelahirannya. Tidak langsung jadi. Dan itulah ketetapan-Nya.

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata, aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”  (QS 19:22-23)

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian darinya Kami menjadikan air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh. Kemudian dari air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah Pencipta yang paling sempurna.”         (QS 23:12-14)

“Dan mengapa mereka tak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan……..” (QS 30:8)

Pahamilah dengan seksama ayat-ayat  tersebut di atas, sangat jelas menerangkan proses tahapan penciptaan manusia, dari mulai sebagai yang belum bisa disebut (unsur-unsur materi, seperti senyawa-senyawa protein, asam amino, dan senyawa organik lainnya) yang berasal dari saripati tanah yang dihisap oleh tumbuhan sebagai makanannya, kemudian tumbuhan itupun menjadi makanan manusia, dan di dalam tubuhnya di cerna yang sebagian hasil pencernaannya untuk pembentukan sperma-sperma yang selalu terbarukan. Selanjutnya setelah sperma yang bertemu dengan sel telur dan tersimpan di dalam rahim pun melalui tahapan-tahapan proses perubahan bentuk (evolusi) kejadiannya  yang menuju kesempurnaannya. Belum cukupkah itu membuktikan terjadinya proses evolusi pada penciptaan kehidupan?

Maka makna penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka terjadilah), tidaklah selalu harus terjadi dengan seketika atau sekejapan mata, melainkan melalui proses-proses yang telah ada dalam setiap ketetapan-Nya (sunathullah). Dan tahapan prosesnya adalah merupakan proses perubahan bentuk atau wujud yang juga tidak seketika dan memerlukan waktu, atau disebut pula evolusi. Sedangkan tahapan yang prosesnya berlangsung cepat disebut revolusi.

Seperti ulat daun yang makan sebanyak-sebanyaknya sebagai bekalnya untuk waktu berpuasa di dalam kepompong selama berminggu-minggu, dan ketika keluar telah bersayap indah sebagai kupu-kupu yang cantik mempesona. Begitupun pada larva-larva di dalam air, setelah masanya menjadi bentuk yang lain, yaitu nyamuk-nyamuk. Atau belatung-belatung yang menjijikkan yang berada pada sisa-sisa makanan yang membusuk, maka setelah masanya pun akan menjadi lalat-lalat.

Begitulah segala sesuatu yang selain Dia adalah ciptaan-Nya, makhluk yang tidak kekal (hadits) mengalami perubahan dan selalu terbarukan dalam berbagai bentuk dan wujudnya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)

“…… maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari stetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) sampailah pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. ……” (QS 22:5)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.”  (QS 16:78)

Juga pada proses penciptaan yang lebih besar dibandingkan penciptaan manusia atau makhluk hidup lainnya, yaitu proses penciptaan langit dan bumi, juga tentu memerlukan waktu.

Ulasan ini hanyalah sebagai contoh kasus bahayanya taklid terhadap segala sesuatu, apalagi taqlid kepada penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. Yang namanya penafsiran tentu selalu berkembang sesuai perkembangan peradaban. Belum lagi penafsiran yang pasti berbeda-beda. Jangankan pada penafsiran, pada penerjemahan ayat-ayat Al Qur’an saja memiliki perbedaan penggunaan istilah di setiap masanya. Jika ingin lebih jelas, coba saja cek terjemahan keluaran cetakan lima atau sepuluh tahun yang lalu dengan terjemahan yang keluaran cetakan terbaru, maka pasti terdapat perbedaan pemakaian istilah yang mungkin saja menyulitkan pembacanya untuk mendapatkan  makna yang seharusnya. Bila hal tersebut diperkuat lagi dengan ketaqlidan, maka tentu dapat pula membawa kita kepada kesesatan dalam pemahaman.

Taqlid sungguh akan mematikan akal kita dalam setiap petunjuk yang sesungguhnya setiap saat hadir di hadapan kita, karena taklid yang mempertahankan pemahaman lama dari datangnya pemahaman baru yang lebih mencerahkan. Sedangkan seperti yang kita sadari, bahwa Al Qur’an tak pernah lekang oleh masa.

Penafsiran ayat-ayatnya pun berkembang sesuai perkembangan peradaban kemanusiaan yang semakin menunjukkan kebenaran-nya. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin membuka tabir-tabir segala seuatu yang sebelumnya ghaib di alam ini untuk dapat diketahui, dikenal, dan dipahami serta mengambil manfaat-manfaat darinya. Begitulah Allah menunjuki kepada siapapun yang mau menggunakan akalnya.

Penafsiran adalah merupakan produk kemanusiaan, yang diliputi keterbatasan. Karena itulah selalu diperbaharui sepanjang masa. Bila diri kita ini terjebak, dan tidak mau menerima petunjuk-petunjuk berupa pemahaman baru, dan lebih kuat dalam mempertahankan pemahaman lama tanpa mengusahakan terlebih dahulu akalnya untuk menimbang, maka jelaslah diri kita termasuk golongan orang-orang yang menutup pintu hatinya dari petunjuk (cahaya Tuhan). Orang-orang inilah yang lebih memiliki peluang terjerumus kesesatan, karena tidak pernah mau melatih akalnya untuk bekerja. Kepekaan hatinya menjadi tumpul dalam melihat yang bathin dari segala sesuatu, sehingga lebih mudah terjerumus pada kesesatan.

Setelah shalat shubuh, Bilal bertanya,“Ya Rasulullah, apa gerangan yang telah membuatmu menangis. Bukankah Allah SWT telah mengampuni segala dosamu yang lampau dan yang akan datang?” Kemudian beliau menjawab, “Celaka kamu Bilal, bagaimana aku tidak menangis jika pada malam ini Allah SWT telah mewahyukan kepadaku ayat Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS 3:190) Kemudian beliau berkata lagi, “Celakalah bagi siapa saja yang membacanya, tapi tidak merenungkan kandungan maknanya.” [Tafsir Ibnu Katsir (1/441)]

Dibawah ini disajikan beberapa ayat Al Qur’an, yang sengaja dicoba untuk diurutkan berdasarkan proses kejadian alam semesta (langit dan bumi serta isinya), yang insya Allah, dapat membantu mempermudah pemahaman kita kepada proses tersebut.

“…..Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan……” (QS 30:8)

“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…..”  (QS 21:30)

“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.(QS 41:10)

Setelah langit dan bumi terpisah, dan Allah membentuk langit dan menghiasinya dengan bintang-bintang. Demikian pula bersamaan waktunya Dia menetapkan kepada penciptaan di bumi. Pada masa-masa inilah sebagai masa penciptaan sarana bagi kehidupan, dengan terlebih dahulu menyiapkan makanan-makanan bagi penghuni bumi, nantinya.

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)

Ketentuan-Nya diantaranya adalah,

Gaya-gaya serta energi yang terjadi saat langit telah dilengkapi segala isinya, kemudian matahari dengan tata suryanya yang juga telah terbentuk sebagai lingkungan atau habitat bagi bumi, amat mempengaruhi apa-apa yang terjadi kemudian pada bumi. Diantaranya adalah mempengaruhi posisi tata letak kedudukan bumi yang amat menentukan proses-proses selanjutnya pada terciptanya kehidupan di bumi.

Pertama, gaya berputar pada porosnya (spinself) akibat gaya magnet pada kedua kutubnya yang menyebabkan terjadinya siang dan malam, sehingga terbentuklah suatu sistem waktu yang konstan, serta suhu permukaan yang dipengaruhi oleh keadaan siang maupun malam.

Kedua, pergeseran kemiringan poros bumi sebesar 23,5⁰ tegak lurus terhadap garis edar bumi yang mengelilingi matahari, menyebabkan ada malam atau siang yang lebih panjang di suatu wilayah tertentu. Dan hal ini menyebabkan perbedaan musim atau iklim suatu wilayah dibanding wilyah lainnya di permukaan bumi.

Kedua hal tersebut telah sangat mempengaruhi semakin kaya dan beragamnya pembentukan unsur-unsur di bumi karena dipengaruhi suhu permukaan dari adanya siang dan malam, yaitu perubahan temperatur dan iklim yang ekstrim pada awalnya, sehingga mengakibatkan keadaan dan kondisi bumi kepada aktivitas perubahan pada kontur lapisan kerak permukaan bumi. Baik pada pembentukan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya, dan kekayaan gas yang keluar akibat perubahan kontur di permukaan, seperti gerak akibat pergeseran kerak bumi, terbentuknya gunung-gunung berapi purba, lembah dan ngarai, rawa-rawa, danau, laut dan samudra, dan sebagainya. Inilah penghamparan bumi bagi persiapan pembentukan dari setiap ciptaan di masa kemudian.

Kekayaan mineral gas yang keluar dari aktivitas gunung-gunung api purba dan aktivitas lempeng yang mengeluarkan uap panas bumi, yang dipengaruhi gaya gravitasi sehingga tertahan tidak terus bergerak menjauhi permukaaan dan membentuk lapisan-lapisan atmosfir yang akan berguna melindungi bumi dari hantaman-hantaman benda langit yang datang, seperti meteor, asteroid, dan komet. Juga radiasi sinar matahari yang sebagiannya berbahaya bagi kehidupan, dan sebagiannya lagi yang berguna tetap menembus masuk dan mempengaruhi di atas permukaan bumi. Selain itu juga sebagai pelindung masuknya pengaruh suhu luar yang mencapai 270⁰ C di bawah nol. Selain atmosfir, bumi pun memiliki pelindung lain seperti Sabuk Van Allen, adalah radiasi medan magnet yang terbentuk karena kerapatan massa dari inti bumi yang terdiri dari Nikel dan Besi. Sabuk Van Allen ini ternyata ikut melindungi bumi dari jilatan lidah api matahari ketika terjadi badai di matahari yang suhunya ketika mendekati bumi mencapai 2500⁰ C secara tiba-tiba dan menimbulkan radiasi gelombang kejut.

Kemudian pada gas-gas yang molekul-molekulnya berinteraksi berupa uap air akan diturunkan kembali dalam bentuk hujan yang membasahi permukaan bumi. Yang tidak keluar dari permukaan, berinteraksi membentuk sumber-sumber air tersebar dan terkandung di dalam perut bumi. Dan mengeluarkannya melalui mata-mata air di permukaan.

Mari kita telaah kembali kalimat penutup ayat 30 surah Al Anbiya,

“…….. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS 21:30)

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya (bumi) sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya.”  (QS 15:19-20)

Proses penciptaan yang tiada henti-hentinya ini, semakin melimpahkan kekayaan akan unsur-unsur yang terbentuk di permukaan bumi. Selain air dan mineral, serta cahaya yang melimpah, ditambah perubahan-perubahan iklim yang ekstrim menciptakan hujan-hujan petir sebagai gelombang kejut yang juga merupakan pemicu interaksi yang lebih dinamis dan kompleks lagi, maka mulailah pembentukan protein dan asam amino sebagai senyawa molekul organik dari interaksi atom-atom beberapa unsur tersebut, yang juga adalah merupakan pembentuk sel kehidupan primitif seperti, fungi, protozoa dan bakteri-bakteri bersel tunggal, sel yang terdiri atau berbasis kabon dan air.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat (halilintar) untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.”  (QS 30:24)

Air sebagai sumber dasar kehidupan, tidak perlu diulas mendetail lagi, dan telah dipertegas kembali oleh penutupan ayat  tersebut (QS 21:30) di atas. Dan keberadaannya yang melimpah, meliputi 70% permukaan bumi dalam bentuk lautan dan samudra, belum lagi kandungan-kandungannya di dalam perut bumi, sehingga bumi merupakan ibu kandung bagi kehidupan yang melahirkan begitu banyak kehidupan. Sebagai ibu pertiwi.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.”  (QS 15:16)

“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?  (QS 71:16)

“Dan Dia telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”  (QS 14:33)

“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata air-nya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan kokoh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (QS 79:27-33)

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”  (QS 51:47)

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)

Kembali kepada proses terbentuknya kehidupan pertama yang memakan waktu ribuan bahkan jutaan tahun, dengan proses reaksi sintesa terhadap tanah permukaan bumi yang telah didukung air yang melimpah dalam bentuk rawa-rawa, serta energi panas matahari sehingga terbentuklah zat-zat anorganik, dan kemudian zat-zat organik, sebagai benih dasar sel-sel generatif.

Dan fungsi air sebagai pelarut, yang membawa dan mengumpulkan zat-zat organik dan segala macam unsur-unsur mineral, air yang melimpah tersebar merata di permukaan bumi, selain dalam bentuk lautan dan samudra, danau dan sungai, juga yang diduga kuat andilnya sebagai dapur penciptaan adalah rawa-rawa purba yang dangkal dan kental serta kaya akan mineral serta zat organik seperti protein dan asam amino. Seperti kaldu purba.

Dan peranannya dalam kelahiran kehidupan pertama ini, rawa-rawa purba yang banyak tersebar di seluruh permukaan bumi, keberadaannya tersebutlah sebagai rahim bagi janin-janin makhluk hidup pertama. Penciptaan manusia dengan kerumitan strukturnya yang terdiri dari milyaran sel penyusun tubuhnya, adalah pula karya gemilang yang merupakan kesempurnaan dari seluruh ciptaan.

“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”  (QS 14:48)

Dua ayat terakhir ini menjelaskan keadaan alam semesta pada hari akhir (kiamat qubra), yang disebutkan pula ternyata memiliki keadaan atau proses yang sama saat pada hari awal (penciptaan pertama). Dan Allah sungguh-sungguh menegaskan, bahwa proses tersebut merupakan siklus pengulangan penciptaan.

Perumpamaan proses kejadian pada hari akhir (kiamat qubra), dimana langit dengan bintang-bintangnya hancur luluh melebur bersama bumi, seperti mengulung lembaran-lembaran kertas yang berlapis-lapis (QS 21:104), agar kita mudah memahami proses  singularitas (berpadunya kembali langit dan bumi), termasuk tujuh lapis langit, galaksi-galaksi dengan bintang-bintangnya, bumi, matahari, bulan, serta seluruh benda-benda langit lainnya, menjadi suatu yang padu kembali seperti kejadian awal yang dijelaskan pada QS 21:30. Yaitu, kembali pulang-nya segala sesuatu kepada sumber-nya Dia Yang Maha Tunggal, inna lillahi wa inna ilayhi raji’un.

Demikianlah ulasan ini hendak mengingatkan kita agar tidak tersesat oleh pemahaman kita sendiri, seperti di waktu-waktu yang lalu, bahwa sesungguhnya Dia-lah tujuan utama kita dalam kehidupan ini dan kehidupan nanti. Artinya, segala sesuatu tiada yang kekal dan abadi, baik dari segi waktu-nya maupun kebenaran-nya. Akan selalu ada kebenaran lain yang memperbaikinya.

Hanya Dialah Kebenaran Sejati, karena itu janganlah mengunci mati hati kita dari setiap yang akan datang sebagai petunjuk dari Tuhan untuk memperbaiki kebenaran sebelumnya yang telah ada pada kita. Petunjuk yang merupakan kebenaran adalah rahmat Allah yang takkan pernah berhenti, sebagai yang akan terus datang bagaikan cahaya matahari yang selalu hadir menerangi segala sesuatu untuk diketahui dan dipahami seluruh makhluk-Nya di bumi. Maka dengan selalu memohon perlindungan kepada-Nya dari penyesatan iblis yang menjadikan kesalahan dan keburukan terlihat indah oleh pandangan mata, serta terasa indah di dalam angan-angan, semoga Allah selalu memberikan petunjuk kepada yang haqq sebagai kebenaran sejati.

 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..”

(QS 41:53)


  • § Umat-umat yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau sebelum nabi Muhammad SAW, orang-orang yang menyembah bintang atau yang menyembah dewa-dewa.

(Al Quran & Terjemah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy-Syarif  Medinah Munawwarah – Kerajaan Saudi Arabia)

Posted in RELIGION | Leave a comment

The Trilogy 18

Trilogy 18

Posted in RELIGION | Leave a comment

KEMBALI PULANG – Pupuh Penciptaan

PUPUH PENCIPTAAN

Posted in RELIGION | Leave a comment

PUPUH ADA & TIADA

PUPUH ADA-blm

Posted in RELIGION | 1 Comment

KEMBALI PULANG – Bagian 3

big-bang_2 

 

BAGIAN 3

KEMBALI kepada AGAMA ALLAH

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”

(QS 98:5)

Tidak hanya satu agama yang ada di dunia ini, belum lagi agama-agama tersebut pun terbagi-bagi kepada sekte-sekte ajaran yang lebih eksklusif lagi. Tentu ini karena perkembangan pola pikir para pemeluknya yang dinamis dari masa ke masa, atau mungkin pula karena kesamaan pikir, kesamaan nasib, kesamaan geografis asal, dan lain sebagainya. Yang jelas telah dapat diterima hati dan jiwanya, sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi diri (jiwa)-nya.

Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sesungguhnya agama-agama tersebut, tentunya diturunkan hanya oleh Yang Maha Tunggal sebagai suatu ajaran tunggal yang menuju keselamatan hidup di dunia dan kelak di akhirat (hari kemudian).

Hanya saja, karena disebabkan perbedaan tempat atau wilayah, waktu atau masa, serta kaum atau umat yang memiliki adat istiadat yang berbeda, kondisi situasi masalah yang berbeda, sampai kepada geografisnya pun berbeda, maka menyebabkan pula perbedaan-perbedaan dari segi bahasa, kepentingan yang diutamakan, dan kenyamanan pada ritual keagamaannya, sehingga makin memperlebar serta semakin menjauhi perbedaan-perbedaan awalnya. Kemudian dalam perkembangannya, semakin dinamisnya pemikiran para pendeta atau ulamanya dalam menerjamahkan hukum-hukum bagi kehidupan umatnya, maka semakin memperlebar lagi perbedaan-perbedaan diantara masing-masing agama tersebut.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in (sebelum agama samawi yang meyakini adanya Allah), siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)

Ayat ini jelas menegaskan bahwa nama atau sebutan agama-agama yang ada, memiliki ketunggalan ajaran, petunjuk, atau jalan lurus dari Dia (Tuhan) yang sesungguhnya sebagai sumber asalnya. Hanya karena pengakuan (ego) insan kemanusiaan yang merasa memiliki, maka eksklusivitas semakin dilebih-lebihkan dari merasa yang paling benar, yang paling lurus, dan yang paling diridhai Tuhannya, agama selain agamanya adalah adalah agama yang sesat dan menyesatkan.

Sehingga dapat menimbulkan benih-benih persaingan, kecemburuan, riya, dan kesombongan yang merupakan hasil penyesatan iblis. Sungguh ironis, tanpa disadari, ternyata diri kita telah jauh keluar dari jalan lurus-Nya. Seolah, telah sulit untuk kembali lagi. Seperti telah mendarah daging, superioritas, eksklusifitas, nasionalisme sempit, etnis, kepentingan golongan, dan kesombongan adalah sebab-sebab timbulnya perbedaan-perbedaan yang semakin membuat kemanusiaan semakin menjauhi makna ketunggalan umat, ketunggalan ajaran dan ketunggalan tujuan, sehingga semakin terjerumus pada keserakahan dan ketamakan untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan hawa nafsunya. Yaitu kenyang sendiri, makmur dan kaya sendiri, hebat sendiri, berkuasa sendiri, dan lain sebagainya yang lebih menjadikannya bersifat individualistis.

Pada bagian pertama kitab ini telah diulas, bahwa karena di alam, maka kemanusiaan dalam menilai segala sesuatu rahmat Tuhannya yang sesungguhnya adalah rahmat tunggal berupa kebaikan, selalu beragam dan berbeda-beda, termasuk rahmat petunjuk agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan bagi kemanusiaan. Sehingga menjadi timbullah berbagai macam persepsi tentang agama yang mengakibatkan timbulnya cabang-cabang bahkan ranting-ranting, disebutlah semuanya sebagai sekte-sekte atau aliran-aliran dalam agama.

Hal tersebut tidaklah lepas dari sejarah panjang perilaku dan pola penyebaran kehidupan kemanusiaan yang tersebar ke seluruh penjuru bumi. Semakin lama, maka semakin terpisahlah mereka dengan pola perilaku dan dari ajaran agama bawaan asalnya, karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan lingkungan asalnya. Perbedaan waktu, temperatur dan iklim, lingkungan geografis, makanan, dan lain sebagainya adalah sebagai yang ikut mempengaruhi bias-bias tersebut dari ajaran agama asal yang sesungguhnya adalah ajaran agama yang tunggal (sama).

Oleh sebab itulah Allah pun kembali mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mereka dan keadaan baru mereka bila telah menyimpang jauh dari ajaran asal-nya, dengan segala kemudahan-kemudahan sebagai penyesuaiannya. Para rasul dan nabi tersebut adalah orang-orang pilihan-Nya dari kaum mereka sendiri, dengan bahasa dan kebiasaan yang sama dengan mereka. Tidak jarang Allah mengutus beberapa orang rasul dan nabi-Nya sekaligus dalam masa atau waktu yang sama, dan tempat atau wilayah serta kaum yang berbeda, seperti nabi Ibrahim dan nabi Luth. Dan juga pada masa nabi Musa dan Syua’ib (juga Khidir). Serta waktu atau masa yang sama dengan wilayah yang sama pula, seperti nabi Musa dan nabi Harun, nabi Yahya dan nabi Isa. Yang kesemuanya mereka adalah sebagai pembawa dan penyampai ajaran agama yang tunggal (sama) dari Allah SWT.

Jika kemanusiaan menolak ketunggalan (kesamaan) ajaran agama tersebut, maka dia menolak ajaran agama dan Tuhannya sendiri. Satu kesatuan ajaran agama dari semenjak Adam AS, sebagai bapak kemanusiaan, hingga Muhammad SAW dengan membawa dan menyampaikan al Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata sebagai penyempurna nabi (khataman nabiyyin) dan  agama Allah, maka siapapun yang mengingkarinya, sesungguhnya dia telah mengingkari akal kesadarannya sendiri. Dengan demikian, dia telah menciptakan batas antara dirinya dengan kebenaran sejati dari Tuhannya.

“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”  (QS 2:136)

Kisah nabi-nabi dari mulai Ibrahim AS sampai Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al Qur’an, yang merupakan sejarah yang berhubungan erat kaitannya dalam memaknai bahwa ternyata agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah suatu ajaran tunggal dari Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu berserah diri (islam).

Dimulai ketika Ibrahim berselisih dengan ayah dan kaumnya sehingga terusir dari negrinya. Beliau dan istrinya (Siti Sarah) pun kemudian harus hidup berpindah-pindah (nomaden) bersama ternak-ternaknya, hingga akhirnya sempat menetap di negri Mesir. Disanalah beliau mendapatkan karunia hadiah, sebagai permintaan maaf fir’aun yang tidak mengetahui bahwa Siti Sarah adalah istri Ibrahim, yang sempat hendak diperistri olehnya. Selain memperoleh ternak-ternak yang banyak, fir’aun pun menghadihi seorang budak wanita (Siti Hajjar), yang sebenarnya adalah putri raja yang dikalahkan fir’aun raja Mesir. Kemudian beliau pun berpindah lagi dari Mesir, dan kemudian hingga menetap di Palestina.

Sampai pada masa tuanya, Ibrahim belum pula dikaruniai anak, hingga tercetuslah keinginan Siti Sarah agar suaminya, Ibrahim menikahi Siti Hajjar, untuk mendapatkan keturunan. Inilah awal dari sejarah dua bangsa yang pada akhirnya selama ribuan tahun selalu dalam perseteruan, sampai sekarang. Yaitu bangsa Arab sebagai anak keturunan Ismail anak Ibrahim dari Siti Hajjar, dan bangsa Israel anak keturunan Yaqub (Isra’il) cucu Ibrahim dari Ishak yang merupakan garis anak keturunan dari Siti Sarah.

“….. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah bani Israil (pergi) bersama aku.”  (QS 7:105)

Perseteruan tersebut dimulai ketika bani Israil setelah keluar dari Mesir di bawa oleh nabi Musa AS kembali ke Palestina, tanah leluhurnya karena perintah Allah, makam Ibrahim sebagai kakek moyangnya, juga di situ. Akan tetapi tanah tersebut telah dihuni bangsa Palestina karena telah lama, ratusan tahun, ditinggal bani Israil sejak kepergian seluruh keluarga Yaqub (Isra’il) AS ke negri Mesir untuk menemui Yusuf AS, dan akhirnya menetap di sana selama ratusan tahun hingga populasi keluarga ini menjadi besar saat nabi Musa AS mengeluarkan mereka dari bumi Mesir, sehingga pantaslah mereka disebut ‘bani’ atau bangsa dari anak keturunan Isra’il (Yaqub).

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang….”  (QS 5:21)

Seandainya pada masa itu telah ada surat-menyurat bukti kepemilikan tanah, mungkin akan menjadi lain jalannya sejarah mereka. Begitulah ketetapan Allah, dan mereka pun, bani Israil, menganggap tanah Palestina tersebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhannya, padahal Allah hanya memerintahkan masuk dan tinggal kembali di tanah itu sebagai pendatang, bukan masuk ke negri itu, lantas mengusir penduduknya. Tanah yang telah ditinggal selama ratusan tahun, dan saat hendak pulang kembali ternyata telah dihuni oleh orang-orang lain. Belum tentu pula bila mereka, bani Israil memiliki surat-surat bukti kepemilikan tanah, tetapi karena telah meninggalkannya selama ratusan tahun, akan memudahkannya untuk mendapatkan kembali haknya.

Coba renungkan, jika kita bisa berlaku adil dan jujur dengan hati yang terbuka, maka lebih kuat mana surat bukti kepemilikan tanah dengan firman Tuhan (QS 5:21) yang menghendaki mereka kembali lagi dan tinggal di tanah tersebut? Tentu akan diterima dengan tangan terbuka jika mereka masuk dengan baik-baik sebagai pendatang.

Tentulah mereka pun menghendaki firman Tuhan tersebut menjadi kenyataan, seperti kita, umat muslim, menghendaki pergi haji sebagai panggilan dan perintah Tuhan, atau kepada perintah-perintah dan larangan-Nya yang lainnnya sebagai wujud tunduk patuh (islam) kepada-Nya. Jika kemanusiaan telah memahami ini dengan hati yang dilapangkan, dan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, maka tentu akan terjadi kedamaian di tanah Palestina tersebut.

Tetapi Allah berkehendak lain, Dia sesatkan mereka yang menyukai kesesatan. Bahkan terjadi kejahatan-kejahatan pada mereka yang juga menyukai kejahatan. Dengan watak dan tabiat buruk bani Isra’il maka Allah menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya di tanah itu, Palestina yang selalu membara dan berdarah diperebutkan oleh bangsa-bangsa keturunan Ibrahim. Hidup bersama dalam perbedaan adalah yang harus diterima setiap segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, termasuk kemanusiaan.

“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)

AGAMA YAHUDI

Bani Israil, yang pada saat mulanya adalah hanyalah terdiri dari keluarga Yaqub dengan kedua belas anaknya, yang berpindah pergi ke Mesir akibat musim kemarau yang panjang dan menimbulkan kelaparan di seluruh wilayah Afrika Utara, Semenanjung Tanah Arab hingga Syria, termasuk pula Palestina tempat keluarga Yaqub (Isra’il, sebagai nama lainnya) bermukim. Kemudian karena Yusuf telah sukses dan menjadi bendahara kerajaan Mesir, maka diboyonglah seluruh keluarganya, ayah-ibunya serta kakak-kakak dan adiknya untuk tinggal menetap di Mesir selama ratusan tahun, sampai mereka beranak-pinak memiliki keturunan yang banyak.

“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenali mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya………”  (QS 12:58)

Di dalam Al Qur’an, kisah-kisah Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakariya, dan Yahya hingga Isa sesungguhnya berkesinambungan sebagai alur cerita yang bersejarah yang menyangkut kepada ajaran tunggal agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam yang merupakan dari Allah Yang Maha Tunggal. Dan kisah-kisah masa lalu yang bersejarah tersebut pun amat mempengaruhi jalannya kehidupan sekarang ini dan kedepannya, betapa telah menjadikan tragedi kemanusiaan selama ribuan tahun.

Keterikatan antar mereka, dari semenjak Yaqub sampai masa Isa, sebagai anak keturunan Yaqub amatlah kuat, karena mereka selalu disatukan. Hal ini terbukti dengan diutusnya Musa mengeluarkan mereka dari bumi Mesir ke Palestina, kemudian Musa membuat 12 sumur untuk suku-suku mereka yang berdasarkan dari keturunan dua belas anak Yaqub. Kemudian pada masa Daud yang mempersatukan mereka dalam sebuah negara atau kerajaan, sebagai bangsa yang telah memiliki pemerintahannya. Juga pada masa Isa, sekali lagi mereka telah tercerai berai, dan Isa mendapat tugas mengumpulkan mereka dengan mengangkat 12 murid atau sahabat-sahabatnya (hawariyun) sesuai berdasarkan wakil-wakil yang diambil dari 12 suku bani Isra’il (keturunan dari 12 anak Yaqub).

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya………”  (QS 2:60)

Kedua belas anak Yaqub (Isra’il) adalah dari keempat istrinya yang kemudian menjadi suku bangsa Israel. Rincian nama-nama mereka adalah :

  • Dari istri pertamanya Liah yang melahirkan :
  1. Raubin
  2. Syam’un
  3. Lawi (atau Levi, dari dialah garis keturunan Musa)
  4. Yahuza (Yahudi, dari dialah sebutan Yahudi pun menjadi lebih populer)
  5. Yassakir
  6. Zabulun
  • Dari istri keduanya Rahil (Rahel) yang melahirkan :
  1. Yusuf dan
  2. Benyamin
  • Dari istri ketiga Zilfah yang melahirkan :
  1. Jad dan
  2. Asyir
  • Dari istri keempat Bilhah yang melahirkan
  1. Dan
  2. Naftali

Namun Yaqub begitu kentara terlihat amat menyayangi Yusuf dan Benyamin yang dilahirkan dari Rahil yang cantik dan paling dicintai dari istri-istri yang lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi kakak-kakaknya.

Tanah Palestina yang strategis secara geografis, sebagai yang disebut tidak di Timur dan tidak di Barat (QS 24:35), dan sebagai titik pertemuan tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Juga secara ekonomi akibat pengaruh lima imperium besar pada masa tersebut yaitu Romawi, Persia, Mesir, Babylonia, dan China. Berdasarkan letaknya yang strategis itulah, maka wilayahnya selalu menjadi ajang perseteruan, baik dari penduduk di dalamnya sendiri maupun yang datang dari luar. Seperti, kekuasaan imperium-imperium besar dunia di masa itu,  imperium Mesir, imperium Persia, Babylonia, imperium Roma. Dan kemudian kekhalifahan Islam, disusul lagi oleh bersatunya kerajaan-kerajaan Eropa pun tertarik untuk dapat menguasai tanah di wilayah ini yang. Apalagi setelah Napoleon membangun terusan Suez yang dapat memotong jauh lebih singkat perjalanan laut dari Eropa untuk mencapai ke Asia Timur bahkan sampai ke Nusantara. Bila telah memahami kesatuan alur cerita tersebut maka kita akan melihat melalui hati kita sebuah pelajaran kehidupan yang bernilai tinggi.

Bani Isra’il amat terobsesi oleh 2 hal dari pernyataan (firman) Tuhan yang menyebutkan bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih  (QS 2:47) dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka (QS 5:21). Dan kedua hal tersebut telah mengaburkan hal-hal lainnya dalam satu kesatuan ajaran yang disampaikan nabi-nabi dari kalangan mereka sendiri, bahkan tak segan mereka melakukan perbuatan yang dilarang Allah demi tercapainya 2 obsesi tersebut, walaupun harus melakukan persekongkolan jahat sampai kepada pembunuhan dan pembantaian. Termasuk terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul utusan Tuhan yang mereka anggap menghalangi obsesi mereka.

“Hai bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”  (QS 2:47)

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang….”  (QS 5:21)

Membuat karya-karya sastra (sifir-sifir), yang kemudian dipaksakan kepada kaumnya dengan mengatakan bahwa karya-karya itu adalah bagian dari firman-firman Tuhan (Taurat) yang tercecer dan sempat hilang, untuk menggalang persatuan diantara mereka. Inilah yang dicela oleh Allah, bahwa mereka telah mengubah dengan menambah-nambahkan serta mengurang-ngurangi isi kitab Allah.

Watak dan tabiat mereka tersebut amat mempengaruhi kehidupan keagamaan mereka, dan bukanlah agama yang justru membentuk watak dan tabiat mereka. Watak tabiat mereka yang kejam telah terbentuk sejak Yaqub masih hidup dan Yusuf serta Benyamin masih kanak-kanak, seperti yang dikisahkan di dalam Al Qur’an bagaimana Yusuf dibuang oleh mereka, kakak-kakaknya sendiri, dan dibiarkan nasibnya tak menentu dan dianggap telah mati.

Nasib Yusuf kanak-kanak yang tragis itu, ternyata tak seburuk perkiraan, ternyata dia ditemukan kafilah pedagang yang hendak pergi ke Mesir. Sekalipun dia diambil dan dijual sebagai budak belian di Mesir, bahkan harus masuk dan mengalami hidup di penjara selama beberapa tahun, namun karena kesabaran dan ketawakalan terhadap Tuhannnya, akhirnya diapun mencapai kemuliaan yang tinggi. Dipercaya raja Mesir untuk mengelola perbendaharaan pangan negri Mesir (semacam kepala Bulog).

Pada mulanya mereka hidup dalam kemewahan bangsawan kerajaan Mesir, karena jasa Yusuf menakwilkan mimpi raja Mesir (Fira’un) maka hanya Mesir-lah satu-satunya negri yang siap menghadapi kemarau panjang selama 7 tahun. Seperti yang dikisahkan dalam Al Qur’an.

“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS 12:46)

“Yusuf berkata : Supaya mereka bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasanya, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit (sebagai bibit) dari yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.”  (QS 12:47-49)

Begitulah bani Isra’il ikut menikmati kemewahan hidup berkat jasa Yusuf yang tak menaruh dendam kepada saudara-saudaranya yang telah berlaku keji kepadanya.

Akan tetapi, setelah ratusan tahun lamanya, ternyata situasi politik negri itu akhirnya berubah. Rupanya raja Mesir yang memerintah saat Yusuf mengalami kemewahan adalah bagian dari rezim penjajah dari kaum Amalik Hyksos (Babylonia, sekarang Yordania tetangga Palestina). Situasi pun berubah, setelah penguasa selanjutnya yang memimpin Mesir kemudian adalah kaum pribumi Mesir yang telah berhasil mengusir penjajah mereka. Maka begitupun nasib keluarga besar Yaqub, bani Isra’il, berubah pula menjadi dibawah tekanan pribumi kemudian dijadikan bangsa budak, karena dianggap sebagai antek penjajah. Padahal mereka hanya diuntungkan, oleh situasi dan kondisi pada waktu sebelumnya sebagai warga kelas dua. Layaknya etnis keturunan Tionghoa, India dan Arab pada masa kolonial Belanda di Nusantara.

Pernah pula mereka melakukan perlawanan bawah tanah atau pemberontakan, namun selalu digagalkan. Dan karena hal tersebutlah mereka semakin ditekan dan ditindas rezim Fira’un dengan keluarnya kebijakan pembunuhan setiap bayi laki-laki bani Isra’il yang lahir untuk memutus mata rantai perlawanan mereka yang selalu menyusahkan rakyat Mesir dengan keburukan dan kejahatan watak tabiat mereka. Seperti di masa penjajahan sebelumnya, mereka sangat menguasai perekonomian dan moneter yang amat menekan pribumi, karena keserakahan dan ketamakan akan materi kehidupan dunia. Hal ini persis seperti yang mereka lakukan di Jerman dari masa sebelum Perang Dunia ke I hinggga sebelum Perang Dunia ke II, yang membuat Adolf Hitler pun merasa geram seperti geramnya Fira’un, sehingga terjadilah genosida terhadap bangsa Yahudi. Begitulah watak dan tabiat bani Isra’il tak pernah dapat berubah, walaupun ribuan tahun telah berlalu.

Kita kembali kepada alur kisahnya. Setelah exodus oleh nabi Musa dan nabi Harun terhadap bani Israil keluar dari bumi Mesir dan dari cengkeraman Fir’aun, pernah pula mereka melakukan penghianatan terhadap perjanjian dengan Tuhannya. Yaitu, pada saat peristirahatan perjalanan mereka menuju Palestina, ketika Musa bermunajat di bukit Thursina selama 40 malam, kebiasaan lama mereka kambuh lagi dengan membuat dan menyembah berhala sembahan berupa patung anak sapi yang disepuh dengan emas. Nabi Musa pun turun dengan marah, setelah mengetahui dari Allah atas perbuatan mereka. Akibat peristiwa ini terjadilah dua kubu yang menimbulkan perseteruan berdarah, yaitu yang setia kepada Allah dan nabi-Nya melawan para penentang-Nya yang lebih menyukai penyembahan berhala, dan terjadilah perang saudara diantara mereka sendiri yang menimbulkan korban jiwa hingga ribuan nyawa melayang.

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang….”  (QS 5:21)

Kemudian, setelah kejadian tersebut, dan setiba mereka disekitar luar wilayah Palestina, terjadi kembali keingkaran mereka terhadap perintah Tuhannya, dan lebih menyukai hidup terkatung-katung diluar sekitar wilayah Palestina yang panas dan kering selama 40 tahun. Bahkan hingga wafatnya nabi Musa, mereka masih belum bisa masuk ke wilayah Palestina, karena takut menghadapi perlawanan, dan tak adanya keimanan terhadap perintah Tuhannya (QS 5:21).

“Mereka berkata, hai Musa, sesungguhnya di dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, pastilah kami akan memasukinya.”  (QS 5:22)

Bahkan mereka mengecam Musa dan Harun karena hidup terlantar di padang pasir, seperti bunyi kutipan dari sifir Khuruj 317 (yang dianggap bagian dari Taurat oleh bani Isra’il) mereka di bawah ini,

  • Alangkah baiknya kalau kami mati saja di bumi Mesir itu, karena kami dapat senantiasa akan dapat duduk di sisi periuk daging dan makan roti sehingga kenyang. Kamu berdualah yang telah mengeluarkan kami dari kemewahan kepada penderitaan, karena kamu berdua hendak membunuh bangsa kami dalam kelaparan.
  • Di sebagian padang pasir itu tidak dapat ditemukan air. Maka seluruh rakyat pun mengecam Musa dan menentang dengan berani. Mereka berkata : Mengapa kamu singkirkan kami dari bumi Mesir dengan tujuan hendak membunuh kami, anak-anak kami dan binatang ternak kami dengan kehausan.

Sepeninggal Musa, mereka benar-benar dalam kesesatan tanpa bimbingan nabi utusan Allah. Telah kita ketahui sebelumnya, dengan keberadaan nabi Musa diantara mereka yang tegas dan berwibawa saja, telah banyak dan berani melanggar perjanjian dengan Tuhannya, tentu apalagi tanpa beliau. Masa-masa setelah beliau, mereka hanya dipimpin oleh ketua-ketua yang diangkat berdasarkan suku-suku mereka.

Di dalam sifir Yusya, ishah 6, disebutkan, bahwa mereka bani Isra’il melakukan pembantaian massal terhadap penduduk kampung atau kota kecil bernama Ariha untuk mendudukinya, setelah melalui cara-cara pengintaian (spionase) oleh Yusya’ bin Nun yang diangkat mereka sebagai pengganti Musa dan tinggal bersama keluarga perempuan pelacur bernama Rahab di kampung tersebut.

Dengan peristiwa tersebut, maka penduduk di sekitar kota itu menjadi lebih berhati-hati terhadap mereka, sehingga mereka pun tak lebih menguasai kecuali hanya daerah-daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan belum sampai kepada tanah yang dijanjikan. Karena mereka mendapati perlawanan dan peperangan kecil yang tak kunjung padam dari kabilah-kabilah di sekitar wilayah Palestina seperti suku Moab dan sebagian kecil penduduk Madyan.

Samuel yang dianggap sebagai orang suci mereka, diminta untuk mengangkat seorang raja diantara mereka, sekalipun dikatakan kepada mereka belum waktunya bagi mereka, namun mereka tetap memaksa hendak memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lain. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sifir Samuel I, ishah 8.

Akhirnya dinobatkanlah Saul (yang disebut Talut dalam QS 2:249), yang kemudian banyak melakukan peperangan yang gagah berani. Dan adalah Daud sebagai bagian dari tentara pasukannya yang berjasa dan menjadi pahlawan dalam suatu peperangan melawan Palestina yang dipimpin Jalalabat (Jalut) yang terbunuh pada pertempuran tersebut, dalam sifir Samuel I ishah 17. Namun terjadi persaingan antara raja Saul dengan Daud, karena kecemburuannya. Akibat persaingan itu, menjadi lemahlah kekuatan kerajaan Saul, dan diambil kesempatan oleh orang-orang Palestina, sehingga Saul pun terbunuh dalam pertempuran tersebut.

Daud menjadi pemimpin dan dinobatkan menjadi raja setelah mematahkan perlawanan Ishbosheth bin Saul bersama panglima tentara ayahnya, dan setelah itu, barulah seluruh wilayah Palestina dapat mereka rebut dan duduki sebagai wilayah negrinya yang berdaulat. Padahal pemerintahan Daud dan Sulaiman dapat kuat karena diuntungkan oleh situasi dan kondisi melemahnya ketegangan antara tiga imperium besar Romawi, Mesir, dan Persia pada masa-masa tersebut. Tetapi lebih sering mereka dirugikan, karena posisi tanah tersebut yang terjepit berada di tengah-tengah ajang pertempuran ketiga imperium tersebut. Keberadaan kerajaan Yahudi (bani Isra’il) ini berlangsung sebatas setelah 2 anak Sulaiman yang saling berebut kekuasaan sehingga terpecahnya menjadi dua kerajaan kecil.

Kedaulatan bani Isra’il yang memiliki raja dan kerajaannya berlangsung tak lebih hanya seratus tahun saja. Hingga datanglah masa penjajahan imperium Persia dengan rajanya Cyrus yang menaklukkan negri Babylon, maka Palestina pun ikut sebagai wilayah yang ditaklukkannya. Pada masa ini pulalah masuknya unsur-unsur kepercayaan bangsa Persia mempengaruhi keagamaan bani Isra’il. Seperti kepercayaan tentang mesiah (al Masih atau juru selamat) yang ditunggu, yang diambil dari mitos-mitos bangsa Persia (Samaria atau Sumeria), dan dipercaya sampai kini dan terbungkus ajaran-ajaran Islam oleh sekte Syi’ah sebagai Imam Mahdi yang akan datang (bahkan sebagian umat muslim percaya sebagai yang terdapat di dalam hadits nabi).

Kemudian masuk kembali penjajahan imperium Romawi setelah menaklukkan imperium Persia, dan menguasai pula wilayah Palestina. Mereka bahkan lebih kejam dan menindas bani Isra’il, Haikal (rumah peribadatan mereka yang dibangun oleh nabi Sulaiman) dirobohkan dan diganti dengan Haikal baru yang lebih memaksakan nuansa Romawi-Yunani dengan dewa-dewanya sebagai berhala pemujaan pengganti kepercayaan bani Isra’il sebelumnya.

Keadaan ini sampai setelah kedatangan nabi Zakaria, Yahya, dan Isa, Imperium Romawi masih berkuasa untuk menduduki sebagai wilayah jajahannya. Sejak itulah bani Israil selalu bermimpi dan berharap memiliki pemimpin yang kuat yang dapat mempersatukan kaumnya sebagai mesiah (juru selamat), seperti Daud, sehingga dapat merasakan nikmatnya tinggal di atas tanahnya sendiri.

Bahkan sampai kepada setelah masa nabi Muhammad SAW, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra, barulah imperium Roma dapat ditaklukkan dan terusir dari bumi Palestina, serta dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab (yaitu keturunan Ibrahim dari Siti Hajar yang melahirkan Isma’il). Sekalipun mereka (bani Israil) tetap dapat tinggal di situ, sayangnya, tetap mereka  tak merasa tinggal di atas tanahnya sendiri pula. Bahkan dengan intrik-intrik mereka yang akhirnya dapat membujuk minat raja-raja eropa (kaum Nasrani) untuk merebut tanah Palestina, sebagai tanah suci umat Nasrani pula. Karena tanah tempat Yesus (nabi Isa) dilahirkan. Sejak itulah terjadi Perang Salib selama berabad-abad. Dan menimbulkan perseteruan abadi ketiga umat besar dunia, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.

“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka.”  (QS 23:53)

Selain sifir-sifir di dalam Taurat Musa sebagai sumber kehidupan keagamaan bagi bani Isra’il, mereka pun mensucikan sumber-sumber lainnya, seperti riwayat-riwayat atau mitos yang telah berusia ratusan hingga ribuan tahun, juga keputusan-keputusan (fatwa) ulama atau pendeta mereka yang telah menjadi kesepakatan.

Talmud, adalah riwayat masa lalu yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan menjadi mitos sehingga mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka, dan inipun dikeluarkan dan disyi’arkan lagi dari mulut para Hakham (orang-orang yang dianggap bijak, suci, atau para pendeta/rabbi) dari generasi ke generasi.

Pada masa sekitar tahun 150, setelah Isa Al Masih, seorang hakham bernama Judas, merasa khawatir riwayat turun temurun yang berharga di matanya tersebut hilang dan terlupakan, maka ia mengumpulkannya ke dalam kitab yang dinamakannya al Misyna (syari’at yang diulang-ulang) yang berisi penafsiran syariat Taurat Musa yang telah menjadi mitos-mitos berusia lebih dari 500 tahun. Kemudian obsesi tentang Palestina sebagai tanah yang dijanjikan dan kisah-kisah tentang penawanan Babylon sebagai tambahan-tambahan yang dimasukkan ke dalam kitab tersebut.

Keduanya ini yang tersebar luas dan terkenal di kalangan Yahudi sebagai Talmud Jerusalem dan Talmud Babylon. Dan mereka menganggap Talmud tersebut sebagai kitab yang turun dari langit, dan meletakkannya setingkat dengan Taurat. Sebagai yang diturunkan bersamaan kepada nabi Musa di Thursina, Taurat diberikan dalam bentuk tertulis, dan Talmud dalam bentuk lisan. Bahkan ada diantara mereka yang menempatkan Talmud ini lebih tinggi dari Taurat. Dan jika sesorang diantara mereka yang melanggar para Hakham akan disiksa dengan siksaan yang berat, sedangkan yang melanggar syari’at Taurat Musa dosanya masih bisa dimaafkan. Tetapi yang melanggar Talmud akan dihukum mati.

Protokol Pendeta-Pendeta Zionis, adalah bentuk-bentuk permufakatan jahat terhadap kemanusiaan yang direncanakan secara sistematis dan mendapat dukungan penuh dari seluruh kalangan Yahudi, terutama finansial dan kesetiaan penuh. Protokol-protokol ini dihasilkan dalam muktamar-muktamar yang dirahasiakan. Ini lebih kepada balas dendam dan hasrat mencapai obsesi yang dicita-citakan sejak lama oleh para pendahulu mereka, bahkan nenek moyang mereka sejak exodus dari bumi Mesir.

Sempat ada kebocoran  rahasia tersebut, yang sebagian dokumen-dokumen hasil Muktamar Bale (1897) dilarikan oleh seorang nyonya Perancis ke Rusia dan sampai kepada ketua agen rahasia Kekaisaran Rusia Timur Alex Nikola Nivieh, pada tahun 1904, kemudian akhirnya dokumen tersebut disiarkan melalui siaran radio. Dan setelah monarki Rusia mengalami keruntuhan, digantikan oleh rezim Komunis, maka menjadi masa-masa kesulitan bagi etnis Yahudi di sana sebagai yang bekerja di kamp-kamp kerja paksa dan mengalami pengasingan di Siberia. Kembali mereka mengalami seperti masa-masa dahulu di Mesir dan Babylon.

AGAMA NASRANI

“(Isa) tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya karunia (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai bukti (kekuasaan Allah) untuk bani Isra’il.”

 (QS 43:59)

Dialah mesiah (al Masih) yang ditunggu-tunggu bani Isra’il sebagai juru selamat dari ketertindasan mereka selama ini (akibat penjajahan imperium Romawi), dan mengeluarkan serta mengantarkan mereka ke kerajaan Tuhan yang penuh berkah, seperti Daud yang merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaannya.

“Dia (Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS 3:47)

  1. A.       Masa Kehidupan Isa Al Masih

Terjadi kegemparan di kalangan bani Isra’il, setelah kelahiran Isa dan karena keajaiban-keajaibanya yang memukau. Ketika dalam buai-an telah dapat berbicara layaknya orang dewasa menerangkan kesucian ibunya oleh sebab ia dilahirkan tanpa bapak (kelak, Isa pun sering memakai dan lebih menyukai istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah. Dan hal inilah yang kelak mengakibatkan timbulnya persepsi-persepsi keagamaan, diantaranya yang dikenal sebagai paham trinitas yang menimbulkan pro dan kontra). Juga di masa kanak-kanaknya sering menghilang dari ibunya dan menghadiri kebaktian-kebaktian di rumah-rumah ibadah para pendeta (rahib) dari kaum Farisi kemudian mengkritik serta mencela ajaran-ajaran mereka dengan argumen-argumennya yang memukau segenap yang hadir di situ.

“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa…….” (QS 5:110)

Sayangnya apa yang mereka harapkan dari Isa Al Masih (sang Mesiah) malah tak sesuai dengan keinginan yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Mesiah yang mereka tunggu-tunggu, ternyata datang membawa kritikan-kritikan terhadap kehidupan keagamaan mereka yang dianggap salah dan keluar jalur, dan harus dibenahi. Tentunya hal ini menimbulkan reaksi mereka, terutama kaum Pharesee (Farisi) dari garis keturunan Lawi (Levi), sebagai penguasa keagamaan bani Isra’il pada masa itu yang diuntungkan karena dapat menumpuk harta kekayaan yang dipungut dari sedekah, upacara-upacara keagamaan, korban persembahan-persembahan bagi tuhan berhala mereka, dan lainnya.

Sementara, hampir ia tak pernah sekalipun mencela dan mengkritik pemerintahan Romawi, kecuali hanya mengkritik mereka para pemungut cukai (pajak). Hal ini pulalah yang membuat semakin dendamnya kaum Farisi kepadanya, karena bila kepada mereka yang memungut sedekah dari umat malah dicelanya, sementara kepada pemerintah penjajah ia tak memperdulikannya kecuali hanya kepada person-person pemungut cukai (pajak) pegawai dari kalangan bani Isra’il sendiri.

Sehingga semakin jelas bagi mereka yang mencita-citakan negara Yahudi yang berdaulat tak dapat lagi menaruhkan harapannya kepada Isa (Yesus) putera Maryam sebagai sang mesiah, juru selamat bani Isra’il. Maka timbullah kembali watak tabiat buruk mereka kepada bentuk persekongkolan jahat yang hendak membunuh nabi mereka lagi, setelah sebelumnya belumlah lama berselang, mereka telah membunuh nabi Yahya, dan juga sebelumnya pula telah membunuh ayahnya, yaitu nabi Zakariya. Maka lengkaplah yang difirmankan Allah di dalam Al Qur’an, bahwa mereka adalah sebagai bangsa yang membunuh nabi-nabi utusan Allah dari kalangan mereka sendiri.

“….. dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”  (QS 12:103)

Ada sebuah kisah di dalam Injil, yang juga dimana mereka kaum Farisi berusaha menjebak Isa (Yesus) dalam suatu kesalahan yang dapat dihukum oleh kuasa penjajah Romawi, pemerintah saat itu, dapat pula sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Yaitu ketika ada seorang wanita penzina yang telah ditangkap mereka bersama penduduk, kemudian Yesus (Isa) pun dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Bila Yesus memutuskan hukum rajam yang berlaku di kalangan bani Israil seperti yang diajarkan Taurat sejak zaman Musa, maka menjadi ada kesempatan bagi mereka untuk menyeret Yesus ke mahkamah peradilan kolonial Romawi yang tak mengenal hukum rajam. Namun apa yang terjadi? Ternyata ia hanya berkata, barangsiapa yang tak pernah melakukan dosa maka berhak melempar batu kepada wanita itu. Dan tak seorang pun, termasuk para Farisi itu, yang berani melakukannya. Kemudian bebaslah wanita penzina itu dari hukuman rajam, dan bebas pula Yesus dari siasat para pendendam kepadanya.

“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)

Di masa kehidupannya, al Masih sebagai yang tak menginginkan kehidupan dunia, beliau selalu berkeliling menjalani kehidupan zuhud (mengutamakan kehidupan akhirat), mengutamakan mereka yang dalam kesulitan dan kesusahan dengan penuh rasa kasih sayang, tetapi tegas terhadap mereka yang ingkar. Dia selalu diliputi penderitaan tanpa pernah mengeluhkannya, termasuk kepada Tuhannya. Sungguh sebagai contoh teladan yang tidak hanya bagi bani Isra’il, melainkan sebagai teladan bagi umat-umat yang jauh setelahnya. Maka benarlah firman Tuhan yang mengatakan, dia sebagai yang tersohor ketika dilahirkan, diwafatkan, dan ketika dibangkitkan.

“…. seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), ….” (QS 3:45)

Banyaknya mu’jizat sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, yang melalui tangannya ditunjukkan sebagai bukti kedekatan dia dengan Tuhannya. Namun hal ini selain menjadikannya banyak pengikut yang hendak mendapatkan berkah melaluinya, namun juga menimbulkan persepsi beragam bagi mereka pengikutnya, yang apatis terhadapnya, maupun yang anti terhadapnya, bahkan hingga munculnya konsep trinitas di belakang hari jauh setelah wafatnya Isa al Masih.

  1. B.       Masa Setelah Isa Al Masih

Setelah Yesus (Isa al Masih) tidak ada lagi, kelompok kecil para rasul (hawariyun atau sahabat Isa) dan beberapa sekte yang timbul dan mengadakan kelompok-kelompok ibadat atau kebaktian. Sesungguhnya sejak masa masih berada bersama mereka pun, telah timbul diantara mereka (Yahudi-Kristen atau Judeo-Christian) sebagai yang mempercayai ketuhanan Yesus dan yang menganggapnya sebagai mesiah atau nabi seperti nabi-nabi mereka sebelumnya, namun belumlah terbuka secara terang-terangan sebagai sekte-sekte yang memisahkan diri. Hal ini disebabkan persepsi mereka yang beraneka ragam menanggapi istilah yang dipakai Yesus (Isa) terhadap penyebutan Tuhannya dengan menggunakan kalimat bapak di surga.

Hal inipun semakin meruncing setelah Yesus (Isa) tak bersama mereka lagi, dan setelah sekian lama dalam pelarian mereka, dimana pengikut mereka semakin bertambah banyak dan tersebar jauh dari Jerusalem sampai ke Yunani, Roma, Turki. Banyak para pemeluk agama baru tersebut dari kalangan bukan Yahudi, dan sebelumnya adalah penyembah berhala (kaum pagan). Dipelopori oleh Paulus yang mengaku didatangi Yesus (Isa), sehingga sebagian merekapun menganggapnya sebagai rasul, mengusulkan kemudahan bagi mereka para pemeluk baru dari kaum pagan agar dibebaskan dari kewajiban khitan (bersunat) dan upacara-upacara keagamaan yang berbau Yahudi.

Hal ini disebabkan karena agama Nasrani ini yang jauh lebih berkembang di luar wilayah asalnya, selain banyak dianut oleh non Yahudi, juga hendak menghilangkan unsur-unsur Yahudi dari agama baru ini. Dan timbullah bentrokan antara mereka yang pro dan kontra terhadap seruan Paulus tersebut di Antioch, Turki. Dalam hal ini, pihak yang berseberangan dengan Paulus adalah Jacques seorang kerabat Yesus pemimpin Judeo-Christianism. Dari mereka inilah Yahudi-Kristen, sebagai orang-orang yang menulis dokumen-dokumen Kristen kuno yang kelak banyak ditemukan sebagai manuskrip-manuskrip sumber yang mereka anggap otentik bagi periwayatan dan penulisan Injil Kanonik (Injil yang telah disahkan Gereja Roma). Namun dibelakang hari, menimbulkan keraguan di kalangan mereka sendiri untuk mempertahankan anggapan tersebut.

Bagaimanapun, catatan-catatan peninggalan masa lalu yang banyak tersebar dan dianggap ditulis orang-orang suci, adalah sebagai yang telah terkontaminasi kebiasaan lama orang Yahudi yang terbiasa memasukkan mitos-mitos yang berbau kepentingan dan cita-cita mereka, bahkan juga mitos-mitos dari agama atau unsur kebudayaan dimana nenek moyang mereka sempat tinggal, seperti mitos-mitos Mesir, Babylon, Persia dan Romawi.

Diantaranya ada beberapa contoh mendasar yang selama ini terkesan dipaksakan pada sebagian besar kisah-kisah yang terdapat dalam empat Injil, dan khususnya pada silsilah  keturunan sebelum Yesus yang berujung kepada Daud dan Adam, padahal Yesus (Isa) tak memiliki ayah biologis. Keganjilan-keganjilan yang membuka peluang adanya ketidak aslian pada penyusunan kitab suci mereka, atau sekedar adanya kesalahan-kesalahan yang merupakan kecerobohan dalam periwayatan oleh mereka yang sebagai pelaku saksi sejarah yang dianggap murid Yesus atau rasul. Tetapi jika menyadari banyaknya keganjilan, maka menjadi lebih pada kesan pertama yang lebih dominan. Sehingga menimbulkan persepsi, bukan hanya ketidak aslian saja yang menjadi bukti, melainkan keteledoran yang amat bodoh yang dilakukan mereka dalam penyusunan riwayat, apalagi sebagai kitab suci.

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dari perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:79)

Jika hal ini dipaksakan terus dan mempertahankannya, bukan tak mungkin pada suatu waktu nanti akan menjadi bumerang bagi kelembagaan gereja mereka sendiri. Seperti yang pernah terjadi di abad pertengahan, ketika lembaga gereja menolak keras penemuan Galileo Galilei, yang berdasarkan pengamatan melalui teleskopnya, tentang pergerakan bumi mengitari matahari. Kemudian lembaga Gereja Katholik Roma menghukum mati dia, karena bertentangan dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bumi sebagai pusat alam semesta. Dan akhirnya, sungguh amat mencoreng dan menghinakan lembaga suci keagamaan mereka setelah penemuan Galileo Galilei sebagai yang tak terbantahkan lagi secara meluas, apalagi setelah ilmu antariksa dan tekhnologi alat bantu pengamatan semakin berkembang hanya dalam satu atau dua abad setelahnya.

  1. C.       Konsep Ketuhanan

Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman ketuhanan. Yang juga  membabat habis sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad pertengahan, para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwanya terkena hukuman penjara dan hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati karena mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah yang bergerak mengitari matahari.

Padahal di tempat asalnya, Yerusalem yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih, tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.

Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.

“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata : wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara orang-orang saleh”. (QS 3:45-46)

Perhatikan dan pahami makna dari kata dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman sebelumnya, yaitu hakikat dari segala HAKIKAT.

Kemudian,

Dia (Maryam) berkata : ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman : demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.”  (QS 3:47)

“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman : wahai Isa putra Maryam ! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus …….”  (QS 5: 110)

Ini adalah firman Allah SWT di dalam al Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting? Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya. Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).

Selanjutnya, didalam iman Kristen juga disebutkan, ….. pada mulanya ia adalah Firman, kemudian berubah menjadi anak manusia …… Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat mereka menjadi dasar konsep trinitas yang wajib diimani umatnya.

Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat mempengaruhi sebagian populasi bumi?

Ini tidak terlepas dari dari pemahaman masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup,  pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan dan analogi yang indah didengar dan memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan, di mata tuhan, dan bahkan Yesus sendiri menggunakan  istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah, yang dapat disalah artikan bagi orang awam tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman yang wajib diimani bahwa adanya Tuhan Bapak dan  Tuhan Anak. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan kitab-kitab  yang berisi firman-firman Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.

Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di atas),

“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)

Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu, dianggap dan dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : Wahai Isa  putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa) menjawab : Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (QS 5:116)

“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka selain yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk menyampaikannya), sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan-mu. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah pengawas mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117)

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:118)

Sebagian umatnya yang percaya kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan, dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa  yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.

Kaum Farisi yang telah lama terlena kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu, berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.

Selamilah, seolah-olah kita berada pada masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.

Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih, mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang kemerdekaan, seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya, yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.

Mesiah (al Masih), juga yang berarti yang diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau upacara penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai sekarang.

Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus, atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya, bahkan Allah pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat (QS 3:45).

“Kesejahteraan atas diri-nya (Isa al Masih) pada hari dia dilahirkan, pada hari dia wafat dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15)

Yang justru mengherankan, bani isra’il atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak (mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dan memuliakan-nya sebagai anak manusia yang sejahtera pada hari dia dilahirkan, pada hari dia diwafatkan dan pada hari dia dibangkitkan (QS 19:15), malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi Yaqub (Isra’il) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun mereka menetap untuk menumpang hidup.

DIYN AL QAYYIMAH

“….. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai ke-berserah diri-an (islam) itu sebagai agama bagimu …..”

 (QS 5:3)

Renungkanlah, umat Yahudi yang memakai Taurat (Musa) dan Zabur (Daud) sebagai kitabnya. Kemudian umat Nasrani yang memakai Taurat dan Zabur (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) sebagai kitabnya. Sampai kepada umat Islam dengan Al Qur’an yang merangkum semua kitab tersebut sebagai kitabnya. Dan dimuliakannya oleh Al Qur’an nabi-nabi dari kalangan mereka bani Isra’il adalah bukti satu kesatuan ajaran tunggal dari Tuhan Yang Tunggal bagi seluruh umat

Tidak cukupkah semua itu membuktikan, bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari bapak yang satu, dengan ajaran yang satu dari Tuhan Yang Tunggal? Bila hanya hendak mencari siapa yang benar, maka yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Haqq.

“…… Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa …….”  (QS 5:8)

Bapak yang satu (Ibrahim), darah yang satu, dan ajaran (agama) Tuhan yang satu,  rupanya tidak cukup menghentikan permusuhan mereka selama ribuan tahun hingga kini. Sekalipun nabi-nabi banyak diturunkan di sana untuk memperbaiki keadaannya. Sungguh, Allah-lah Yang Maha Mengetahui dari apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya.

Keragaman perbedaan adalah hal yang mutlak (sunathullah) dan banyak ditemui di alam ini, dan kemanusiaan adalah bagian yang termasuk di dalamnya. Tidaklah ada siapapun yang dapat merubah apa yang telah menjadi ketetapan Allah tersebut. Dan kita sebagai umat yang datang sesudahnya dapat mengambil pelajaran yang amat berharga sebagai hikmah dari kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al Qur’an.

“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu, padahal kamu tidak berada pada sisi mereka…….”  (QS 12:102)

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”  (QS 12:103)

Kisah-kisah di atas, sesungguhnya dikehendaki Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian. Di dalam kenyataannya, kisah tersebut sepertinya selalu mewarnai kehidupan kemanusiaan hingga kini. Betapa banyak contoh kasus yang sering kita dengar dari keluarga yang gontok-gontokkan, bahkan bisa saling membunuh karena memperebutkan warisan. Juga perseteruan yang sama yang dilatar belakangi karena beda ibu, walaupun satu bapak, dalam berebut harta waris. Apakah itu berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan lainnya. Permasalahannya pun akan dapat melebar kemana-mana. Agama pun terbawa-bawa, dan dijadikan alat pembenar bagi hawa nafsu mereka.

“Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah (mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki diantara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”  (QS 2:213)

Sayangnya perbedaan-perbedaan ini semakin lagi dibumbui eksklusifitas dan rivalitas untuk mencapai keunggulan atau superioritas dari sebuah, sekalipun merupakan maksud atau niat yang baik, yaitu syiar yang menyebarkan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara dan usaha yang dikotori atau dipengaruhi penjerumusan iblis yang menghendaki tersesatnya sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah perselisihan dari persaingan yang dapat berujung kepada kerusakan maupun pertumpahan darah.

Perang, terorisme berbungkus jihad, pelarangan pembangunan rumah ibadah umat agama lain, adalah contoh-contoh berperannya iblis pada perilaku insan kemanusiaan yang belum atau bahkan tidak dilandasi kekokohan keimanan yang seharusnya dapat mengawal jiwa pada ketenangan dan ketentraman, yang keluar pula sebagai amal perbuatan yang sehat dan merupakan rahmat bagi sesama insan kemanusiaan.

“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.”  (QS 98:4)

Ahli Kitab sebagai yang menerima kitab, yang sesungguhnya adalah semua insan kemanusiaan yang dimaksud ayat ini, justru tidak diharapkan menjadi terpecah belah, apalagi dengan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah setelah datangnya bukti yang nyata.

Syiar, seharusnya tidak dititik beratkan kepada penyebaran atau perluasan rahmat Tuhan yang membungkus ambisi kekuasaan, seperti contohnya kristenisasi atau islamisasi yang lebih berkesan pengakuan (ego) superioritas, akan tetapi akan lebih akrab terdengar yaitu sebagai perbaikan kehidupan kemasyarakatan ke yang jauh lebih baik dan lebih sehat yang membawa kepada keselamatan, kedamaian, kesejahteraan  maupun kemakmuran hidup bersama.

Dan syiar, seharusnya pula tidak memaksa-kan, atau tidak dipaksa-kan, atau pula tidak terpaksa-kan kepada siapapun termasuk dirinya sebagai pelaku maupun sebagai objek. Karena Tuhan tidak menyukai dan tidak pula menerima segala bentuk yang memaksa, dipaksa, ataupun terpaksa, sebab itu bukanlah kemurnian atau keikhlasan. Tidak ada paksaan dalam agama Allah. Berserah diri (islam) adalah bukan keterpaksaan apalagi memaksa.

“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ……”  (QS 2:256)

Tujuan utama agama yang pada dasarnya adalah membawa insan kemanusian kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (hari kemudian), tetapi malah telah diselewengkan iblis kepada kerusakan dan pertumpahan darah. Bagaimana bisa mendapat keselamatan kelak di kehidupan akhirat (hari kemudian), bila di kehidupan di dunia saja telah terjebak atau terkecoh dengan membuat kerusakan dan pertumpahan darah?

Itulah kemenangan iblis dengan membuat kesesatan menjadi dipandang indah oleh insan kemanusiaan melalui pengakuan (ego). Yang mengaku-ngaku sebagai umat yang superior, sebagai umat yang dilebihkan dari umat lainnya, dan sebagai umat yang dijanjikan Tuhannya, serta sebagai umat pilihan Tuhannya. Dengan menganggap umat selain agamanya adalah kafir dan sesat .

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.”  (QS 2:34)

Menolak perintah Tuhan dan menyombongkan diri adalah pengakuan (ego) dan merupakan sifat iblis yang dibenci Allah, sehingga mengutuknya tersesat selamanya. Bagaimana mungkin kita sebagai insan kemanusiaan mengikuti langkah dan sifat iblis yang terkutuk? Dan perbuatan ini menyebabkan pelakunya masuk kategori sebagai golongan kafir.

Sadarilah, bahwa kebanyakan kita sebagai insan kemanusiaan, telah melenceng jauh dari jalan lurus yang dikehendaki Allah, Tuhan semua. Jika tidak sampai kepada perbuatan merusak dan intimidasi, maka hati kita, paling tidak, merasa yang paling benar, dengan menganggap selain agamanya adalah sesat. Yang justru dengan itu, diri kita sendiri-lah yang ternyata telah ikut masuk kedalam kesesatan akibat pandangan indah yang dibuat iblis.

“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)

”……… aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)

Renungkanlah bagaimana iblis dengan usahanya dalam menjerumuskan insan kemanusiaan kepada kedzaliman dan kekafiran yang sangat dibenci Tuhannya, sekalipun atas nama agama-nya dan atas nama Tuhan-nya. Bagaimana mungkin iblis dapat masuk ke wilayah-wilayah yang seharusnya disucikan, seperti atas nama agama dan Tuhan? Yang seharusnya suci dari kesesatan iblis, dan suci pula dari perbuatan menentang Tuhannya.

“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)

Bukankah saat Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu iblis ketika berada di dalam surga, yang juga seharusnya sebagai tempat yang suci? Rupanya, perbuatan, sekalipun atas nama agama dan Tuhan serta tempat (tanah) suci, tidaklah menjamin dari tiadanya usaha penyesatan iblis untuk menjerumuskan insan kemanusiaan agar terkutuk seperti dia sebagai yang terkutuk.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)

Menghilangkan pengakuan (ego), yaitu termasuk didalamnya keangkuhan atau kesombongan, dimana aku-nya menjadi lebih sangat dominan dalam setiap amal perbuatan, sekalipun perbuatan tersebut merupakan kebaikan dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, padahal ternyata terselip pula ego (ambisi)-nya.

Ke-ikhlas-an adalah memurnikan dan menyucikan segala apa yang telah dianugerahkan kepadanya (termasuk diri, atau jiwa, ataupun nafs) sebagai dari, milik, untuk, dan akan kembali kepada Allah semata. Agama bukanlah Tuhan itu sendiri sebagai yang diutamakan dan yang dituju, akan tetapi, agama adalah merupakan sarana petunjuk yang membawa kepada keselamatan kehidupan bersama yang diridhai-Nya.

Sarana dapat apa saja, yang jelas, juga membuat pula para pemakainya merasa nyaman, tentram, dan damai selama menggunakannya. Apakah pantas bila diri kita membandingkan sarana yang dipakai orang lain? Apalagi bila memaksakan untuk menggunakan sarana seperti sarana yang kita gunakan. Serperti, pakaian misalnya, tentulah kenyamanan dan kepantasannya berbeda-beda bagi setiap orang, dan bukanlah hal etis bila kita mengomentari apalagi memaksakan kehendak kita kepadanya.

Begitupun pada agama, yang sesungguhnya dapat mengarahkan kepada keselamatan, tentulah agama tersebut dapat menaungi diri pemeluknya dalam rasa nyaman, tenang, tentram dan damai. Tidak akan pernah dapat dipaksakan, sekalipun kepada keluarga terdekat kita sendiri. Kita hanya dapat memberi contoh atau teladan dalam hal itu, dan paling jauhnya hanya berharap kepada Tuhan agar keluarga dan keturunan kita mendapatkan keselamatan hidup, baik kini di dunia maupun nanti diakhirat.

Itulah keimanan yang kokoh, yang dengan memeliharanya akan dapat mengembalikan jiwa kepada agama yang benar, yaitu Diynul Qayyimaah. Jadi bukanlah agama yang buatan kita sendiri, karena prasangka dan keinginan hawa nafsu kita sendiri. Bukan agama yang menjadikan kita taqlid atau fanatik buta, serta menutup mata hati kita dari kebenaran hakiki yang universal.

“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS 30:32)

Dengan demikian maka terbukalah hakikat segala sesuatunya. Agama-agama yang ada, dan dengan berbagai ragam perbedaan ritualnya, adalah merupakan agama yang satu. Umat-umat yang beragam bangsa dan etnis bahkan suku, adalah merupakan umat yang satu. Bahasa yang beragam pula yang merupakan perbedaan bunyi, adalah merupakan bahasa yang satu dalam makna. Kesemuanya adalah berasal dari yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam. Dan kesemuanya bersumber dari Yang Maha Tunggal dengan perwujudan sifat-Nya yang Akbar tak terhitung. Jadi, mengapa kita masih juga dapat terjebak dengan mempermasalahkan perbedaan?

……… Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)

Itu adalah kehendak Tuhan, dan Dia telah menetapkannya seperti itu, sebagai suatu keragaman yang disebabkan perbedaan masa (waktu), perbedaan geografis, dan perbedaan karakter. Sehingga dibutuhkan penyesuaian adaptis yang sesungguhnya tidak mengurangi atau memelencengkan makna sesungguhnya sebagai petunjuk atau aturan hidup yang lurus menuju keselamatan.

Jika pada yang mengatas namakan agama dan Tuhan saja, kita diwajibkan menghindari kerusakan sampai pertumpahan darah, tentu apalagi pada hal-hal yang mengatas namakan lainnya. Dengan mengatas namakan lainnya pun merupakan perbuatan pengakuan yang juga sesat dan menyesatkan (syirik). Suatu hal yang tak sebanding, mempertaruhkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat hanya karena mengutamakan ego sesaat tetapi akibatnya akan abadi penyesalannya.

“…. dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali.” (QS 42:13)

Maka kembali kepada jalan agama, yaitu dengan ikhlas berlaku lurus, dengan ikhlas mengingat Allah yang tiada putus, serta dengan ikhlas menyucikan apa-apa yang telah dianugerahkan kepadanya, maka yang demikian itulah rukun agama yang benar dari Tuhan (QS 98:5). Lain halnya dengan rukun islam, yang bukan rukun agama, melainkan adalah rukun keberserah dirian orang-orang yang telah beriman, yang pada bab tersendiri selanjutnya akan diurai.

Lebih detailnya, agama adalah ajaran atau petunjuk kepada insan kemanusiaan agar meluruskan, mengingat, dan mensucikan dengan kemurnian atau keikhlasan pada ucap, tekad, lampah (perbuatan), janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa yang kesemuanya adalah milik dan akan kembali kepada Allah. Bila ke-sembilan (sanga) sebagai yang dianugerahkan Allah kepada diri kemanusiaan itu telah mencapai lurus, ingat, dan suci sebagai perwujudan wakil (waliy) Allah di muka bumi. Maka genaplah sebutannya menjadi sebagai wali Allah, dikenal pula dengan sebutan wali sanga, sebagai sembilan sifat bagi orang yang dicintai dan mencintai Allah.

Kita akan mengulas ke-sembilan sifat tersebut pada tiga bab berikutnya.

 

Bab XIV

LURUS (HUNAFA)

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama qayyimah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”,

(QS 30:30)

Kembali kepada jalan yang lurus (sirathal mustaqiim) adalah upaya perbaikan setelah menyadari telah tersesat jalan, agar tidak semakin jauh tersesat. Memposisikan kembali diri (jiwa) ini pada jalan asal yang lurus, yaitu agama. Jalan yang membawa setiap insan kemanusiaan kepada kebenaran, kebaikan, serta keselamatan. Itulah nikmat sejati dari Tuhan, dan bukan jalan mereka yang sesat serta berbuat kerusakan.

Bukan agama-agama lain yang salah dan sesat, tapi justru diri-diri (nafs) kemanusiaannya sendiri yang telah disesatkan iblis, akibat pengakuan (ego) yang merasa paling benar dan suci sendiri. Tidak menyadari, bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah keturunan Adam, yang disempurnakan Tuhan dengan anugerah-anugerah sebagai manusia pertama, rasul pertama, khalifah pertama, serta ilmu. Bahkan malaikat-pun diperintahkan-Nya sujud (tunduk) kepadanya. Akan tetapi juga bukan berarti dia dapat terhindar dari kelalaian yang menyesatkannya melalui pengakuan (ego) akibat anugerah-anugerah tersebut.

Dengan agama-lah maka mengembalikan insan kemanusiaan untuk selalu meluruskan jalan kehidupannya yang mudah sekali terjerumus pada kesesatan yang merugikan dirinya sendiri. Sedangkan agama adalah jalan atau aturan yang telah tetap dari Tuhan yang Maha Memelihara seluruh makhluk, diturunkan dari Tuhan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi kehidupan, untuk meluruskan kembali bagi mereka yang telah keluar jalur kebenaran dan keselamatan. Semua agama memberi petunjuk kepada kebenaran dan keselamatan yang sejati dari Tuhannya.

“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS 3:101)

Tiada yang paling benar. Yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Benar, sedangkan hanya Dia-lah yang menurunkan agama-agama melalui kitab-kitab suci (yang telah kita bahas pada uraian keimanan) yang wajib diimani atau diyakini setiap insan kemanusiaan. Hak kemanusiaan adalah hanya menerima kehidupan dan menjalankan apa yang diperintahkan serta menghindari apa yang dilarang Tuhannya. Sedangkan hak menghukum (sesat atau tidaknya) adalah hak Allah, sebagai Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Janganlah tergoda pada keindahan anugerah-anugerah dari Allah, karena disitu pulalah iblis mengutus setan untuk menjerumuskan kepada kesesatan.

Ingatlah segala sesuatu yang datang berupa rahmat atau anugerah dari Allah, begitu sampai di alam, sampai pada diri-diri kemanusiaan, maka akan dipandang dan dinilainya dalam dua hal. Yaitu kebaikan dan keburukan. Jangankan agama yang diturunkan-Nya yang masih memerlukan penafsiran mendalam, pada cahaya matahari saja maka kita sebagai manusia di bumi, akan menilainya sebagai terang dan gelap. Terang karena tinggal di daerah yang terkena cahaya matahari, dan bagi yang tinggal di belahan bumi yang lain, dengan saat dan waktu yang sama, yang diterimanya adalah kegelapan.

“Dan Dia menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang lamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangatlah zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS 14:33-34)

Begitu juga hujan sebagai rahmat yang diturunkan-Nya dari langit, diterima sebagai nikmat rahmat dari Tuhannya karena kebutuhannya, tetapi bagi mereka yang tak membutuhkannya dapat dirasakannya sebagai musibah atau bencana. Seperti para penjual es, misalnya. Atau mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, tentu ketakutannya akan menyelimuti kedatangan rahmat tersebut.

Tidaklah ada sedikitpun keburukan segala yang datang sebagai rahmat anugerah Tuhan, harus disadari sebagai amanah yang masih perlu dikelola dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Dan sesungguhnya, segala yang datang dari-Nya adalah merupakan rahmat kebaikan, akan tetapi kemanusiaan selalu menilainya berdasarkan keinginan dan kebutuhannya, sehingga akan dinilainya sebagai kebaikan atau keburukan. Bila tak sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka akan dinilainya sebagai keburukan, dianggapnya Tuhannya sedang menguji atau mengazabnya dengan keburukan. Akan tetapi, bila yang diterimanya sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka dianggapnyalah sebagai kebaikan, bahwa Tuhan memberi karunia dan anugerah kepadanya. Begitulah diri-diri kemanusiaan yang lebih cenderung memaksakan apa-apa yang dianggapnya benar, bahkan kepada apapun yang datang kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya, semuanya adalah rahmat kebaikan dari Tuhannya.

Kita akan merasa pas dan benar bila apa yang kita pakai atau gunakan terasa nyaman, tenang, serta tentram. Seperti pada pakaian yang kita pakai. Bayangkanlah, andai kita memaksakan pakaian tersebut untuk dipakai pula kepada orang lain, sekalipun dengan harapan orang tersebut dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan ketentraman yang sama dengan kita. Bila tetap dipaksakan, maka kita telah tiada perduli lagi akan kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) terhadap dan bagi orang lain.

Menyadari kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) adalah sebagai hal yang relatif bagi masing-masing individu yang mutlak dan azasi sebagai hak dasar kemanusiaan. Bila tanpa memandang lagi norma-norma kepantasan dan kebenaran, maka akan terjadi ketidak seimbangan atau pun kerusakan bila hal ini sebagai yang tetap dipaksakan. Relativitas yang hendak diseragamkan adalah hanya akan menyebabkan kesia-siaan belaka. Bukan kebaikan yang akan didapatkan, malah kerusakan yang ada.

Berlaku lurus sebagai perwujudan akhlak mulia yang keluar dari dalam diri berupa kesucian dan kebenaran sejati yang telah ditanamkan Tuhannya sebagai anugerah kepadanya serta keluar sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya, dalam bentuk rahmat bagi sesama insan kemanusiaannya serta makhluk lain di sekitarnya. Agama telah lurus, justru hanya kepada setiap insan kemanusiaannya-lah diharapkan kembali meluruskan amal perbuatannya sesuai jalan lurus yang terdapat serta terpapar jelas di dalam petunjuk-petunjuk setiap keagamaan, yaitu meluruskan segala ucap-nya, meluruskan niat (tekad)-nya, juga meluruskan lampah (amal perbuatan)-nya. Lurus sesuai dengan jalan lurus yang telah ditetapkan dalam norma-norma agama, masyarakat (adat), hukum negara, bahkan hak azasi kemanusiaan, agar memperoleh keselamatan hidup baik kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Meluruskan Ucap

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS 61:2-3)

Ucap yang keluar dari mulut adalah sebagai cerminan apa yang ada di dalam dada. Menjaganya agar yang keluar tidak dikotori oleh kesesatan yang dapat merusak yang mendengarnya. Dengan mensucikan yang berada di dalam dada maka juga akan mesyucikan pula yang akan keluar dari mulut. Ucap ini melibatkan banyak para malaikat (lihat kembali pembahasan iman kepada malaikat), yang merupakan energi suara atau bunyi yang dihasilkan dari energi-energi lainnya. Di dalam tubuh dari mulai energi makanan yang masuk sebagai konsumsi, kemudian dirubah menjadi banyak energi, seperti energi panas, energi gerak, energi listrik statis (dalam berpikir), energi suara atau bunyi dan lain sebagainya. Energi-energi tersebut tidaklah akan musnah, melainkan hanya berubah bentuk.

Ucap sebagai kata-kata, ucap sebagai pembicaraan, ucap sebagai berita, ucap sebagai janji, ucap sebagai penghibur, dan ucap sebagai perintah. Ucap-ucap tersebutlah yang perlu diluruskan karena bersinggungan langsung dengan sesama insan kemanusiaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ungkapan seperti, lidah setajam pedang dan mulut-mu adalah harimau-mu, merujuk kepada betapa berbahayanya ucap yang tak terjaga.

Ungkapan bahwa fitnah adalah perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Yang sebenarnya adalah pembunuhan terhadap karakter diri seseorang, melalui ucap yang tak terjaga, tanpa dasar, dan tak dapat dipertanggung jawabkan. Ini adalah perbuatan yang amat tercela, pengecut, dan hina. Dunia politik tidak akan pernah terlepas dari perbuatan ini. Kejam tanpa rasa belas kasih. Tiada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Ungkapan tersebut adalah kemunafikan sejati. Tetapi mengapa banyak diri yang tak menghindarinya, bahkan berani berkecimpung di dalamnya dengan tetap mengatas namakan kepentingan rakyat banyak.

Ucap diobral seperti semakin tak ada harganya. Kepentingan yang utama, janji tinggal bagaimana nanti saja. Seakan tiada lagi rasa malu bila tak dapat menepatinya, demi sebuah keinginan ataupun ambisi. Seperti jabatan atau kekuasaan sementara. Seolah-olah, kelak, jabatan atau kekuasaan tersebut tiada akan diminta pertanggung jawabannya. Ini karena penyesatan iblis yang membuat jabatan atau kekuasaan tersebut sebagai yang elite, prestise, dan bergengsi tinggi. Tidak lagi merupakan amanah. Jabatan seperti lambang kemuliaan tertinggi, yang dikejar-kejar seperti layaknya bisa dibeli. Padahal, jabatan yang dibeli kelak akan menjerumuskan diri-nya. Tidak dipahaminya, bahwa jabatannya tersebut adalah anugerah yang juga harus dipertanggung jawabkan.

Kemudian seperti iklan produk konsumtif, banyak hal yang dilebih-lebihkan agar produknya laku. Bahkan menggunakan ustad dan da’i-da’i kondang sebagai bintang iklannya, tidak lagi memikirkan efek negatif bagi kehidupan sosial umat yang semakin konsumtif, dan belum lagi buat produk yang dari segi kesehatan amat meragukan. Kedua hal tersebut, baik ambisi kepada jabatan dan ambisi kepada keuntungan dari produk iklan, tidak lagi memandang baik-buruknya pesan yang disampaikan sebagai kebohongan kepada publik. Bahkan hal ini lebih dilegalkan lagi dengan berdirinya lembaga pendidikan ataupun kursus-kursus yang berhubungan dengan komunikasi massa yang tidak lagi mengedapankan aspek kebenaran dan kejujuran sebagai norma yang harus dijunjung tinggi, melainkan target yang dikejar.

Itulah yang sekarang dikejar banyak diri kemanusiaan, berani dengan mengeluarkan biaya berapapun, tanpa berpikir resikonya kelak di kemudian hari. Tanpa menyadari, bahwa amanah besar tentu memiliki resiko konsekuensi yang besar pula sebagai pertanggung jawabannya.

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba (tamak) kepada kehidupan (di dunia), bahkan lebih (loba atau tamak lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:96)

Bagaimana tidak rusak negri ini, bahkan untuk menjadi pegawai negri saja, yang dengan gaji standar, ada pula yang harus menyuap. Dari posisi puncak hingga birokrasi di tingkat bawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya adalah rasa materialistis ikut pula meninggi. Sehingga segala sesuatu akan dinilai pada materi, bukan lagi kepada rasa tanggung jawab dan pengabdian, jangankan sebagai abdi Tuhan, sebagai abdi negara, abdi rakyat, ataupun abdi umat saja sulit. Sungguh kehidupan yang sangat tidak sehat, berpenyakit dan meluas ke segala aspek, dan semakin kronis lama-kelamaan.

Sungguh memprihatinkan akibat dari ucapan-ucapan yang diobral para munafik politik dan saudagar munafik di negri ini. Apalagi bila ada saudagar yang amat berambisi pada kekuasaan politik kenegaraan. Ucap munafik yang awal akan disusul kemunafikan berikutnya untuk menutupi kemunafikan sebelumnya. Begitu terus-menerus, semakin memperparah keadaan.

Pengakuan (ego) pula kembali yang membuat rusaknya kehidupan tersebut. Karena ucap-Nya diakui sebagai milik-nya. Siapa yang sesungguhnya memberikan anugerah kepadanya untuk dapat berucap atau berkata-kata? Siapa yang sesungguhnya menganugerahkannya tenggorokan dengan pita suara, lidah, dan mulut? Bahkan tenaga untuk berucap? Bila ini disadari, masih beranikah menyalahgunakan ucapnya dari amanah yang telah dianugerahkan kepadanya?

Kembalilah kepada jalan lurus yang telah diamanatkan yang sesungguhnya akan diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sekecil dan sesepele apapun ucapnya memiliki buah yang akan dituai kelak dikemudian hari sebagai pertanggung jawabannya. Atau, yang jauh lebih penting untuk di sadari, adalah seberapa besar akibat dan dampak baik maupun buruknya segala apa yang diucap bagi kebanyakan orang lain.

Ucap yang diaku sebagai ucap-nya, yang diaku karena daya kekuatan-nya, yang diaku karena pengetahuan atau ilmu-nya, maka kelak diri-nya sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, diri-nya, bukanlah yang memiliki atau menguasai alat atau organ pengucap. Jangankan memiliki atau menguasainya, mengetahui keberadaan dan fungsi-fungsi organnya tersebut pun tidak. Juga bukan diri-nya yang memiliki pengetahuan atau ilmu sehingga dia dapat bereaksi dengan pengucapannya. Ilmu dan pengetahuannya pun hanyalah karena kemurahan Tuhannya memberikan petunjuk kepadanya.

Keinginan mengucap pun adalah karena kehendak Tuhannya. Bagaimana rasanya memiliki keinginan mengucap, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya? Dimana ada kekuasaan yang menahan geraknya untuk dapat berucap. Yaitu, ketika Tuhannya menahan emosi amarahnya saat sedang berpuasa, misalnya. Atau juga, karena yang dihadapinya adalah seorang anak kecil yang belum mengerti. Begitulah sesungguhnya Tuhannya menguasainya. Sesungguhnya Dia-lah yang meliputi segala sesuatu dengan kuasa, kemurahan, perlindungan dan pemeliharaan-Nya.

Bila tidak dimulai dari masing-masing individu untuk berusaha meluruskan kembali kepada agamanya, tentunya kehidupan bernegaranya akan semakin sakit, yang juga pasti akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai keluhan-keluhan yang menyulitkan. Kita pula yang ikut menentukan keterpurukan kehidupan anak cucu kita kelak, bila tak segera meluruskan kembali kehidupan diri masing-masing kita.

Meluruskan Niat (Tekad)

“…… Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu…..” (QS 2:284)

Begitupula kepada niat atau tekad, tidak terlepas sebagai amanah yang dianugerahkan Tuhan untuk dipakai dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, juga sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya kelak dikemudian hari. Niat sebagai yang akan keluar dari dirinya berupa amal perbuatan, sesungguhnyapun adalah akibat dari apa yang datang kepadanya, sehingga amat bergantung kepada kesadaran rasa yang ada padanya. Yaitu penilaian baik atau buruknya terhadap apa yang datang kepadanya, maka respon keluarnya pun akan menentukan kebaikan atau keburukan amal perbuatannya. Meluruskannya adalah dengan membersihkan dari segala hawa keinginan yang selain hanya dan kepada Allah semata.

Terkadang niat atau tekad awal, telah baik dan benar, akan tetapi dalam perjalanannya masuklah godaan setan sebagai yang diutus iblis, membuat kesesatan menjadi dipandang indah memukau, sehingga merubah kelurusan niat awal dan menjerumuskannya kepada perbuatan sesat. Sebelum terlambat terjerumus, maka segerakan meluruskannya kembali agar tiada sesal dikemudian hari. Ini akan berhubungan erat sekali dengan pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian wayuqimusshalat dan wayutuzzakata. Yang sebenarnya dapat menghindarkan diri dari terjerumus kepada kesesatan akibat bujuk rayu iblis yang intensitasnya amatlah sering, disetiap saat dan kesempatan tanpa pernah merasa lelah.

Niat yang berasal dan bersumber dari dalam hati, amat dipengaruhi oleh tingkat kebersihan hati itu sendiri. Bila di dalam hatinya terdapat kekotoran hawa nafsu, maka jelas niatnya akan membawa pula kekotoran hawa nafsu tersebut kedalam amal perbuatannya. Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang dapat mengotori hati kepada niat yang tidak lagi keluar dalam kemurnian atau keikhlasan amal perbuatan. Pada saat itulah telah ditetapkan surga dan nerakanya kelak sebagai yang akan dituainya di hari kemudiannya.

“…. Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS 13:19-21)

Menjaga niat agar tetap dalam keadaan lurus dengan berlindung kepada Tuhan (ta’awudz), dan mengingat Dia yang tiada putusnya, serta mensucikan setiap keinginan yang selalu bersih dari bujuk rayu setan yang selalu menngoda. Pada umumnya, niat awal adalah baik dan benar, akan tetapi diperjalanannya sering melenceng dari arah semula. Bahkan bujuk rayu iblis selalu masuk dari pintu-pintu pengakuan (ego), sebagai unsur yang paling lemah atau rentan dari sifat kemanusiaan.

Tidaklah jarang pada ibadah pun setan masuk menggoda, seperti dalam ibadah mengerjakan shalat, niat yang telah terucap adalah lillahi ta’alaa, dan mengakui dengan ikhlas bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, serta matinya adalah karena dan untuk Allah pemilik semesta alam, juga mengakui yang pertama berserah diri. Akan tetapi, masih di dalam shalatnya, terbayang-bayang pekerjaan yang masih menumpuk untuk segera diselesaikan, atau hal-hal dunia lainnya yang sungguh membuat niat dan keikhlasannya menjadi tidak mempunyai arti sama sekali. Belum lagi, amal perbuatan setelah shalat, yang menyimpang jauh dari makna shalat-nya. Shalat terus dilakukan, maksiat pun jalan terus.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Shalat yang tak terjaga kelurusannya, yaitu dari niatnya, kemudian kepada mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatannya yang menjadi tidak lurus lagi, berbuat riya (pengakuan) dan enggan memberi bantuan kepada sesama. Celakanya lagi, hal tersebut oleh Allah disebut sebagai perbuatan mendustakan agama. Jelas itupun mendustakan Tuhannya. Inilah kemunafikan yang nyata, tetapi tak disadari banyak insan kemanusiaan dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan.

“……….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (islam).”

 (QS 6:162-163)

Kemunafikan yang tak disadari ini, apakah dikarenakan tidak memahami makna shalat dan tidak pula memahami makna ayat tersebut di atas? Dan jika demikian adanya, maka jelaslah bahwa pengakuan (ego) masih melekat pada hatinya, sehingga mudah sekali melupakan janjinya kepada Tuhannya dalam setiap shalatnya. Pengakuan (ego) yang melekat kuat di hatinya inilah yang menutupi kesadaran (ingat)-nya pada janji-janji kepada Tuhannya sebagai orang yang pertama-tama berserah diri (islam) secara ikhlas dalam setiap shalat, ibadah, hidup dan matinya.

Itulah lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu lurus dalam ucapnya ketika di dalam shalat sebagai niat-nya, dan lurus pula yang dikeluarkan dalam amal perbuatannya. Sungguh tak pantaslah kita bersikap munafik kepada Allah Yang Maha Mengetahui, bahkan mengetahui segala isi di dalam hati seluruh makhluk-Nya. Tiadalah yang dapat luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya yang meliputi segala sesuatu sekalipun tersembunyi di dalam kedalaman hati yang paling dalam.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.”  (QS 17:36)

Bila demikian adanya, maka keimanannya perlu diperkokoh kembali. Bagaimana mungkin melakukan shalat tetapi tak memahami maknanya, tak memahami untuk apa melakukannya, juga tak memahami kepada siapa sesungguhnya pengabdiannya ditujukan.

Tidak hanya pada shalat, melainkan juga ibadah-ibadah, kehidupan dan kematian-nya pun sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya, karena itu, seperti penjelasan ayat di atas, bahwa segala sesuatu harus dipahami dulu maknanya, baru mengerjakannya, sehingga akan lebih berserah diri (islam) secara ikhlas kepada Dia yang menghendaki diri-diri kemanusiaan menyadari fitrah-nya. Yaitu, sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn.

Meluruskan Amal Perbuatan (Lampah)

Bila pada ucap dan niat telah berada pada kelurusan, yaitu kebaikan dan kebenaran, maka tinggal membuktikan kepada amal perbuatannya. Dapat pulakah lurus seperti pada ucap dan niatnya yang merupakan lebih seperti janji yang perlu dibuktikan kenyataannya?

Perbuatan yang lurus adalah perbuatan yang menjadi rahmat bagi sesama. Dan menyadari bukan pula diri kita yang sebagai pemilik rahmat, melainkan Allah-lah sesungguhnya sebagai pemilik rahmat yang menganugerahkannya kepada diri kita, dan kemudian merupakan kewajiban  menyebarkan kembali ke sesama sebagai wujud rasa syukur atas nikmat anugerah-Nya.

Amal perbuatan yang didasari selalu ingat kepada Allah dan kesucian atau kemurnian (ikhlas) pasti akan membuat amal perbuatannya tetap berada pada jalan lurus, yaitu sesuai agama sebagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Maka keselamatan akan selalu mengiringi setiap langkah dalam amal perbuatannya. Allah akan mengingat mereka yang ingat dan ikhlas kepada-Nya, sehingga amal perbuatannya akan selalu terjaga dan terlindungi dari bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan kepada amal perbuatan sesat, dikarenakan Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan Pemelihara.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)

Upaya penyesatan yang dilakukan iblis dengan bujuk rayunya, tidak akan berpengaruh kepada mereka yang ikhlas dalam amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah karena mereka selalu mengingat dan diingati Allah. Orang-orang yang telah ikhlas (mukhlisiin) adalah orang-orang yang telah diimunisasi, dan telah kebal dari pengaruh penyesatan iblis, maka tiada penyakit di hatinya.

Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri kemanusiaan (terutama yang ikhlas), dia hanya merangsang angan-angan keinginan diri atau jiwa. Dikuatkannya keinginan tersebut melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada jiwa-jiwa kemanusiaan yang berpaling dari jalan Allah yang lurus. Karena itu diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya, agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan dirinya.

Bila kita mengalami bencana atau musibah yang telah menyusahkan diri atau jiwa kita, maka berkacalah terhadap amal perbuatan yang telah lalu. Bila telah menemukan kesalahan-kesalahan tersebut, bersyukurlah. Yang pertama, karena telah diberi ingatan untuk menyadari kesalahan sehingga mendapatkan pelajaran untuk tak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Yang kedua, kita telah diberi kesempatan menebus kesalahan tersebut sebagai hisabnya, yaitu dengan mengalami musibah ini. Yang ketiga, adalah karena kita masih diberi kesempatan untuk mencapai insan yang sempurna.

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya?” (QS 75: 2-3)

Kesalahan dalam amal perbuatan buruk merupakan penyesatan iblis, dalam banyak kasus, bukan tidak mungkin bila kita tersesat maka akan membuat kita semakin tersesat lebih jauh lagi, bila tak segera menyadarinya. Karena itu bersyukurlah bagi mereka yang telah dapat menyadari kesalahannya, agar tak semakin salah. Kesalahan yang semakin bertumpuk sungguh amat berat hisab-nya.

Betapa nikmatnya hidup di dalam kehidupan lurus yang tak tertuntut keinginan dan kebutuhan yang berlebihan dari yang semestinya diterima. Ketahuilah, kelebihan yang dipaksakan di satu sisi akan menjadi yang mengurangi pada sisi lainnya, sebagai keseimbangan yang telah ditetapkan (sunathullah)-Nya.

Lihat dan perhatikanlah, diri yang menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Orang-orang seperti inilah yang menolak kejahatan dengan menggunakan kebaikan, maka iklim kehidupan pun menjadi sejuk, serta membawa ketenangan, kedamaian, dan ketentraman kehidupan bersama.

“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)

Orang seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda atau makhluk lainnya adalah makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Sebagai rahmatan lil’aalamiiyn.

 

 

Bab XV

MENEGAKKAN SHALAT (Wayuqimusshalat)

INGAT yang TIADA PUTUS

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu.”

(QS 18:14)

K

ebanyakan kita memahami menegakkan shalat adalah hanya dengan telah melakukan shalat maka kewajiban beribadahnya telah selesai tertunaikan. Seperti penjelasan ayat di atas, bahwa shalat adalah untuk mengingat Allah. Yaitu, menjaga kesadaran jiwa agar selalu dalam lindungan kuasa dan pemeliharaan Allah (Allaahu Maliikiyawmid-diiyn), Dia yang menguasai hari-hari agama.

Selalu mengingat bahwa Allah mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu setelah shalat. Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami setiap gerak amal perbuatannya tidaklah lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari shalatnya. Amal perbuatan yang merefelksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)

Mengingat Allah yang tiada putus (li dzikri), dan termasuk pula di dalamnya shalat, adalah untuk selalu berada pada jalan lurus-Nya, sehingga tiada ada kesempatan bagi iblis untuk masuk dan membisikkan godaan atau bujuk rayunya yang menyesatkan dan menjerumuskan.

“…… Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)

Bila sempat terputus, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar,  sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap alhamdulillah sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan ini merupakan energi yang dikeluarkan sebagai energi positif, sebagai pengembalian kepada kemuliaan Dia yang memberikan.

“…… Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: semoga Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS 18:24)

Segala sesuatu yang masuk ke tubuh atau jasad sebagai yang diterima atau dianugerahkan, adalah energi yang merupakan rahmat-Nya. Apakah itu makanan, minuman, nafas, ilmu dan pengetahuan, serta lain sebagainya, maka ketika yang  dikeluarkan adalah juga energi, sekalipun ampas. Bukankah kotoran yang dikeluarkan pun dapat dijadikan bahan bakar atau gas, dapat dijadikan pupuk penyubur tanaman, serta makanan bagi makhluk lainnya. Begitu pula pada nafas yang dikeluarkan, adalah energi (CO2) yang dihisap tanaman bagi pernafasannya, maka agar selalu dalam kebersihan, selalulah dalam mengingat-Nya (li dzikri) sebagai pengembalian yang baik dan wujud rasa syukur atas segala rahmat-Nya baik disadari maupun yang tidak disadari. Karena sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu, tiada yang lepas dari rahmat, kehendak, serta pemeliaharaan-Nya.

Makna menegakkan shalat, tidaklah hanya dengan telah mengerjakan shalat. Sering pula dimaknai dengan amal perbuatan yang mencerminkan shalatnya. Yaitu amal perbuatan yang selalu menjaga kesadarannya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sehingga membuahkan kebajikan bagi sesama makhluk dan alam sekitarnya, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Maka kesadaran yang selalu terjaga merupakan keadaan atau kondisi ingat (dzikr).

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Selalu mengingat Dia dengan menyebut nama tunggal-Nya, yaitu Allah, atau dapat pula nama-nama terbaik lain-Nya, di lubuk hati yang paling dalam, tanpa suara bahkan tidak terdengar oleh telinga. Kegiatan ini sama sekali takkan mengganggu aktivitas sehari-hari, apalagi mengganggu orang lain. Betapa besar manfaat li dzikri ini bagi jiwa, paling tidak membawa ketenangan dan ketentraman. Inilah bentuk atau wujud kebersamaan makhluk dengan Tuhannya, manunggal bersatu kepada Yang Maha Tunggal.

“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)

Shalat adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari segala raja.

Shalat, dzikir, atau mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan munkar (QS al Ma’un ayat 1-7) merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama. Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu. Akan tetapi, akan dikutuk oleh Allah sebagai orang yang celaka bagi mereka yang selalu shalat namun perbuatannya tidaklah mencerminkan shalat dan ingat-nya kepada Allah. Yaitu perbuatan yang mengingkari Allah. Mereka inilah yang dimaksud merusak dan merendahkan agama Allah.

Mengingat Dia, adalah juga menyadari apa-apa yang ada, apa-apa yang masuk sebagai yang diterima, dan apa-apa yang keluar sebagai pengembalian pada diri insan kemanusiaan, yang kesemuanya merupakan anugerah yang dititipkan sebagai yang akan dipertanggung jawabkan, kelak.

Selalu mengingat Dia yang tiada putusnya juga mengandung makna sebagai menjaga kesadaran jiwa terhadap fitarh-nya yang telah ditetapkan Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak keluar jalur dari jalan lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu, fitrah insan kemanusiaan sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn. Itulah menjalankan agama yang benar (diynul qayyimah) dengan ikhlas atau murni.

Janji

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)

Dengan ayat ini, Allah hendak mengingatkan kembali kepada diri-diri kemansuiaan,  bahwa sebelum kelahirannya di dunia, jiwa-nya telah ber-syahadat (persaksian) pula sebagai ikatan perjanjian dengan Tuhannya. Dan jiwa-jiwa kita benrjanji untuk tidak lengah terhadap persaksian tersebut.

Tentulah persaksian tersebut adalah berkaitan dengan fitrah kemanusiaan-nya, yaitu sebagai khalifah yang merupakan perwujudan dari Dia Yang Maha Pemurah di muka bumi. Menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Karena itulah maka jiwa-jiwa kemanusiaan inilah yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya.

Janji adalah milik Allah, karena janji adalah berbicara mengenai hari kemudian, yang berada dalam kuasa-Nya. Tidak dibenarkan, atau tidaklah layak, bahkan tidaklah dapat dipercaya bila insan kemanusiaan berjanji. Sebutlah nama-Nya, yaitu insya Allah (dengan izin Allah), untuk membersihkan janji-nya, bahwa kekuatan untuk memenuhi janji tersebut adalah dengan kekuatan Allah, bukan kekuatan dirinya sendiri.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

Kebanyakan insan kemanusiaan yang terikat kepada janjinya, dapat pula tidak menepatinya, dan malah terperosok karena hawa nafsunya pada kehidupan dunia. Maka sungguh dengan selalu mengingat Dia yang menguasai hari kemudian, yang dengan izin-Nya, jadilah janji-nya itu merupakan janji-Nya. Dan Dia-lah yang menunaikan janji tersebut untuk kita, karena segala sesuatu mudah bagi-Nya jika Dia menghendaki. Sebab itu jadikanlah keinginan adalah keinginan-Nya, kehendak adalah kehendak-Nya, kekuatan adalah kekuatan-Nya, ilmu adalah ilmu-Nya, dan lain sebagainya adalah semuanya milik-Nya dan dalam pemeliharaan-Nya. .

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar…..” (QS 41:53)

Demikianlah adanya, segala sesuatu yang berada di langit dan yang berada di bumi, serta yang berada diantara keduanya adalah kepunyaan dan atas kehendak serta dalam kuasa-Nya. Bahkan apa-apa yang berada di dalam tubuh atau jasad, sampai kepada nafas (hawa) adalah milik-Nya. Yang pada pemahaman sebelumnya kita pisahkan sebagai milik kita, pengakuan (ego)-lah yang mengaku-ngaku milik kita, sekalipun telah dianugerahkan kepada diri kita, yang sesungguhnya hanyalah titipan berupa amanah yang pada saatnya nanti, harus pula dipertanggung jawabkan pengelolaannya. Tiada kekuatan selain kekuatan Dia yang Maha Agung, bahkan untuk dapat mengucapkan janji pun adalah kekuatan-Nya. .

“… dan penuhilah jnaji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 2:177)

Insan kemanusiaan yang berakhlak mulia dan terpuji adalah juga yang menunaikan janjinya, karena diberi kekuatan dan atas kehendak Allah. Tidak akan mudah memberikan janji, karena sadar akan konsekuensinya yang tidak ringan. Maka dia pun ingat kepada imannya terhadap Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari kemudian-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya, yang kesemuanya berada di dalam diri-nya untuk menjaganya agar tetap berada di jalan lurus-Nya.

Diri

Mengingat Allah yang tiada putusnya adalah juga agar menyadari fitrah diri-nya yang merupakan wadah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah, yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk mengenal diri, maka kenalilah Tuhan. Dan untuk mengenal Tuhan, maka kenalilah diri. Setelah mengenal keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.

Diri merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan, kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah amanah titipan yang pada saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego) menjadi dominan berlebihan menguasai jiwa, hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.

Diri setiap insan kemanusiaan adalah keturunan dari diri yang satu, keturunan  Adam (berarti, tidak ada). Ya khalifah, ya nabi, ya rasul, ya juga yang lalai atau berdosa. Maka setiap diri adalah juga keturunan tidak ada, juga keturunan khalifah, , serta juga keturunan rasul, juga keturunan nabi, serta pula keturunan yang lalai (berdosa). Itulah fitrah kemanusiaannya.

  1. A.       Tidak Ada,

Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya.

Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.

Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya.

Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.

Ketiadaan diri adalah dengan telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak.

Mengingat Allah yang tiada putusnya sebagai penyadar, bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada, dan hanya Dia yang ada. Maka segala sesuatu yang datang dan keluar darinya menjadi bersih dari pengakuan (ego)-nya, sehingga selamatlah kehidupannya baik di dunia dan kelak di akhirat, karena menetapkan dirinya tetap berada di jalan lurus-Nya.

  1. B.       Khalifah,

adalah anugerah berupa kekuasaan atau kepemimpinan yang diberikan Allah kepada setiap insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik dan benar, dan lurus sesuai yang dikehendaki-Nya. Kepemimpinan terhadap diri sendiri, keluarga, sekitar, bahkan terhadap yang jauh lebih luas lagi, wilayah atau daerah, hingga negara. Dan tetap, adalah dimulai dari kepemimpinan terhadap dirinya sendiri, semakin baik pengelolaannya maka akan semakin luas pengaruhnya.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Tetapi, bila tergoda pengakuan (ego), maka rusak atau cacatlah kepemimpinannya. Menjadi otoriter, diktator, atau dzalim, bahkan kepada dirinya sendiri karena telah merusak apa yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Telah banyak ini terjadi di sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, dari mulai perang berebut wilayah kekuasaan antar raja-raja, perang etnis kesukuan, perang agama (perang salib), perang dunia, perang dingin, hingga perang terhadap terorisme.

Kekahlifahan adalah anugerah yang menggoda setiap diri insan kemanusiaan. Kemuliaannya amat menggiurkan, akan tetapi kerusakan akibat salah atau sesatnya pengelolaannya amatlah besar pula. Semakin besar kekhalifahan melibatkan banyak insan kemanusiaan, maka semakin besar pula kerusakan yang diakibatkannya karena salah dan sesat pengelolaannya. Sehingga kekhalifahan cenderung menjerumuskan, akan tetapi tetap dibutuhkan dalam kehidupan, apapun bentuknya kepemimpinan tersebut. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah terhadap insan kemanusiaan.

Pada insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama dengan lurus, serta dengan masing-masing individunya telah menyadari (ingat) dan melepaskan segala pengakuan (ego)-nya, maka insya Allah akan tercipta kehidupan yang sehat di wilayahnya. Karena kekhalifahan yang besar atau luas dipengaruhi oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil di bawahnya, semakin kecil kepada individu-individu diri kemanusiaan sebagai elemen penting penyusun struktur kehidupan.

Semakin baik kualitas akhlak individu-individunya, maka menentukan kualitas kepemimpinan wilayah atau negaranya. Dan akan kembali kepada individu-individu sebagai rakyatnya, berupa kemakmuran ketentraman, keamanan, dan keadilan yang merata. Tidak akan pernah didapat seorang khalifah dan pemimpin negri yang baik, yaitu yang dapat membawa kepada keadilan, kemakmuran, keamanan, dan ketentraman yang merata, bila masing-masing individunya kebanyakan masih dalam kesesatan akhlaknya. Seperti pungguk merindukan bulan. Antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah ada harmonisasi kehidupan yang baik, memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu keimanan dan agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan seperti pula yang dikehendaki Tuhannya.

  1. C.       Rasul,

Adalah tugas yang diamanatkan kepada setiap insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama untuk menyampaikan petunjuk dari Tuhannya. Kita telah membahas tentang kerasulan pada setiap diri kemanusian secara khusus pada bab keimanan, akan tetapi akan sedikit diulas kembali.

Yang sesungguhnya setiap diri adalah membawa tugas kerasulan baik disadari maupun tidak, serta secara sukarela maupun terpaksa, karena memang fitrah-nya seperti itu sejak Adam As sebagai bapak asalnya kemanusiaan. Adalah kodratnya, menghendaki kebaikan pada sekitarnya, minimal keluarganya, maka yang keluar dari ucap-nya (bila disadarinya, adalah ucap-Nya) adalah berupa nasehat-nasehat kebaikan. Disadari ataupun tidak, “tiada kekuatan selain kekuatan Allah”-lah yang memberi kekuatan kepadanya untuk menyampaikan segala bentuk nasehat kebaikan sebagai petunjuk-Nya.

Akan tetapi, yang dibutuhkan bukan cuma nasehat-nasehat, melainkan juga perlu keteladanannya sebagai bukti nyata petunjuk tersebut. Sehingga harmonis antara ucap, tekad, dan pada lampah (perbuatan)-nya, yaitu berbanding lurus apa yang ada sebagai petunjuk, seperti dalam kitab suci, ucap, dan tekad,  dengan lampah (perbuatan) sebagai teladannya.

Bila hal ini telah dapat dipahami, maka mengingat Dia yang tiada putusnya, adalah menyadari tugas kerasulan-nya, yang telah diikrarkannya dalam syahadat (telah bersaksi bahwa dirinya adalah utusan Allah), yang sesungguhnya pula adalah fitrahnya sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn (rahmat bagi semesta alam). Allah telah memuliakan setiap diri kemanusiaan dengan tugas ini, dan sebagai makhluk yang diwujudkan dengan bentuk yang sesempurna-sempurnanya, sebagai wujud dari perwujudan-Nya Yang Maha Terpuji.

Maka dengan karunia yang mana lagi, sehingga diri-nya dapat bersyukur dan hendak mewujudkan apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya? Yaitu sebagai perwujudan Dia di alam, yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk. Itulah sesungguhnya fitrah diri-nya.

  1. D.       Nabi,

Setiap insan kemanusiaan adalah keturunan nabi Adam, tetapi tidak semua keturunan-nya dianugerahi kenabian. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendaki Allah saja. Kenabian adalah amanat yang besar dan sangat mulia, hanya mereka saja yang menerima wahyu dari Allah untuk disebarkan kepada kaum atau umatnya, sebagai tugasnya.

Padahal, setiap insan kemanusiaan, dapat pula memiliki umat atau kaum yang mungkin saja dibentuknya, minimal adalah pada keluarga dan keturunannya. Akan tetapi, karena wahyu adalah kehendak Allah kepada siapa Dia hendak memberi wahyu, maka tidak semua orang menerima wahyu, dan hanya orang-orang pilihan-Nya saja. Dan Muhammad bin Abdullah adalah manusia terakhir yang menerima anugerah kenabian. Lain halnya pada kerasulan, yang dianugerahkan kepada seluruh keturunan Adam atau setiap insan kemanusiaan, hanya kadar mewujudnya-lah, yaitu kadar  ketuhanan pada dirinya yang membedakan insan kerasulan dengan insan kemanusiaan yang lainnya. Kadar ketuhanannya dinilai dari diri-diri yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di dunia bagi kehidupan bersama dengan sesama makhluk Tuhan di bumi.

Didalam kisah-kisah para nabi, pada al Qur’an, betapa sulit dan merupakan tantangan ketika para nabi tersebut mengumumkan kenabiannya. Ditentang, dicemooh, dianggap gila, dianggap penyihir, dianggap pembohong, dianiaya, bahkan hingga bukan hanya ancaman saja, pembunuhan pun pernah terjadi. Itu dilakukan oleh para pembesar negri dan pemuka agama. Padahal dia (para nabi) tak pernah mengharapkan bahkan meminta upah atau imbalan. Akan tetapi bila hal-hal berbahaya tersebut telah terlewati dan umat pengikutnya telah semakin banyak, maka perbaikan menyeluruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan pun pasti akan terjadi.

Dan kenabian mereka sungguh dapat dijadikan teladan bagi hidup kerasulan setiap diri kemanusiaan, sebagai contoh terbaik akhlak manusia yang lurus pada jalan-Nya karena selalu dalam keadaan ingat (sadar) dan selalu pula mensucikan-nya sebagai yang akan dikembalikan lagi kepada sesunguhnya yang memiliki, yaitu Dia (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).

  1. E.        Berdosa,

Dan setiap insan kemanusiaan pun tak lepas dari kelalaian dan kesalahan sebagai dosa, bagai malam dan siang yang selalu mengiringi. Karena di alam, maka kebaikan pun selalu dibayangi keburukan. Tetapi Dia yang Maha Bijaksana pun memberikan penawarnya, sebagai pelurus kembali, penyadar (pengingat) kembali, dan pembersih (pensuci)-an kembali segala kesalahan dan kelalaian (dosa) yang telah menjerumuskan insan kemanusiaan. Yaitu kunci tobat seperti yang diwariskan kepada Adam,

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS 2:37)

“Keduanya berkata, ya Yuhan kami, kami telah mendzlimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS 7:23)

Hidup dan kehidupan kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa. Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Pada rasa-lah dosa itu berpengaruh pada diri-nya. Bila jasad-nya sakit, rasa pada diri-nya lah yang terkena, bukan jasad-nya yang merasakan. Diri yang merasakan ketidak nyamanan, bukan jasad, apalagi ruh-Nya.

Dengan kebangkitan pula, setiap diri, mendapat kesempatan mensucikan kembali jiwa-nya melalui neraka-nya, serta diharapkan-Nya sambil beramal perbuatan yang tidak menambah lagi kekotoran pada jiwa-nya. Bila masih saja lagi ada kekotoran yang melekat, sedang kematian telah merenggut-nya kembali, maka tentu akan dibangkitkan kembali untuk mengalami pensucian kembali. Begitulah berulang kali mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan sampai kepada kesucian untuk dapat kembali kepada-Nya Yang Maha Suci, ilayhi raji’un.

Ahli

Ahli, adalah bermakna sebagai pewaris yang menerima anugerah dari Allah, dan yang juga akan dipertanggung jawabkannya, kelak. Dan mengingat Dia yang tiada putusnya adalah juga menyadari sebagai penerima  anugerah yang merupakan amanah yang kelak itu pun harus dipertanggung jawabkan pengelolaannya, bukan sebagai pemilik anugerah tersebut.

Anugerah yang diwariskan-Nya adalah wujud-Nya, ruh-Nya, kitab-Nya, alam ciptaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya yang tak terhitung (akbar) dan mewujud di bumi dalam perwujudan diri setiap insan kemanusiaan yang ber-ketuhanan. Itulah kurnia yang dianugerahkan oleh Dia yang Maha Pemurah, adakah yang lebih pemurah dari Dia? Bahkan kita pun tidak sepemurah itu terhadap diri sendiri. Jauh lebih buruk malah mendzalimi, menyakiti, merusak, dan menjerumuskan diri kita sendiri. Anugerah-anugerah tersebut pun merupakan fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya sebagai yang mempermudah tugas-nya di bumi sebagai wakil Tuhan, yaitu perwujudan sifat-sifat Dia di muka bumi.  Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

  1. A.       Wujud,

Yang merupakan perwujudan-Nya, sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya atau wujud yang paling sempurna (fii ahsaani takwiim), dan sebagai wujud yang Maha Terpuji yaitu muhammad (lihat syahadat dalam ulasan bab iman kepada para rasul), juga apakah ada yang paling sempurna selain Dia? Itulah nyatanya wujud Allahu Akbar pada diri kemanusiaan, yaitu akbar, tak terhitung wujud kemanusiaan yang berketuhanan.

“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)

Renungkanlah, ketika shalat, berniat mengerjakan shalat adalah  ikhlas karena lillahi ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah mengerjakan, dan diri sebagai yang diperintah. Selanjutnya, pada takbiratul ihraam, mengucap Allahu Akbar, sebagai tanda (aba-aba) setiap memulai gerakan agar diikuti makmum. Hal ini menunjukkan, dirinya dan makmum yang banyak adalah wujud Allahu Akbar. Sekalipun dalam melaksanakan shalatnya hanya seorang diri, makmumnya adalah rakyat-nya, yaitu milyaran sel beserta para malaikat-nya (telah diulas bab iman kepada para malaikat). Jadi perlu ditegaskan perbedaan antara Allahu Akbar sebagai perwujudan Allah di alam, yaitu diri-diri kemanusian yang banyak (akbar) tak terhitung, dengan Allahu Ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah segala sesuatu yang berada di alam dari tempat tunggal-Nya (arsy), yaitu Allahu arsyis tawaa. Uraian ini sangat berhubungan erat dengan bab keimanan, karena ini begitu penting dipahami setiap diri yang sebagai pewaris wujud Tuhannya agar dapat menjaga dari penodaan terhadap-Nya akibat kesesatan pengakuan (ego).

“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan……”  (QS 4:43)

Renungkanlah lagi, pada bunyi ayat di atas, yang melarang shalat, saat diri dalam keadaan mabuk, dikarenakan tidak memahami atau tidak mengerti apa-apa yang diucapkannya di dalam shalatnya. Kemudian simak pula bunyi ayat ini,

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)

Allah mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.

Tidak lain inipun disebabkan dominannya rasa pengakuan (ego), sehingga tidak dapat menyadari (ingat) wujud ketuhanannya sebagai wujud Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan sebaliknya, bila dirinya menyadari (ingat), maka janganlah membelokkan yang seharusnya lurus, jangan pula melupakan yang seharusnya di-ingat, serta jangan juga mengotori yang seharusnya suci. Itulah bahayanya pengakuan (ego) yang dapat menyesatkan dari jalan lurus-Nya, melupakan Tuhannya, bahkan menodai kesucian-Nya.

Wujud yang difitrahkan untuk menjadi perwujudan-Nya di alam, yang membawa sifat-sifat Tuhan dalam setiap gerak hidupnya. Yaitu sebagai wujud yang terpuji (muhammad) yang merupakan perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad).

  1. B.       Ruh,

Yang merupakan ruh-Nya (bukan ruh milik diri-nya), juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Dengan ruh-Nya inilah, maka kemanusiaan menerima hidup-Nya sebagai anugerah kehidupan, dan yang memerintahkan gerak segala sesuatu yang ada pada dirinya dan yang mempengaruhi dari luar diri-nya.

“…… Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)

Dia-lah ar Raahman yang sesungguhnya memerintahkan ruh-Nya atau para aparat (malaikat)-Nya, yaitu ruhul kudus sebagai pembawa atau penyampai perintah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh para aparat lainnya, seperti kepada aparat yang sebagai pelaksana gerak dari mulai tarikan dan keluarnya nafas, gerak ucapnya, gerak dengarnya, gerak lihatnya, gerak pikirnya, gerak tangan dan langkahnya, sampai kepada gerak-gerak yang tidak disadari atau diketahuinya di dalam tubuhnya. Dia-lah yang sesungguhnya memerintahkan para aparat (malaikat) untuk bergerak bekerja sesuai kehendak-Nya (telah diurai di bab iman kepada para malaikat).

Ruh-Nya tersebutlah yang sesungguhnya menghidupkan, sehingga jasad dan jiwa-nya dapat menerima segala anugerah yang dikaruniakan kepada-nya. Jasad merupakan wadah yang menerima, sebagai media jiwa yang memiliki wujud, dan merupakan satu kesatuan wujud dari milyaran wujud yang tak terhitung, serta memiliki kehidupan sendiri-sendiri dalam satu sistem, dan bukan atas perintah diri-nya sebagai penguasa mereka, melainkan perintah Dia (ruh-Nya) Yang Maha Memerintah. Tidak ada sedikitpun kekuasaan-nya atas mereka (jasad-nya) tersebut. Itulah mengapa bila sakit di jasad-nya, diri-nya tak kuasa, bahkan dokter terpercaya pun tak kuasa bila tak dikehendaki-Nya. Diri-nya hanya cuma bisa merasakan.

Jadi, dimanakah diri kemanusiaan-nya? Itulah mengapa diri atau jiwa disebut sebagai yang tidak ada. Diri-nya ada pada rasa, yaitu rasa nikmat-Nya. Bukan rasa nikmat yang sesaat, yang kemudian disesalinya. Melainkan merupakan nikmat sejati. Bayangkan, satu saja gerak tersebut dicabut Tuhannya. Misalkan gerak melihat yang dicabut oleh-Nya, sehingga tak dapat melihat. Tentu itu merupakan musibah atau bencana besar bagi dirinya. Tidak usah sampai kepada dicabut, dikurangi saja kekuatannya, yaitu menjadi buram. Tentu itu saja telah merepotkan dirinya, harus membeli kacamata untuk memperbaiki pandangannya. Maka sungguh, agar setiap diri kemanusiaan dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Tuhannya.

Apabila telah menyadari dan memahami segala sesuatu , termasuk yang berada di dalam jasadnya, adalah berada dalam kuasa dan dalam pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah. Sehingga, yang berucap adalah Dia, yang mendengar adalah Dia, yang melihat adalah Dia, yang berpikir adalah Dia, yang menulis adalah Dia, yang melangkah adalah Dia, dan segala sesuatu adalah gerak Dia. Sebab itu, luruskanlah, ingatilah, dan sucikanlah gerak-gerak tersebut sebagai milik-Nya dari ego pengakuan.

Diri atau jiwa inilah yang seharusnya menyatu (manunggal) dengan ruh-Nya, sebagai diri atau jiwa yang tenang dan terkendali (nafs al mutma’inah). Yaitu, yang ikut mengucap, ikut mendengar, ikut melihat, ikut berpikir, serta ikut pada setiap gerak-gerak lain-Nya. Dan hanya nikmat-Nya yang sesungguhnya dirasakan jiwa-nya.

Dia-lah, Allahu arsyis tawaa yang bersemayam di arsy, yaitu di lubuk hati yang paling dalam. Dan pada setiap diri kemanusiaan yang telah secara murni atau ikhlas beriman dan beragama, ruh-Nya kuat dan dominan terhadap setiap gerak yang membawa jiwa kepada keselamatan, kemudahan, ketenangan dan ketentraman.

Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memurnikan (ikhlas), maka segala perintah-Nya akan mudah dibelokkan iblis. Bila jiwa lebih cenderung pada kesesatan, yaitu pada mereka yang menjadikan iblis sebagai tuhannya, yang justru malah menjerumuskan jiwa kepada bencana, kesulitan, dan keresahan.

Meluruskan, mengingat, dan mensucikan diri atau jiwa agar dapat bersatu (manunggal) dengan ruh-Nya di dalam tempat tunggal-Nya, menjadikan jiwa yang tenang terkendali dan keluar berupa rahmat bagi sesamanya di alam.

  1. C.       Sifat,

Yang adalah pula merupakan sifat-Nya, yaitu dari sifat wujud, sampai dengan sifat mutakalimaan, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Semua sifat-Nya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tersebut sebagai yang melekat  bersama ruh-Nya, karena di alam (bukan di tempat tunggal, arsy-Nya), maka dapat terkontaminasi penyesatan iblis melalui pengakuan (ego) setiap diri (jiwa) kemanusiaan, maka muncullah pasangan dari setiap sifat tersebut sebagai yang memliki pula nilai-nilai keburukan dan kesalahan.

Akibat pengakuan (ego)-nya tersebut, maka rasa butuh akan kehidupan dunia yang berlebihan, membuat iman-nya semakin terkikis oleh ketakutan-nya sendiri, yaitu ketakutan tidak tercukupi. Timbullah ketamakan, keserakahan, kecurangan, yang kesemuanya bersumber dari ego-nya, yang malah menjerumuskan jiwanya kepada rasa resah. Semakin didapatkannya, semakin resah pula jiwa pada rasa takut akan kehilangan-nya. Tiada akan pernah merasa cukup jiwa-nya puas, dan dapat tenang dalam kehidupannya. Itulah jiwa yang didominasi oleh pengakuan (ego)-nya yang berada di dalam nilai-nilai keburukan dan kesalahan.

Sedangkan pada jiwa yang dekat dan mendekati ruh-Nya, berusaha bersama (manunggal), maka akan berusaha meluruskan, mengingat, dan mensucikan semua sifat tersebut dari pengakuan (ego)-nya, serta mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang saling menebarkan rahmat Tuhan bagi sesamanya.

Dengan demikian, maka kehendak-Nya, yaitu agar setiap diri kemanusiaan mewujudkan sifat-sifat Allah pada amal perbuatan-nya. Pada jiwa-jiwa seperti inilah, maka telah manunggal bersama ruh-Nya yang memayungi-nya sehingga penuh dalam kedamaian dan ketentraman, tidak ada rasa takut maupun tersentuh oleh rasa sedih, apalagi resah dan gelisah.

  1. D.      Kitab,

Yang merupakan kitab petunjuk-Nya, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan, maka disebutlah sebagai ahli kitab.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

Setiap insan kemanusiaan adalah ahli kitab (lihat kembali bab iman kepada kitab), yang telah diberikan kitab sebagai petunjuk kepada jalan lurus-Nya, dan dapat mengingat-Nya, serta mensucikan-Nya. Dengan makna, bahwa amal perbuatannya yang selalu lurus atau tidak sesat, amal perbuatannya yang selalu didasari karena ingat kepada Dia, serta mensucikan setiap amal perbuatannya dari pengakuan (ego) dan penyesatan iblis. Yang kesemuanya tersebut ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan dan keselamatan bagi hidup dan kehidupan dirinya sendiri, yaitu nikmat.

Kitab sebagai petunjuk yang menerangkan segala sesuatu, yang telah diwariskan oleh Tuhannya sebagai panduan jiwanya dalam hidup dan kehidupannya yang selalu dibayang-bayangi penyesatan iblis. Yang karena di alam, maka kebaikan pun dibayangi keburukan. Bahkan cahaya pun dibayangi bayangan hitam-nya. Segala sesuatu bersama pasangan-nya. Lain halnya di tempat tunggal-Nya, arsy Allah, maka segala sesuatu adalah tunggal, tidak memiliki pasangan, karena telah manunggal bersama Yang Maha Tunggal.

Di dalam kitab inilah, yang disebut pula sebagai kitab pembeda, yang membedakan pasangan-nya, yaitu yang membedakan antara yang haqq dengan yang bathil, yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang beriman dan yang kufur, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi jelas, terang, dan nyata kemana arah jalan lurus yang ditunjuki Tuhannya.

Serta kitab yang terbentang di alam, yang merupakan petunjuk-Nya pula, kemudian ditambah lagi dengan kitab yang merupakan kumpulan firman yang di wahyukan-Nya, keduanya pun memiliki kesesuaian sebagai yang saling membenarkan, dan dibenarkan kembali oleh kitab-Nya pula yang telah ditanamkan di dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan.

Maka dengan petunjuk apa lagi diri-nya dapat selalu ingat kepada-Nya, dan berlaku lurus dalam beragama, serta suci dalam setiap amal perbuatannya?

  1. E.        Alam Ciptaan,

Yang merupakan ciptaan-Nya, yaitu langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya, adalah juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik, serta bertanggung jawab menjaga keseimbangan-nya, agar tidak kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana alam atau azab.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS 30:41)

Adalah pengakuan (ego) adalah juga sebagai penyebab kerusakan alam, yang padahal sungguh akan kembali kepada diri-nya sebagai bencana atau musibah. Pada hal-hal perbuatan yang sepele, seperti malas membuang sampah pada tempatnya, semakin menjadikannya terbiasa tidak menjaga kebersihan, sehingga penyakit tentu akan mudah hinggap kepadanya. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadikan gaya hidup, bila sampai meluas akan membudaya.

Lihatlah sungai-sungai yang ada di kota Jakarta, sampai kepada pemerintah daerahnya pun tidak perduli memperbaiki keadaan ini, karena telah terbiasa kepada kemalasan dan ketidak disiplinan. Bukan hanya di darat dan di laut saja yang telah rusak, bahkan udara-nya pun telah tidak layak bagi kehidupan sehat. Maka mereka sendirilah yang akan merasakan akibat perbuatannya.

Dalam hal-hal sepele saja akibatnya sungguh memprihatinkan, apalagi pada hal pengelolaan seperti, limbah maupun polusi industri, kayu hutan, pertambangan, dan lain sebagainya yang melibatkan alam sebagai objek yang dieksplor-nya.

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)

Menjaga keseimbangan alam adalah hal mutlak yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahkan anak kecil pun telah banyak ditanamkan nilai-nilai pentingnya kelestarian alam, akan tetapi ada hal-hal yang tak dapat dihindari, seperti pertumbuhan populasi penduduk yang mau tak mau harus membuka lahan baru dan mengorbankan lahan-lahan hijau.

Juga pertumbuhan penduduk tersebut, telah ikut pula mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pada akhirnya memiliki dampak pada lingkungan yang menjadi korbannya lagi. Apalagi bila hal-hal tersebut tak didukung pula oleh aturan atau sistem pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab, maka dampaknya akan jauh lebih parah.

Kita hidup di alam ini, dan hendak nyaman dan tentram serta damai tinggal di sini. Alam ini adalah rumah kita, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak bila tinggal dan tidur di dalam rumah yang telah rusak. Karena itu menjadi tanggung jawab kita semua memperbaiki kerusakan-kerusakannya agar menjadi layak sebagai tempat tinggal, kemudian merawatnya sebagai yang disebut dengan menjaga keseimbangannya, agar mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.

Di dalam jiwa yang sehat, maka akan keluar amal perbuatan yang menyehatkan kehidupan yang juga merupakan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana mungkin jiwa yang sehat mau mengotori atau merusak alam sebagai tempat hidupnya, seperti hendak mengotori atau merusak rumahnya sendiri sebagai tempat tinggal dan tidur-nya?

Jiwa yang sehat adalah jiwa yang menjaga amal perbuatannya tetap pada jalan lurus, tetap dalam keadaan ingat (sadar), dan tetap dalam keadan suci. Yaitu juga, tidak dalam keadaan mabuk kehidupan dunia yang menyesatkan dan menjerumuskan diri-nya sendiri, akibat pengakuan (ego)-nya yang tidak memperdulikan sekitarnya, sebagai sesama makhluk Allah. Dan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai bencana atau musibah akibat kelalaian atau kesesatannya sendiri.

“…..sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Bukan akal tak berpikir dan bukan pula mata tak melihat, akan tetapi pandangan indah yang dibuat iblis yang menutupi mata dan hati-nya dari melihat dan berpikir yang baik, malah memperbesar pengakuan (ego) yang menyesatkan diri-nya dari menuju kepada keselamatan hidup dan kehidupannya. Dengan kembali mengokohkan keimanan (seperti yang telah diurai), maka akan mengahargai pula kehidupan makhluk-makhluk lain selain dirinya sebagai saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama ciptaan-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”

 (QS 2:152)

 

Bab XVI

MENSUCIKAN

(Wayutuzzakata)

“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya, Dan Dia lebih mengetahui (keaadaan)-mu ketika Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa.

(QS 53:32)

Suci mengandung makna terhindar dari segala bentuk kekotoran. Dan sesungguhnya, rasa-lah yang menjadi penentunya, dilihat mata, didengar telinga, dicium baunya oleh hidung, dikecap oleh mulut, dan lain sebagainya oleh indera kemanusiaan-nya, sebagai yang harus disadari bahwa bukan dirinyalah sebagai pemiliknya. Rasa-lah yang menentukan suci tidaknya, kotor atau bersih, serta kelayakan bagi diri (jiwa)-nya. Sesuatu yang memaksa, dipaksakan dan terpaksa maka akan mempengaruhi rasa yang meresahkan bagi jiwanya sebagai dosa, dan menyiksa jasad-nya sendiri sebagai penyakit yang menggerogoti hidup-nya.

Kata ‘zakat’ disini, bukan hanya bermakna kepada mensucikan harta-benda saja, melainkan seluruh anugerah yang telah diberikan Allah kepada insan kemanusiaan dari kenajisan atau kekotoran, yang sesungguhnya adalah akibat pengakuan (ego) dari diri atau jiwa-nya. Kembali menyadari, bahwa diri kemanusiaan hanyalah menerima segala sesuatunya yang merupakan rahmat kebaikan dan kebenaran dari Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada nilai-nilai keburukan dan kesalahan di setiap rahmat-Nya. Akan tetapi, karena di alam dan setelah diterima diri-diri, maka tak terlepas dari kontaminasi pengakuan (ego)-nya yang menjadikan terselipnya nilai-nilai keburukan dan kesalahan. Hal inilah yang menjadi perlu disucikan agar dapat kembali kepada yang memberi, Allah Yang Maha Suci sebagai tempat kembali tujuan akhir.

Kebanyakan kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut.

Disucikan karena ada kekotoran, dan mensucikannya, ada yang membayar-nya dengan uang, zakat, fidiyah (memberi makan orang miskin), infak dan sedekah, ataupun puasa. Perhatikanlah ayat berikut ini, kemudian renungkanlah secara perlahan dan mendalam, sambil mengingat-ngingat kejadian yang pernah terjadi baik pada diri maupun yang pernah terjadi di sekitar kita.

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Bila telah tidak mendustakan agama (QS 98:5), yaitu telah berada pada jalan lurus-Nya, ingat (sadar) kepada-Nya yang tiada putusnya, serta mensucikan semua anugerah yang diberikan Tuhannya, yaitu yang bila telah dengan ikhlas tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka masihkah perlu membayar untuk mensucikan-nya? Mensucikan (zakat)-nya hanya bagi mereka yang telah terlambat atau terlanjur mendustakan agama. Renungkanlah.

Makna, mencegah adalah jauh lebih baik dari mengobati sangatlah pas atau sesuai kepada menjalankan agama dengan ikhlas lebih baik daripada timbulnya penyesalan di hari kemudian, yaitu membayar (mensucikan dengan zakat) harga yang belum tentu sesuai dengan nilai kerusakan akibat amal perbuatan yang mendustakan agama. Maka, hal itu tetap saja sebagai hutang yang kelak akan dihisab (diperhitungkan) pada hari akhir.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  tunaikan zakat (mensucikan seluruh anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

Bila yang ditekankan membayar untuk mensucikan (zakat), maka asumsi yang timbul adalah, tidak mengapa beramal perbuatan yang mendustakan agama, toh dapat mensucikannya dengan membayar zakat-nya. Sedangkan asumsi kebanyakan orang adalah membayar zakat hanya untuk mensucikan harta-benda yang mungkin saja didapatnya terkontaminasi oleh kekotoran, tidak menyadari dengan cara bagaimana mensucikan amal perbuatan lainnya yang menyimpang dari agama. Atau berusaha sedapat mungkin melakukan segala amal perbuatan yang murni atau ikhlas tak dikotori oleh pengakuan (ego). Mungkin dengan sedekah atau amal-amal sedekah lainnya dapat mengurangi dosa-nya, padahal ternyata sumber sedekah atau amal-amal bantuan lainnya tersebut didapat dari perbuatan yang mendustakan agama. Maha Suci Dia sebagai tempat kembali segala sesuatu. Maka apakah dapat bersih, bila mencuci pakaian dengan air yang kotor?

Harta-benda, yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang. Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Apapun bentuknya, apabila masih melekat kekotoran pada jiwa, maka tetaplah dipertanggung jawabkan sebagai beban pada kehidupan di hari kemudian-nya kelak, sekalipun telah membayar zakat-nya. Dia-lah Yang Maha Adil.

“Katakanlah: Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.”  (QS 17:100)

Daya

“….. Laa quwwata illaa billah (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)

Daya atau kekuatan yang merupakan energi sebagai sesuatu yang menggerakkan. Akan tetapi tetap, sesungguhnya, kehendak Dia-lah yang memerintahkan kepada daya (energi) tersebut untuk menggerakkan segala sesuatu di dalam jasad diri segala sesuatu ciptaan-Nya, termasuk pula diri kemanusiaan.

Di dalam ulasan pada bab Iman kepada Para Malaikat, telah diterangkan bahwa energi-energi tersebut itulah sesunggunya aparat Allah (para malaikat-Nya). Sedikit kita ulas kembali, bahwa ketetapan-Nya, kehendak-Nya, serta perintah-Nya adalah sebagai yang disebut Nur Allah. Aparat-Nya, yaitu para malaikat adalah sebagai Nur Cahya. Sedangkan setiap diri insan kemanusiaan yang telah bermanusiawi adalah sebagai yang disebut Nur Muhammad (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji).

Limpahan cahaya yang membanjiri bumi sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupan seluruh makhluk-Nya, baik siang maupun malam. Energi-energi tersebut tidaklah musnah atau mati, hanya berubah bentuk, yang pada awalnya energi cahaya, berubah-ubah seperti menjadi energi panas, energi listrik, energi gerak, energi bunyi, dan lain sebagainya. Disitulah para malaikat berperan atas ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya. Energi-energi tersebutlah yang menggerakkan hidup dan kehidupan segala sesuatunya, seperti gerak rotasi dan revolusi bumi yang menjadikan malam dan siang serta musim-musim, gerak angin, gerak awan, gerak proses terjadinya hujan. Kemudian kepada gerak kesuburan tanah di bumi, gerak tumbuhnya tanam-tanaman. Kemudian pula pada gerak proses siklus rantai makanan pada makhluk-makhluk-Nya. Itulah rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah. “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang dapat kamu dustakan?”

Bahkan kepada para aparat (malaikat) yang bertugas di wilayah jasad atau tubuh setiap diri kemanusiaan, energi-energi (para malaikat) tersebut berperan menggerakkan seluruh gerak hidup dari milyaran sel, jaringan, serta organ tubuh-nya. Seperti gerak bernafas, gerak gerak jantung yang berdetak memompa, gerak aliran darah, gerak berpikir, gerak mencerna makanan, serta gerak-gerak lainnya yang tak disadari dan bukan pula diri-nya yang memerintahkan, melainkan ternyata Dia-lah yang memerintahkan. Dan yang diperintah pun bukanlah diri-nya, melainkan para aparat (malaikat)-Nya sebagai energi penggerak apa-apa yang sebagai bagian atau yang hidup di dalam jasad-nya. Itulah mengapa diri menjadi tidak menyadari gerak-gerak tersebut, karena bukan diri-lah yang memerintahkan apalagi berkuasa untuk menggerakkan. Hanya diri yang masih penuh akan pengakuan (ego)-lah yang merasa memerintah dan berkuasa.

“Dan bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan.”  (QS 53:43-44)

Kemudian pada gerak pendengaran, gerak penglihatan, gerak pengucapan, gerak berpikir, gerak tangan dan langkahnya, serta gerak-gerak sadar lainnya adalah merupakan gerak para malaikat yang diperintah oleh Dia dalam ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya.  Daya-daya inilah yang dapat mewujudkan bentuk-bentuk amal perbuatan selain amal perbuatan kebaikan bagi diri dan sesama-nya.  Yang sesungguhnya, selain itu merupakan pengabdian kepada Tuhannya, juga merupakan wujud pengabdian-nya kepada setiap diri kemanusiaan (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji). Seperti yang dimaksud oleh ayat di bawah ini,

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)

Mereka (para malaikat) yang menolak tunduk pada perintah-Nya, disebut iblis. Renungkanlah, pada diri kemanusiaan, yang jiwanya tak mau tunduk patuh kepada Tuhannya, maka dia atau diri-nya sendiri-lah yang telah mengubah aparat (para malaikat) Tuhannya menjadi iblis yang membangkang, dan menyombongkan diri yang mewujud sebagai bentuk pengakuan (ego) pada diri kemanusiaan-nya.

Betapa berbahayanya hal ini, bila para malaikat-Nya pun membangkang dari tugasnya menggerakkan dan malah mengaktifkan yang “sesat”, menjadi iblis (virus, istilah ilmiahnya) atau penyakit yang menyebabkan sakit, dan terganggunya hidup dan kehidupan dirinya sendiri. Juga tak lagi membawa petunjuk Tuhannya, malah menyesatkan penglihatan hati dan akalnya dari kebenaran.

“….. maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari pembalasan.” (QS 38: 26)

Bentuk pengakuan (ego), yaitu yang menyombongkan diri adalah sebagai penyebab utama terjerumusnya diri kemanusiaan, sehingga perlu disucikan dengan meluruskan dan selalu sadar (ingat) kembali kepada Tuhannya, yang “tiada daya (kekuatan) selain daya (kekuatan) yang diberikan-Nya”. Menyadari (ingat) dan mengakui (melepaskan ego-nya) bahwa diri-nya hanyalah menerima daya (kekuatan) dari-Nya.

Cipta

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (QS 9:105)

Cipta adalah hasil atau wujud dari daya (kekuatan) dan kreasi imajinasi pikir (karsa) yang merupakan anugerah Tuhan kepada setiap diri insan kemanusiaan, dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya sesama makhluk Tuhan. Dia-lah Maha Pencipta (Khaliq), insan kemanusiaan hanya menerima anugerah kekuatan untuk dapat mencipta.

Awalnya adalah kehendak-Nya, kemudian Dia memerintahkan daya atau kekuatan (energi) untuk menggerakkan imajinasi pikir dan bersama gerak kreasi yang kreatif, baik keinginan mencipta suatu yang baru, maupun merekayasa hasil ciptaan yang telah ada. Janganlah pula lupa, mengingat Dia yang tiada putusnya sebagai kesadaran, menjaga kelurusan, dan menjaga pula kesucian segala daya dan kreasi imajinasi pikir (karsa) dari terkontaminasi kekotoran pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan, yang dapat pula mengotori hasil ciptanya.

Hasil cipta-nya ada yang berwujud baik bagi kebaikan dan baik bagi keburukan, ini jelas universal yaitu dapat diterima atau bermanfaat bagi semua. Dan ada pula yang buruk bagi kebaikan dan buruk bagi keburukan, sedangkan ini merupakan hasil cipta negatif atau buruk yang dapat diterima atau ‘bermanfaat’ (padahal sesungguhnya merupakan penyesatan) bagi mereka yang buruk saja, tiada bermanfaat dan tidak dapat diterima oleh kebaikan, sebagai hasil cipta yang terkontaminasi oleh pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan.

Allah sebagai Khaliq (Maha Pencipta) semesta alam dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah karena anugerah-Nya, yaitu dengan bantuan para aparat (malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan kehendak-Nya, maka insan kemanusiaan diberi kekuatan mencipta. Dan jangan dilupakan, setiap anugerah-Nya yang diberikan kepada diri kemanusiaan adalah merupakan sebagai titipan (amanah), yang kelak akan diminta pertanggung jawaban atas pengelolaannya.

Selalu dalam keadaan sadar (ingat) yang tiada putusnya adalah hal utama yang dapat menjaga kelurusan dan kesucian setiap amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Bila amal perbuatan baik menghasilkan pahala kebaikan selama hasil cipta tersebut dipakai dan dimanfaatkan orang lain, maka bagaimana dengan amal perbuatan buruk sebagai hasil ciptanya? Tentu segala keburukan akan menunjuk pula kepada diri-nya, selama amal perbuatan buruk itu dimanfaatkan orang lain. Apalagi bila banyak yang menggunakannya. Bagaimana mensucikannya? Tentu tidaklah cukup hanya dengan membayar zakat-nya.

Banyak penemuan teknologi yang berguna bagi hampir sepanjang sejarah kemanusiaan, teknologi lampu listrik, mesin cetak, mesin tenun, dan lain sebagainya yang sangat bermanfaat pada kehidupan sampai sekarang, dan nama baik mereka pun hidup sepanjang hasil ciptanya tersebut digunakan atau dimanfaatkan orang. Dan orang-orang suci yang membawa ajaran kebaikan yang dilekatkan sebagai ajaran agama dari Tuhan, nama mereka pun masih sering disebut-sebut hingga kini. Apa yang mereka perbuat tentunya mengeluarkan energi, dan energi kebaikan yang keluar tersebut hidup serta bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan sampai akhir zaman.

“… Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dai apa yang mereka kumpulkan.”  (QS 43:32)

Tentu, begitupun sebaliknya, amal perbuatan yang merusak atau membuat kerusakan, seperti Fir’aun dengan menuhankan diri-nya, Qarun sebagai lambang ketamakan pada harta benda (harta karun), Yahudi dengan pembangkangannya, Hitler dan Jengis Khan dengan ambisi kebangsaan dan genosida-nya (pemusnahan etnis). Nama mereka akan terus melekat pada keburukan.

Karsa

Karsa adalah gerak imajinasi pikir dan gerak kreasi yang menuntut kekreatifan secara maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal pula. Rasa ‘menuntut’ inilah yang kelak dapat menjerumuskannya, sehingga sangat perlu disucikan kembali dengan selalau dalam keadaan sadar (ingat) dan meluruskan kembali yang melenceng dari jalan agama, maka akan melenyapkan segala macam pengakuan (ego) yang sebelumnya mengotori alam khayal-nya dalam berkreasi.

Disinilah peran diri (jiwa) sangat mempengaruhi penilaian selanjutnya kepada penilaian akhir, sebagai kebaikan atau sebagai keburukan. Karena, disinilah peran diri (jiwa) yang dapat terjerumus kepada merubah para malaikat-Nya menjadi iblis pembangkang yang seharusnya mengabdi. Sejak itu pulalah iblis mulai dengan peran bujuk rayu godaannya semakin menyesatkan jiwa-nya.

Ini adalah alam khayal yang bathin, dimana segala sesuatu amal perbuatan diniatkan dan dirancang di dalam pikir-nya, dimana masuk pula rasa-rasa yang dapat mendominasi mempengaruhi jiwa akan timbulnya keinginan-keinginan sampingan, seperti untung-rugi, keserakahan atau ketamakan, kepentingan, yang kesemuanya adalah merupakan pengaruh dari pengakuan (ego)-nya.

Bagi orang-orang yang telah beriman, maka terjadilah perang di dalam dada-nya antara malaikat dan iblis, sebagai pembawa kebaikan dan pembawa keburukan. Dan bagi mereka yang telah beriman dan beragama, serta tak menuruti hawa nafsunya, maka iblis telah kalah satu langkah.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)

Serta bagi mereka yang telah murni (ikhlas) dalam keimanan dan agamanya, maka iblis telah menyerah kalah. Kekuatan mereka adalah pada kemurnian-nya, sebagai kekuatan yang dahsyat. Kekuatan yang dapat menundukkan dan mengembalikan wujud iblis kepada wujud semulanya, yaitu wujud malaikat (aparat)-Nya, mengembalikan tugasnya sebagai yang menjaga, membantu, dan menyampaikan rahmat. Itulah sesungguhnya makna diri kemanusiaan sebagai yang memuliakan Tuhannya.

Anugerah kreativitas yang diberikan Tuhannya adalah anugerah yang luar biasa bagi kehidupan insan kemanusiaan yang bervariasi, tiada pernah monoton dan membosankan, selalu saja ada inovasi-inovasi  kreatif yang membuat hidup kehidupan ini semakin semarak. Begitulah kesempurnaan manusia ciptaan Tuhan, yang bukan tidak mungkin pula, dengan kesempurnaan tersebut, malah menjadikan diri-nya terjerumus pada lupa daratan dan sombong.

Kehidupan kemanusiaan yang begitu aktif dan dinamis, bagai berada dalam suatu permainan, dan sungguh membuat terlena para pelaku di dalamnya. Bahkan amat menggoda untuk tetap dapat merasakan kehidupan dunia ini selama-lamanya, tak ingin cepat meninggalkannya, serta takut mati. Lebih seperti anak-anak yang sedang asyik dengan permainannya, tak mau terganggu sedetikpun.

Telah tak terhitung segala sesuatu hasil karya yang terwujud dari alam khayal diri-diri kemanusiaan. Dan seluruhnya, kebanyakan besar sekali manfaatnya yang memberi kemudahan dalam kehidupan. Begitulah ajaibnya imajinasi jiwa kemanusiaan, maka Maha Sempurna-lah Dia yang telah mencipta manusia bersama kehidupannya.

Di dalam alam khayal yang bathin ini pula, sesungguhnya banyak masuk petunjuk-Nya, yaitu berupa ide-ide kreatif, ilham yang bersih, dan pembeda antara manfaat dan mudharat. Dan menegaskan kembali lebih kepada keinginan untuk mempermudah hidup dan kehidupan menuju keselamatan dan kesejahteraan, yang sesungguhnya juga merupakan rahmat Tuhan yang direncanakan hendak diberikan kepada sesama makhluk Allah, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Yang sesungguhnya dari mulai kekuatan diri-nya adalah karena kekuatan-Nya, imajinasi kreatif-nya adalah karena petunjuk-Nya, dan hasil daya olah cipta-nya murni hanya dipersembahkan demi kemaslahatan bersama, yaitu kepada sesama makhluk Tuhan. Lurus, selalu ingat, dan suci, itulah sesungguhnya sebagai agama yang benar (diynul qayyimah) dari Tuhannya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

(QS 3:190-191)

 

Bab XVII

MURNI (Ikhlas) dalam BERAGAMA

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  menunaikan zakat (mensucikan apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”

(QS 98:5)

Sekarang, telah jelas dan nyata manfaat keikhlasan dalam menjalankan agama, yang sebenarnya justru kembali kepada diri sendiri sebagai kebaikan, keselamatan, ketenangan, dan ketentraman yang sejati. Tiadanya keikhlasan dalam beragama, yaitu dalam setiap gerak amal perbuatan-nya sungguh akan menyesatkan. Sesat karena timbulnya rasa takut dan meresahkan diri atau jiwa-nya, dan dapat membelokkan arah  tujuan yang sedari awalnya benar dan mulia kepada kesalahan dan kehinaan. .

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)

Bila direnungkan, sesungguhnya, keikhlasan adalah mutlak perlu dalam setiap amal perbuatan. Pada penjelasan ayat di atas, yang menerangkan sumpah iblis yang akan menyesatkan setiap diri insan kemanusiaan, kecuali mereka yang ikhlas, tentu penafsirannya pun termasuk adalah, penyesatan yang dilakukan-nya adalah kepada mereka yang ‘tidak memiliki keikhlasan’ dalam setiap amal perbuatan. Tidak memiliki keikhlasan dapat pula diartikan tidak menyadari akan pentingnya nilai keikhlasan.

Mereka ini, jelas masih diliputi oleh pengakuan (ego) yang kuat membelenggunya, tanpa pernah bisa lepas darinya bila tidak adanya keterpaksaan yang memaksanya hingga tidak dapat berkutik. Contohnya, kepada atasan-nya atau bos-nya, yang jelas langsung berhadapan dengannya, maka dia tak dapat berkutik. Maka setelah tidak bersama bos-nya lagi, dia tidak lagi dalam kepatuhan dan kesetiaan. Apalagi bila semakin dilunturkan oleh kebutuhan dan keinginan dari hawa nafs (jiwa)-nya.

Pengakuan (ego)-nya akan dapat mempengaruhi lebih jauh lagi kepada kepentingan dirinya sendiri, dan kemudian menyebar pada ketamakan atau keserakahan, untung-rugi, ambisi jabatan atau kekuasaan, dan lain sebagainya yang merupakan ambisi pengakuan (ego)-nya.

Segala sesuatu, telah kita ketahui, memiliki pasangan atau lawannya, termasuk nurani ketuhanan di dalam dadanya, maka akibat pengakuan (ego)-nya akan pula menyebabkan hadir pula musuhnya tersebut. Semakin kuat ambisi ego-nya, maka semakin kuat pula penentangan terhadap nurani-nya tersebut. Maka penyesatan iblis pun semakin menguatkan ambisi diri (ego)-nya untuk dapat memenangkan pertarungan ini, bahkan dengan cara-cara tak terpuji pula.

Sungguh besar bahayanya akibat pengakuan (ego) dari setiap diri insan kemanusiaan, hal ini amat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Persaingan tidak sehat dan saling merusak, bahkan kepada saling menumpahkan darah adalah akibat terparahnya. Kepentingan diri dan golongan, sebuah bara kecil, perlahan tapi pasti akan merambat dan membesar membakar aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, perdagangan dan ekonomi, politik, kebangsaan, hingga kepada kehidupan umat beragama.

Pada awalnya, memang hanya demi memenuhi keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri saja, akan tetapi lama kelamaan, setelah memiliki istri, bertambahlah kebutuhannya. Kemudian kebutuhannya akan terus bertambah kepada anak dan cucu, belum lagi bila di perjalanannya ada godaan-godaan lain. Seperti godaan wanita, teman atau kroni, ambisi kekuasaan, dan lain-lainnya. Maka dirinya telah masuk kedalam lingkaran setan, yang bagai berada dalam labirin yang akan menyulitkan dirinya sendiri untuk mengurai jalan kembali kepada jalan lurus-Nya, karena telah jauh tersesat.

“…. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)

Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.

Tidak hanya berhenti di situ, demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai kesempurnaannya.

“…. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”  (QS 38:26)

Bukanlah hal yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha  hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.

Bila dikembalikan kedalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.

Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)

Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupan-nya untuk disucikan melalui proses kebangkitan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Jadi begitulah, kehidupan dan kematian melalui proses siklus kebangkitan adalah sebagai proses pensucian jiwa yang masih saja terus dilekati kekotoran dosa. Itulah sebagai yang telah ditetapkan dalam kehendak-Nya (sunathullah) dari Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.

Sebaliknya, bagi jiwa yang telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.

Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.

Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal perbuatan,  maka sang iblis pun menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)

Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.

Melunturkan sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya. Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.

Menyadari, betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan yang selain merugikan orang lain, juga justru merugikan dirinya sendiri.

Keimanan yang kokoh akan mengkokohkan pula lurus-nya amal perbuatan, menegakkan shalat dan selalu menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya, serta mensucikan (zakat) kemuliaan rahmat anugerah-Nya. Dan secara bertahap, akan pula menyadari keutamaan berserah diri (islam) secara ikhlas.

“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit….. ”

(QS 6:125)

Posted in RELIGION | Leave a comment

KEMBALI PULANG – Bagian 2

 Semesta 1

BAGIAN 2

IKHLAS 

BERSERAH DIRI (ISLAM)

“…. Barangsiapa menyerahkan diri (islam) sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.”

 (QS 2:112)

Makna ayat ini, adalah penyerahan diri secara total, tanpa keraguan, hanya kepada-Nya sebagai wujud kemurnian (keikhlasan) dalam setiap gerak amal perbuatannya, maka tidak ada rasa takut dan sedih hati lagi pada dirinya. Inilah diri atau jiwa yang telah mencapai ketenangan, ketentraman, dan kedamaian sebagai wujud surga-nya di alam dunia.

Keikhlasan ini dapat menyertai setiap amal perbuatannya, bila telah hilangnya pengakuan (ego)-nya sebagai yang mengotori jiwa, dan telah kenal diri-nya, serta mengenal Tuhan bersama wujud iman lainnya (malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir-Nya, dan kadar baik-buruk-Nya), kemudian selalu menjaga itu semua tetap dalam kesadaran (ingatan)-nya. Sehingga memahami sepenuhnya, bahwa tiada kekuatan-nya melainkan adalah karunia kekuatan dari-Nya, tiada kuasa-nya melainkan karunia kekuasaan dari-Nya, tiada keinginan-nya melainkan keinginan-Nya, dan tiada sesuatupun yang terjadi tanpa seizin-Nya.

Menyadari semua itu membuat dada-nya terbuka untuk menerima kenyataan, yang sesungguhnya mengakui dengan sadar bahwa keikhlasan sebagai yang mutlak menyertai setiap amal perbuatannya, tanpa basa-basi ataupun keraguan. Inilah makna islam (berserah diri) yang sesungguhnya.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”.  (QS 38:82-83)

Justru keikhlasan inilah yang menjadi sasaran iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya iblis yang memberikan pemandangan indah pada setiap bujuk rayunya, tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada pernah berhenti membisikkan bujuk rayunya yang menyesatkan.

Sungguh, amal perbuatan yang tak diawali keikhlasan akan mejadikan amal perbuatan yang sia-sia, dan malah kembali kepada dirinya sebagai keburukan yang pasti akan disesalinya. Sebab, keikhlasan jelas tidak membawa beban ambisi dari pengakuan (ego) yang mengharapkan balasan (imbalan) dari hasil amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah wujud fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai wujud Tuhannya di alam, yang menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya

Mengenal diri terlebih dahulu, baru kemudian dapat menyerahkan dirinya secara total. Bagaimana mungkin dapat ikhlas menyerahkan diri-nya, jika belum mengenal kepada diri-nya sendiri? Menyerahkan sesuatu yang tidak dikenal dan diketahuinya, tentu tidak masuk akal. Maknanya, menyerahkan segala sesuatu tentu yang terbaik, apalagi kepada Tuhannya. Menyerahkan diri, maka perbaiki diri terlebih dahulu, sehingga bukan hanya pantas untuk diberikan, melainkan pula mengerti dan memahami untuk apa menyerahkan, serta atas dasar apa menyerahkan, sehingga mengenal arah tujuan kemunian (keikhlasan)-nya.

Bila tiada keikhlasan, bagaimana bisa terjadi penyerahan? Yang ada adalah keterpaksaan, yang diserahkan pun bukan diri-nya, melainkan keadaan-nya. Jiwa (diri)-nya tetap di tempatnya, menolak. Tuhan pun Maha Mengetahui, maka Dia-pun menolak segala bentuk keterpaksaan, “tiada paksaan dalam agama Allah”.

“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ……”  (QS 2:256)

Pada tahap ini, bagi mereka yang telah mengkokohkan keimanan dan ikhlas dalam beragama, maka tiada lagi menginginkan atau mengharapkan surga, serta takut dan menghindari neraka  (QS 2:112). Keimanan (keyakinan) dan keikhlasan-nya lah yang menyadarinya dengan yakin bahwa Allah Maha Adil dan Dia Maha Benar terhadap firman dan janji-Nya. Tidak ada keraguan bagi orang-orang yang yakin kepada Tuhannya. Keikhlasan atau memurnikan, sesungguhnya, adalah usaha untuk kembali kepada fitrah kemanusiaan-nya yang dikehendaki Allah, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam.

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)

Bila sebelumnya, pemahaman makna ‘islam’ lebih ditekankan kepada tunduk patuh. Maka sekarang, bermakna berserah diri. Bila sebelumnya, lebih pada penekanan, dikatakan kepada mereka yang menolak islam adalah “rasakanlah olehmu azab Tuhan”. Maka sekarang, “rasakanlah olehmu akibat dari perbuatanmu sendiri”.

Hal ini, bukanlah untuk lebih memperhalus penyampaian makna, akan tetapi lebih kepada penekanan, bahwa bukanlah Allah sebagai yang otoriter atau diktator juga kejam, melainkan bahwa segala gerak amal perbuatan akan kembali kepadanya sebagai buah dari yang ditanam-nya sendiri. Bila yang ditanam saja yang bermanfaat, seperti padi misalnya, maka akan pula tumbuh rumput disekitarnya sebagai pengganggu. Maka, bagaimana mungkin menanam rumput, berharap padi pun ikut tumbuh di sekitarnya? Mustahil. Maknanya, bagaimana bisa berharap menghasilkan kebaikan, bila yang dikerjakan adalah amal perbuatan buruk. Renungkanlah.

Jangan lagi terjebak oleh pemahaman yang dapat membuat salah langkah. Kembali kepada pemahaman sebelumnya, “rasakanlah olehmu azab Tuhan (sebagai balasan dari perbuatanmu)”. Yang seolah bermakna, bahwa Allah-lah yang membalas, dan berharap dalam doa-nya agar diampuni Tuhan-nya, sebab Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Padahal tidaklah demikian, sifat-sifat Tuhan tersebut adalah sebagai sifat yang dianugerahkan kepada diri kemanusiaan untuk diwujudkan di alam (dunia), sedangkan segala amal perbuatan-nya tetap akan kembali kepada dirinya sendiri, baik-buruknya pasti akan diterimanya dengan terpaksa maupun sukarela. Sesungguhnya, diri-nya sendirilah yang membalas. Jadi, jangan berharap mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin dapat tidur nyenyak dan bermimpi indah, saat itu kan waktunya hiruk pikuk dan hingar bingar. Belum terlelap, sudah terbangun karena suara berisik. Segala sesuatu telah ada dalam kehendak dan ketetapan-Nya, sebagai keadilan hukum Allah (sunathullah).

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)

Kemurnian atau keikhlasan dalam amal perbuatan, yaitu shalat, ibadah, hidup, dan mati-nya, yang didasari dan ditujukan hanya kepada-Nya, adalah karena telah mengenal diri dan Tuhan-nya, serta sedang dalam keadaan ingat (sadar). Mengenal diri dan Tuhan-Nya, adalah memahami fitrah kemanusiaan-nya sebagai perwujudan dari wujud Tuhan-nya di alam, yang mewujud bersama dengan sifat-Nya, dan keluar dalam bentuk amal perbuatan yang merupakan rahmat bagi sesama makhluk-Nya. Sehingga akan menjaga dirinya dari amal perbuatan buruk sekecil apapun itu.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

Berserah diri (islam) bukanlah bermakna pasrah karena tanpa pengetahuan, akan tetapi rela dengan ikhlas karena telah memahami dan menyadari, bahwa keberserah dirian-nya adalah demi mengembalikan kepada fitrah asal-nya yang sungguh mulia, yaitu fitrah diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan Yang Maha Terpuji di alam untuk saling menebarkan rahmat Tuhan kepada semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Berserah diri (islam) pun bukan hanya mengandung makna hanya menyerahkan diri-nya kepada Tuhan-nya, akan tetapi pula, dengan ikhlas berusaha menghilangkan pengakuan (ego) yaitu  menyerahkan segala sesuatu yang sebelumnya dirasakan sebagai milik-nya. Seperti anak-istri, harta benda, rumah tinggal, kendaraan, hewan ternak atau peliharaan, ladang pekerjaan, dan lain sebagainya. Kemudian pula pada apa-apa yang ada didalam jasad atau tubuh-nya, apa-apa yang diingat dan dipikir-nya, apa-apa yang diucap-nya, apa-apa yang didengar-nya, dan apa-apa yang dilihat-nya, serta gerak dan tenaga-nya, bahkan pada nafas-nya, yang semua itu, ternyata bukanlah dia sebagai pemilik-nya, melainkan Dia-lah pemilik yang sesungguhnya.

Tidak ada sedikitpun kekuasaan dan kekuatan-nya terhadap semua itu, kecuali bila atas izin dan kehendak-Nya. Diri-nya hanyalah cuma menerima semua itu sebagai anugerah dari Allah yang masih harus dikelola-nya secara lurus, baik, dan benar, serta sebagai yang akan dipertanggung jawabkan-nya, kelak. Menerima karena hidup yang diberikan atau dianugerahkan oleh Dia Yang Maha Hidup.

Alam raya ini, langit dan bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang merasa diluar kuasa-Nya. Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam kuasa dan kehendak-Nya. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapan dan kehendak-Nya.

Ingatlah, istri serta anak-anak, saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah, bahkan diri dan tubuh-nya sendiripun bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan milik Allah SWT. Yang, segalanya tersebut, sewaktu-waktu, dapat saja hilang atau pergi meninggalkannya.

Apa-apa yang disedekahkan pun adalah karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali kepada-Nya. Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada secuilpun yang dimilikinya secara hakiki, dan abadi, serta merupakan hasil dari kekuatannya sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan (kekuasaan) selain dari kekuatan (kekuasaan)-Nya.

Sesungguhnya telah berserah diri apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya. Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan serta siang dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran awan-awan pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem.

Bahkan pada tubuh insan kemanusiaan, pada peredaran darahnya dengan jantung yang memompa mengirimkan makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru yang mengatur pernapasan, sel-sel yang tumbuh dan saling menunjang. Akal pikiran dan ilmu, seluruhnya tunduk dan berserah diri pada ketetapan hukum-Nya. Semua itu adalah karena kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri kemanusiaan-nya. Hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang merasa diluar kuasa-Nya.

“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ………..” (QS 22:18)

Berserah diri dengan menyatakan kelima rukunnya, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Ternyata hanya baru pernyataan, maka belumlah sah bila tidak mewujudkan secara ikhlas dengan mengeluarkan-nya dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai dengan pernyataan-nya tersebut. Dan kembali, untuk memurnikan keberserah dirian (islam)-nya sangatlah didukung oleh mengkokohkan kembali rasa iman yang telah dibahas pada bab pertama sebagai dasar pijakan dalam mencapai keikhlasan.

Dikarenakan kelima rukun-nya tersebut sebenarnya merupakan cara-cara ibadah yang lebih bertujuan mencapai kemurnian (keikhlasan) dalam berserah diri pada setiap insan kemanusiaan, atau sebagai sarana latihan pensucian dan pembersihan dari pengakuan (ego) sebagai penyebab segala sesuatu yang menyesatkan jiwa. Yaitu jiwa-jiwa yang diharapkan telah mencapai ketenangan melalui pengendalian diri-nya yang dapat diaturnya secara stabil dan membawanya pada ketentraman hidup.

Keyakinan-nya yang membuat jiwa-nya merasa selalu di dalam perlindungan serta pemeliharaan Dia yang menguasai langit dan bumi dengan segala isinya, sehingga tiada lagi rasa takut pada diri-nya dan tidak pula bersedih hati. Sebab wujud diri-nya adalah perwujudan-Nya, keinginan-nya adalah kehendak-Nya, kekuatan-nya adalah kekuatan-Nya, nafas-nya pun hawa-Nya, apa yang dimiliki-nya adalah anugerah dari-Nya, bahkan apa yang dirasakan-nya adalah karena hidup yang dihidupkan-Nya.

Itulah kesaksian sejati, yang dengan mata hatinya telah dapat melihat serta merasakan secara langsung akan keagungan Dia Yang Maha Pemurah lagi Yang Maha Tunggal, sehingga membawa jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) secara ikhlas total semata hanya kepada-Nya.

“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”

(QS 2:255)

Bab VIII

SYAHADAT

Asyhaadu’allaa ilaaha illaallahu, wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”

 (QS 7:172)

Semoga ulasan-ulasan pada dua bab sebelumnya, keimanan dan agama, secara keseluruhan telah cukup menambah sedikit pemahaman kepada mengenal Allah selangkah lebih mendekat lagi dari sebelumnya, dan membawa keinginan jiwa untuk lebih mengkokohkan keimanan-nya kembali. Dan dengan begitu, maka makna syahadat yang sering diucapkan dalam shalat, yang kalimatnya diawali dengan persaksian bahwa tiada tuhan selain Dia, menjadi lebih bermakna dan tidak sekedar ucapan sambil lalu. Yang pula, insya Allah, dapat mengarahkan jiwa untuk memimpin kepada amal perbuatan lurus, ingat, dan suci secara tulus ikhlas berserah diri hanya kepada-Nya.

Menyaksikan Dia sebagai Tuhan Yang Tunggal tidak hanya sekedar ucapan tanpa kenyataan, akan tetapi dapat nyata terasa segala nikmat dari setiap rahmat Dia Yang Maha Pemurah. Yaitu Dia yang telah menganugerahkan segala-galanya, bahkan wujud-Nya sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya. Dan juga dapat nyata terlihat wujud-Nya dalam setiap segala sesuatu sebagai ciptaan-Nya yang sesungguhnya adalah perwujudan Dia, Allahu Akbar.

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:115)

Kemudian kepada kalimat persaksian selanjutnya. Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, nabi Muhammad rasulullah SAW, dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah, dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Kata ‘muhammadpada bunyi syahadat adalah bukanlah bermaksud menunjuk nama “Muhammad bin Abdullah”, nabi dan rasul junjungan kita, melainkan adalah menunjuk kepada salah satu sifat atau nama Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan kepada manusia.

Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat gelar tersebut dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad, yang sesungguhnya adalah sebuah gelar tersebut,  jadi lebih melekat kepada beliau dibanding nama asal-nya, yaitu Ahmad. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan, sebagai usaha memahami makna-makna yang masih tersembunyi untuk menambah kokohnya keimanan kepada kebenaran sejati (al haqq).

Bila telah memahami hal ini, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yang insya Allah, setelah memahami maknanya, maka akan lebih meresap kedalam jiwa pengucapnya, sehingga jauh lebih mengenal kepada diri-nya sendiri sebagai perwujudan Tuhannya, dan lebih pula mengenal kepada fitrah dan tugas-nya sebagai khalifah dan wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmatan lil ‘aalamiyn. Itulah amanat yang ditanggung oleh kemanusiaan.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)

Begitulah sesungguhnya kemanusiaan telah bersaksi dan berjanji sebelum di kehidupan sebelumnya, yaitu dengan berani memikul amanat tersebut. Dan dengan mengucapkan kembali persaksian (perjanjian) tersebut berupa syahadat sebagai penegasan kembali bahwa kemanusiaan kita tidaklah akan lalai terhadap amanat tersebut. Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersama dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga amal perbuatannya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat terpuji.

Tentu dalam mengucapkan syahadat bukanlah hanya sekedar mengucapkan pernyataan perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok mulia, yang wujud beliau seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihat dan tahu rupa beliau, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisah beliau. Syahadat atau persaksian itu adalah suatu ikrar persaksian yang tentunya mengikat setiap diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasul-rasul Allah atau utusan-utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah ditauladankan nabi dan rasul Allah junjungan kita Muhammad SAW.

“…. dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan syahadat (persaksian) dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.”  (QS 2:140)

Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyi maknanya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan muhammad (wujud yang terpuji sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji, ini ) adalah utusan Allah”. Maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensinya akan menjadi beban bagi diri pengucapnya. Sedang bagi mereka yang tak dapat menangkap makna ini, tentulah tak akan menyadari beban tugas tersebut, dan pengaruh pada kehidupannya pun tak membawa ketugasannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)

Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat, diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri sebagai fitrah asal-nya, dan kepada siapa sesungguhnya diri ini bergantung. Serta kepada siapa dia menujukan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan, sebagai wujud keberserah dirian-nya. Dan kepada setiap diri kemanusiaan diharapkan menyadari, bahwa segala firman Allah di dalam kitabnya tidaklah hanya ditujukan kepada Muhammad bin Abdulah sebagai rasul, melainkan pula, justru kepada setiap diri kemanusiaan yang membacanya. Dan beliau sebagai manusia pertama yang diberi gelar muhammad oleh Allah, dan dijadikan-Nya sebagai teladan dan contoh bagi setiap diri kemanusian baik pada masa-nya maupun pada masa-masa kemudian setelah-nya.

“Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah segala yang keji, dan janganlah engkau memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”  (QS 74:1-7)

Pada penggalan ayat inilah, sesungguhnya makna kerasulan setiap insan kemanusiaan, yaitu pada perintah-Nya, …… Bangunlah, lalu berilah peringatan ! ….. kemudian selanjutnya, ….. dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah segala yang keji …… maknanya adalah mensucikan atau membersihkan apa yang ada pada dirinya (sebagai anugerah Tuhannya) layaknya pakaian, sehingga pantas dan sesuai antara ucap, tekad, dan lampah-nya sebagai pembawa atau penyampai petunjuk dan peringatan.

Sekalipun amal perbuatan nyatanya bersentuhan kepada orang-orang lain, diri-diri lain, atau makhluk lainnya, tetapi diri-nya telah menyadari dan mengenal sepenuhnya, wujud dari perwujudan siapa diri mereka sesungguhnya. Maka, dengan begitu, akan terjagalah segala amal perbuatan-nya pada kelurusan, selalu sadar (ingat), dan suci dari pengakuan (ego) yang menyesatkan.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

Menyadari kembali bahwa diri-nya sebagai wujud terpuji yang merupakan perwujudan dari Yang Maha Terpuji, dan pelaksana tugas kerasulan sebagai penyampai kebenaran dan rahmat dari Tuhan-nya, juga sebagai yang telah diberi kitab (ahli kitab). Mengucapkan pernyataan syahadat ini dalam setiap shalat-nya, kemudian menyatakan (mewujudkan)-nya dengan melaksanakan tugas-nya dalam setiap amal perbuatannya dengan rasa ikhlas.

Dan tugasnya hanyalah menyampaikan, hasilnya merupakan kehendak dan izin-Nya. Murnikan (sucikan)-lah tugasnya tersebut dari pengakuan (ego) yang dapat mengotori amal perbuatan. Jauhkan dari keinginan dan ambisi yang berlebihan dari yang ditugaskan, karena iblis akan ikut masuk bersama penyesatannya yang menjerumuskan.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

”……… aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)

Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri setiap insan kemanusiaan yang ikhlas dalam setiap gerak amal perbuatan, dia hanya merangsang angan-angan keinginan. Dikuatkannya keinginan jiwa melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati diri yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada jiwa-jiwa yang berpaling dari jalan Allah, yaitu yang didominasi oleh pengakuan (ego). Karena itu setiap diri kemanusiaan diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan diri-nya.

Sedikit mengulas kembali, bahwa penciptaan segala sesuatu dimulai dari cahaya-Nya (nur Allah), kemudian darinya diciptakanlah para aparat-Nya atau para malaikat (nur Cahya). Pada cahaya selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat pembangkang (QS 2:34) menjadi ada, dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya sedangkan iblis dari api.

Cahaya yang berubah menjadi api begitu banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar untuk mendapatkan api, dan bukan benda yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terangnya, tetapi nyala-nya. Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat dengannya, juga cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya membutuhkan benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui keberadaannya. Semua benda ada terlihat karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda.

Keduanya pun dapat bertempat pada diri kemanusiaan, sebagai media benda tersebut, agar fungsinya lebih berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terangnya, sedangkan yang satunya lagi menghasut dengan membakar. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri insan kemanusiaan untuk mencapai tingkat kesempurnannya.

Bila dicermati dan dipahami secara mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir atau berpengaruh, dan semakin kuat mencengkeram jiwa selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya, maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya. Diri yang secara tak sadar terus menjauh dari cahaya Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan diri-nya kepada kesesatan bujuk rayu iblis (kegelapan).

Pada dasarnya diri insan kemanusiaan amat menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang. Tetapi sayang, jiwa-nya tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat menerapkannya kedalam memahami  akan tempat kemana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.

Jangan biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad yang salah, padahal ternyata malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka atau menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri juga. Dan merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.

“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.”  (QS 98:4)

Sekali lagi, pengakuan (ego) sebagai biang kerok rusaknya hubungan antar kemanusiaan. Semakin dibuka pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran, bukannya semakin membuka akal dan kesadarannya, tetapi malah semakin kuat kepada kepentingan ego-nya. Ya, Al Qur’an sendiri selalu mengisahkan para nabi dan rasul Allah datang kepada kaumnya, sebagai pembaharu yang membawa pesan dan peringatan dengan bukti-bukti yang nyata pun selalu ditentang oleh mereka yang telah lama mapan dan merasa akan terganggu kemapanannya.

“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)

Dengan selalu menyadari (ingat) syahadat (persaksian) serta dengan kemurnian (keikhlasan) dalam melaksanakan tugas kerasulan melalui amal perbuatan-nya, setiap diri, maka terhindarlah diri-nya dari penyesatan yang diupayakan iblis. Tentu, karena dengan melakukan tugasnya, selain menyampaikan segala petunjuk Tuhannya kepada sesama, diapun akan menjaga diri-nya dari penjerumusan iblis.

Iblis menyesatkan setiap diri kemanusiaan melalui apa-apa yang dicintainya, anak dan istri, harta benda, kekuasaan, dan lain sebagainya. Bahkan kepada yang mengatas namakan agama dan tuhan, tidak akan segan iblis berupaya menipu diri-diri kemanusiaan agar terjerumus pada kesesatan dan kehinaan, seperti dia telah menghinakan Adam pertama kali.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)

Hamba-hamba yang ikhlas dalam amal perbuatannya dengan berserah diri kepada-Nya adalah wujud kemuliaan Tuhan, karena pada diri mereka-lah iblis menyerah, tak dapat menyesatkan, dan menjadi tunduk seperti wujud asalnya yang merupakan aparat atau malaikat Allah.

Itulah sesungguhnya yang dimaksud dengan, menyatakan kemuliaan Tuhan sehingga menjadi nyata kemuliaan-Nya, yaitu dengan mewujudkan Yang Maha Terpuji kepada diri kemanusiaan-nya yang telah berserah diri secara ikhlas dalam setiap amal perbuatan-nya. Itu pulalah sesungguhnya mengembalikan kepada fitrah diri kemanusiaan-nya seperti persaksian di dalam syahadat-nya.

“……. maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (dari malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui, bahwa rasul-rasul itu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedangkan (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu”. (QS 72:27-28)

Dengan memahami makna syahadat yang mengembalikan kepada fitrah kemanusiaan-nya ini yang juga menyadari diri-nya pun sebagai rasul Allah, dan ternyata masih perlu diawasi dalam menjalankan tugasnya oleh aparat-Nya (malaikat), maka tentu ini akan membuat diri-nya berusaha menjaga dan mensucikan niat serta amal perbuatan-nya yang berguna sebagai peredam gejolak pengakuan (ego) yang amat mendominasi diri (jiwa) setiap insan kemanusiaan, selain karena diawasi dan dicatat segala amal perbuatannya, juga agar tidak terjerumus pada kesesatan, dan akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman, serta akan membuka pintu-pintu pemahaman lainnya sebagai rahmat petunjuk dari-Nya sebagai karunia yang berguna bagi hidup dan kehidupan yang menuju pada keselamatan, yaitu tidak ada rasa takut pada diri-nya dan tidak pula bersedih hati.

 

Bab IX

SHALAT

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.”

(QS 18:14)

Kita sempat mengulas makna shalat pada bab-bab sebelumnya. Secara umum, makna shalat adalah sebagai mengingat Tuhannya dengan melakukan ritual acara pertemuan antara makhluk dengan Tuhannya. Yang hukumnya wajib dilakukan 5 (lima) kali dalam sehari, yaitu pada waktu terbit matahari (subuh), tengah hari (dzuhur), sore (ashar), tenggelam matahari (maghrib), serta malam (isya).

Dan ada pula shalat-shalat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, dan merupakan tambahan, serta sunah hukumnya atau yang tidak diwajibkan, maka waktunya disesuaikan dengan rasa keinginan atau kebutuhannya. Akan tetapi ulasan bab ini hanya menitik beratkan makna shalat, yaitu sebagai yang mengarahkan kemanusiaan kepada amal perbuatan yang terpuji, dan yang mencerminkan atau merefleksikan shalatnya, sehingga terciptalah  jiwa-jiwa dengan akhlak yang mulia lagi terpuji, sebagai fitrah kemanusiaannya yang membawa amanat sebagai wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Allah dan sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“…… Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Akan tetapi, setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.

“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)

Makna mengingat pada ayat ini, adalah mengingat yang tiada putusnya (li dzikri) dengan ikhlas berserah diri. Segala amal perbuatan yang diiringi ingat kepada-Nya, tentu akan mensucikan dari kekotoran pengakuan (ego) dan terhindar dari penyesatan dan kesesatan yang menjerumuskan diri kepada kecelakaan. Ini-lah makna shalat-nya pun tetap mengiringi setiap gerak amal perbuatannya, dalam setiap tarikkan dan helaan nafas-nya.

Bila sempat terputus ingat (li dzikri)-nya, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar  sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim terus berkelanjutan atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap syukur alhamdulillah sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan bila telah terbiasa, maka di dalam tidurnya pun hati atau kalbu-nya akan tetap bergerak mengingat-Nya. Perlu pula diperhatikan kembali, bahwa gerak mengingat tersebut pun janganlah di-aku oleh pengakuan (ego), melainkan adalah mengakui hanya karena diberi anugerah kekuatan oleh-Nya untuk dapat mengingat. Sebab, disinilah dasar awal iblis dalam usahanya membelokkan arah kepada penyesatan yang menjerumuskan setiap diri kemanusiaan.

Dan dengan selalu mengingat Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya. Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

“….. hanyalah untuk (karena) Allah ……”, adalah ungkapan yang menunjuk kepada kemurnian di hati-nya. Pada Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju kepada-Nya. Maka segala sesuatu tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego), agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan. Logikanya, jika telah dapat kembali kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada perlu lagi ada pertanggung jawaban.

Sah shalat-nya bila suci pakaian, tempat, dan badan-nya. Pernyataan ini mengandung dua makna kesucian. Yaitu suci dan bersih dari kekotoran atau kenajisan baik nyata kelihatannya dan bathinnya. Suci nyatanya, yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya sehingga pantas dan layak, sehingga tidak mengganggu kemurnian shalat-nya dari penglihatan, penciuman, pengucapan, rasa dan pikiran kepada pihak lain dan diri-nya sendiri. Begitupun pada suci bathinnya, yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya dari pengakuan (ego) yang merasa memiliki dan menguasai baik pakaian, tempat, dan badan (tubuh)-nya. Dan bila sebelum shalat-nya diwajibkan bersih (suci), maka setelah shalat-nya pun diwajibkan bersih (suci) amal perbuatan-nya.

Shalat juga adalah salah satu sarana mencapai kemurnian dalam berserah diri. Shalat seharusnya dapat menjaga-nya tetap mengingat Tuhannya sebagai bentuk kedisiplinan yang dapat mempengaruhi pola hidup-nya agar lurus sesuai shalat-nya. Dan bukanlah sebagai orang yang melakukan shalat, tetapi malah lalai terhadap shalat-nya (QS 107:1-7).

Di dalam kehidupan, terkadang ditemui kejadian-kejadian yang dapat menjadi pelajaran sebagai hikmah dari Tuhan. Sekedar cerita, ketika seorang bapak sedang melakukan shalat maghrib berjamaah bersama seluruh keluarganya, terdengar diluar, pagarnya yang terkunci diketuk-ketuk orang. Dia tetap pada shalat-nya hingga selesai, dan suara di luar sudah tak terdengar lagi. Beberapa hari kemudian, di waktu dan keadaan yang sama, dalam shalat-nya, terdengar keras sekali diluar rumahnya, “kebakaran…kebakaran…kebakaran…!!”. Maka dia-pun segera menghentikan shalat-nya, dengan diikuti seluruh keluarganya, diapun bergegas keluar. Ternyata tetangga di seberang rumahnya mengalami kebakaran, untungnya api masih kecil dan banyak orang membantu, tidak ketinggalan dia bersama keluarganya ikut membantu. Sampai api tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan merekapun kembali pulang ke rumahnya. Sambil menutup pintu, ketika semua keluarganya telah masuk, dia bergumam, “haram hukumnya, bila kita tadi tidak segera menghentikan shalat kita, untuk membantu memadamkan api”.

Besoknya, dia mengetahui ada tetangganya yang meninggal dunia. Ketika dia datang melayat, dan mendengar dari pelayat lainnya, bahwa istri dari yang meninggal dunia tersebut, sempat mengetuk-ngetuk pintu pagar rumah-nya untuk meminta pertolongan dengan kendaraan miliknya agar dapat membawa ke rumah sakit, sebelum meninggal. Maka lemaslah seluruh tubuhnya, karena rasa bersalah menyelimuti-nya.

……… Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Dia merasa telah lalai dari bunyi ketukan yang dianggap sebagai suatu hal yang sepele, ternyata adalah hal yang sangat penting bagi tetangganya tersebut. Yang dia sesali adalah kepekaan yang tidak segera disambut dengan gerak reaksi dari-nya. Penyesalannya tersebut pun telah membuka dada-nya semakin lebar untuk menerima hikmah sebagai petunjuk dari Tuhannya. Insya Allah, penyesalan-nya akan diterima Allah dan kembali kepada diri-nya dalam bentuk ampunan dari-Nya.

“…… dan dirikanlah shalalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)

Begitu pentingnya memahami makna shalat dan dzikir (mengingat Allah), sehingga menghindarkan diri kita termasuk golongan celaka sekalipun tidak pernah lepas dari ibadah shalatnya. Golongan yang celaka adalah mereka yang tetap melakukan shalat sebagai ibadah kepada Tuhannya, tetapi tetap pada perilaku atau amal perbuatan yang mengingkari Allah. Shalat untuk mengingat, bukan hanya sekedar kewajiban apalagi mengingkari atau melupakan, mengingat agar dirinya selalu tetap berada pada jalan lurus-Nya.

“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan……”  (QS 4:43)

Ayat di atas menjelaskan, bahwa diri kita dilarang melaksanakan shalat bila dalam keadaan mabuk. Maka pikirkan dan renungkanlah, bagaimana kepada diri-diri yang sedang mengalami mabuk kehidupan dunia? Apakah itu mereka yang sedang dimabuk cinta-asmara, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dan lain sebagainya.

Apakah hal tersebut menjadi berhubungan maknanya, bila kemudian kita pahami pula pada penjelasan ayat berikut di bawah ini,

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)

Allah mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang merugikan, menyakiti atau mendzalimi orang lain, atau sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi, bahkan merugikan dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.”  (QS 17:36)

Bukan hanya sekedar menyadari, mendengar, melihat, mengucap, serta mencium yang semua itu adalah anugerah pemberian Tuhannya, melainkan pula dengan kepekaan-nya untuk menanggapi atau bereaksi yang sesuai dengan shalat (ingat)-nya agar tidak timbul penyesalan di hari kemudian, sebagai kelalaian-nya.

Jadi makna lalai yang dimaksud Allah adalah menjadi tidak bermanfaatnya shalat (sebagai ibadah ritual kepada-Nya) bagi kehidupan, akibat kebodohannya. Ya, orang yang tidak ingat adalah orang yang kehilangan kepekaan keasadarannya, layaknya orang yang linglung dan bodoh. Apalagi yang tidak mau menggunakan akal pikirannya dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya.

“Dan ingatlah Tuhan-mu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS 107:1-7)

Mengingat Tuhan yang tiada putus, sebagai wujud yang penuh dengan Keagungan dan Kemuliaan serta mewujud di alam kepada setiap diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji. Maka, dengan selalu menyadari dan mengingat-Nya adalah “hal utama yang dapat membuat hati menjadi hidup oleh hidayah (petunjuk)-Nya, sehat oleh karena selalu mensucikan-nya dari pegakuan (ego)-nya, dan peka terhadap kehidupan karena merasa rendah hati dan takut akan mengalami penyesalan akibat tersesat oleh ego-nya sendiri, sebagai kelalaian-nya.

“……. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)

 

Bab X

PUASA

“…. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

 (QS 2:184)

Puasa memiliki makna serta manfaat yang beragam,  diantaranya dari beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, aspek kejiwaan, dan aspek kehidupan sosial sampai pada kehidupan ekonomi. Bagi kesehatan, puasa adalah menahan lapar dan haus, untuk pembersihan pada sisa-sisa makanan di dalam pencernaan, untuk pembakaran lemak berlebih, juga sebagai waktu istirahat beberapa organ tubuh.

Pada aspek kejiwaan, puasa melatih kedisiplinan, kesabaran, menekan hawa keinginan, dan lain-lainnya yang merupakan pengelolaan hati atau jiwa kedalam ketenangan dan ketentraman. Sedangkan pada aspek kehidupan sosial, puasa dapat menumbuh-timbulkan rasa peka atau kepedulian terhadap sesama dan rasa kebersamaan. Selain itu, dari semua aspek diatas yang dapat disimpulkan, memiliki makna kearah penekanan atau pengurangan dari kebiasaan sebelum-belumnya, maka secara ekonomi seharusnya, puasa adalah wujud penghematan. Apalagi bila pada waktu bulan Ramadhan, sebagai kewajiban satu bulan penuh, maka seharusnya dampaknya akan lebih terasa bagi tubuh dan jiwa.

Namun pada kenyataannya malah terbalik, justru pada bulan Ramadhan-lah, semua harga kebutuhan melonjak naik, orang sibuk mencari kerja tambahan untuk mendapatkan penghasilan lebih, dan aksi kriminalitas pun ikut meningkat. Apakah ini yang dimaksud Nabi Muhammad rasulullaah SAW dengan, “(pada saatnya nanti) puasa hanya meninggalkan haus dan lapar”? Energi-nya menjadi hilang dengan percuma tanpa menghasilkan makna apa-apa, dan jangankan pahala dari Tuhannya, malah akan menjadi beban yang tetap harus dipertanggung jawabkan, kelak.

Ibarat petani yang menanam di ladang atau kebunnya, tetapi tak ada tanamannya yang menghasilkan buah. Kemanakah kemudian tanaman itu dimanfaatkan? Tentu, digunakan sebagai kayu bakar, yang sebagai bahan bakar memasak bagi keluarganya, paling tidak masih ada manfaat dari-nya. Perhatikan ayat berikut untuk direnungkan maknanya.

“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka jahanam”. (QS 72:15)

Padahal, puasa di bulan Ramadhan yang dimaksudkan Allah, sesunggguhnya adalah sebagai sarana pelatihan dan penggemblengan pembentukan disiplin jiwa-jiwa yang kuat, serta baik bagi kesehatan tubuh atau jasad. Sehingga terbentuklah insan kemanusiaan yang kuat siap tubuh, mental dan jiwa-nya, serta terpuji dan mulia akhlak-nya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Bagaimana mungkin dapat terwujud sesuai dengan kehendak-Nya, bila dalam latihannya saja, suasananya bukan lagi pada penekanan, pengurangan, dan penghematan. Malah sebaliknya, kebutuhan pokok malah meningkat tajam, menyebabkan meningkatnya kebutuhan lainnya yang secara ilmu ekonomi adalah disebut sebagai pemborosan yang menyebabkan masalah-masalah sosial baru yang dapat juga dipolitisir secara tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan seperti ini, dimana waktunya telah tertentu disetiap bulan Ramadhan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”  (QS 2:183)

Maka suasana seperti ini tidak lagi mendukung pembentukan jiwa-jiwa seperti yang dikehendaki Allah. Tabungan hasil kerja payah selama sebelas bulan ternyata habis untuk satu bulan di bulan Ramadhan. Belum lagi, energi yang dikeluarkan untuk pulang mudik. Sebenarnya bukan kepada sekedar hilangnya seluruh energi atau tabungan tersebut yang menjadi keprihatinan, akan tetapi juga, kepada makna kehidupan dan keberserahan diri-nya kepada yang seharusnya pun menjadi terbelokkan, ternyata hanya sebatas ‘wah’-nya suasana di bulan puasa dan suasana saat mudik. Kembali kepada fitrah lebih diartikan dengan mudik dengan atribut yang ‘wah’, sebagai lambang kesuksesan diri-nya. Kembali, pengakuan (ego)-nya yang menjadi momok atau biang kerok terjerumusnya insan kemanusiaan kepada kesesatan.

Budaya-nya yang ternyata selaras dengan pengakuan (ego)-nya telah ikut membentuk dan mempengaruhi jiwa-nya secara lebih dominan ikut membelokkan arah jalan lurus yang telah ditetapkan, melunturkan ingatan kepada-Nya, serta mengotori kesucian niat dan amal perbuatan, sehingga keikhlasan hanya sebatas pengakuan (ego) diri dan keluarga-nya saja. Riya, atas nama tuntutan budaya mudik, dan ini adalah hal yang dapat melunturkan nilai-nilai religius puasa Ramadhan itu sendiri.

“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)

Hal ini semakin berbahaya, karena jelas mempengaruhi kepada pola hidup kehidupan sebelas bulan berikutnya setelah Hari Raya. Tentu, bila tidak segera mengokohkan keimanan pada Tuhannya sebagai arah tujuan keikhlasan termasuk pada puasa-nya, pada malaikat atau aparat-Nya yang sebagai penggerak dan pencatat niat serta amal perbuatan, pada kerasulan-nya sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk-Nya dan sebagai teladan, pada kitab-Nya sebagai yang telah diwariskan dan harus dinyatakan atau diamalkan, pada hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai hari diri-nya menuai apa yang ditanam sebelumnya, serta pada kadar baik dan buruk-nya sebagai sesuatu yang pasti akan diterima-nya. Yang kesemuanya tersebut merupakan sebagai yang membawa jiwa-nya kepada keselamatan hidup yang sehat, tenang, tentram dan damai.

Lihat dan rasakan sendiri kehidupan yang terjadi sekarang ini, serba menjadi mahal dan tidak sehat. Dan hal ini disebabkan pola melatih diri atau jiwa yang salah melalui puasa yang seharusnya dapat mengekang hawa nafsu keinginan jiwa yang berlebihan. Akibatnya pun meluas kepada aspek-aspek kehidupan lainnya, karena jiwa yang tak mudah lagi dikendalikan, bahkan kepada pelemahan keimanan, dan semakin membuat jauh kedalam kesesatan.

Memang kehidupan di bulan Ramadhan menjadi lebih semarak, akan tetapi orientasinya hanyalah materi, dan pandangan kepada akhiratnya menjadi tertutup karena terbawa tuntutan. Banyak mereka yang rela berbuat apapun tanpa batas, hanya demi materi menghadapi bulan puasa dan lebarannya. Norma-norma agama yang mengarahkan jalan lurus pun dilanggarnya, tidak lagi ingat kepada Tuhannya, dan lebih berani mengotori jiwanya ketimbang mensucikannya. Dan hilanglah keberserahan diri (islam)-nya sebagai makhluk kepada Tuhan yang sesungguhnya menguasai hidup dan kehidupan, Allaahu Rabbul ‘Aalamiiyn. Semua hanya karena tuntutan kebutuhan yang telah membudaya di negri ini. Maka janganlah heran bila KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) banyak menjerat para pejabat negri ini. Bayangkan jika KPK pun menangani kasus-kasus korupsi yang kecil-kecil, bukan tak mungkin sebagian warganegara negri ini akan terjerat. Itupun bila penjaranya cukup.

Jika Puasa saja, sebagai yang seharusnya melatih jiwa agar dapat mengekang hawa nafsu diri-diri kemanusiaan, tetapi malah berbelok arah tujuannya, maka dengan apa lagi untuk memperbaiki keadaan ini? Apapun kesulitannya, tetaplah keadaan ini harus segera diperbaiki, terutama menggugah kesadaran setiap diri kemanusiaan untuk mengembalikan Puasa Ramadhan kepada makna dan tujuan utamanya sebagai pelatihan jiwa-jiwa dalam pengekangan hawa nafsunya. Tidak lain pula pengkokohan keimanan kembali, dan selalu menjaga kesadaran dengan ingat kepada Tuhannya adalah sebagai dasar pijakan melangkah untuk dapat memperbaiki keadaan ini.

Akan jauh lebih penting memperbaiki keadaan dibanding menjerat atau menghukum, karena dengan memperbaiki keadaan adalah menciptakan kondisi yang sehat dalam jangka panjang kehidupan bersama. Paling tidak, beberapa generasi akan terbaiki. Dan adalah diri-diri kita sebagai yang memiliki andil dan tanggung jawab memikul tugas tersebut, demi kehidupan sehat anak cucu kita sebagai pelaku generasi mendatang.

Sungguh, jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi-generasi selanjutnya, yang akan semakin mengikis makna melatih pengekangan hawa nafsu melalui ibadah puasa. Apa yang terjadi selanjutnya adalah, kita malah menurunkan generasi yang bermental lembek dan tidak tahan banting, yang terus hanyut menuruti hawa nafsunya. Maka kehancuran umat-lah yang akan terjadi di masa kemudian. Masa kemudian adalah masa-masa bagi anak cucu keturunan kita sendiri. Maka adalah menjadi tanggung jawab diri-diri kita sebagai penentu hari esok.

“Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang bila ditimpa musibah mengucapkan: segala sesuatu datangnya dari Allah dan kembali pula kepada-Nya. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”  (QS 2:155-157)

Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah akan memberi cobaan diantaranya ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta. Maka bagaimana diri-diri kita dapat melaluinya, bila sekarang saja dudah tidak ada kepedulian pada masalah-masalah tersebut yang seharusnya telah dapat dibendung melalui latihan puasa.

Dan sadarilah, lihatlah bagaimana ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta malah telah jadi sebagai yang mencengkeram masyarakat kita. Seperti yang telah kita lihat dan ketahui, pada momen-momen tertentu, pembagian sedekah atau zakat yang dihadiri dan dikerubuti orang yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, tanpa koordinasi yang baik, sehingga menimbulkan kecelakaan, ada yang terinjak-injak, terhimpit, dan pingsan demi uang yang tak seberapa, bahkan mungkin akan habis dalam sehari itu juga, tapi lihatlah perjuangan mereka.

Kemudian pada setiap masa-masa pemilihan pemimpin daerah atau Pemilu, tidak jarang yang memakai politik uang kepada masyarakatnya. Dan mereka, sebagai objeknya, berani mempertaruhkan lima tahun kehidupannya kedepan, hanya demi uang yang tak seberapa, dan akan habis dibelanjakan dalam satu hari itu juga. Tidak lagi berpikir pada memperbaiki kehidupan jangka panjang.

“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)

Mereka sebagai objek, dan para pemberi zakat atau calon pemimpin yang membagi-bagikan uang adalah sama-sama yang memprihatinkan. Kedua hal yang menyayat hati tersebut di atas, merupakan indikasi betapa negri ini tengah mengalami krisis moralitas, tidak lagi perduli kehidupan masa depan, hanyalah demi kepentingan sesaat. Bukan lagi merupakan kehidupan yang sehat, dan sangatlah jauh dari nilai-nilai fitrah kemanusiaan seperti yang dikehendaki Allah SWT. Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung bila kita segera mengambil sikap? Seakan tidak ingat lagi kepada amanat yang diembannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, dan sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang merupakan rahmat bagi semesta alam.

“….. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keaadaan yang ada pada diri mereka sendiri,….”  (QS 13:11)

Bila juga tidak segera kembali kepada agama, secara murni atau ikhlas menerima dan menjalankan segala niat dan amal perbuatan secara lurus sesuai fitrah yang telah ditetapkan-Nya, secara murni atau ikhlas selalu dalam kesadaran atau mengingat kepada-Nya yang tiada putus, serta secara murni atau ikhlas menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)-nya dalam setiap niat dan amal perbuatan hanya karena dan akan kembali kepada-Nya.

Sekali lagi, seharusnya, puasa adalah sebagai sarana pelatihan dan penggemblengan kepada pengendalian serta pembentukan kedisiplinan jiwa agar dapat mencapai kesadaran penuh pada keutamaan kemurnian atau keikhlasan berserah diri dalam shalat-nya, ibadah-nya, hidup-nya, dan mati-nya adalah karena dan untuk Allah semata. Sebagai perwujudan di alam dari Dia Yang Maha Terpuji dan Mulia melalui insan kemanusiaan yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama sesuai fitrah-nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

 

Bab XI

ZAKAT

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

(QS 3:92)

Ada sebuah cerita yang membuat tercengang, ketika seorang tamu bertanya, “bagaimana keadaanmu?”.  Sang tuan rumahpun menjawab, “al-hamdulillah, jika aku memperoleh rezeki maka aku makan, dan jika tidak, aku bersabar”. Maka si tamu-pun kembali menyambung dengan berkomentar, “begitulah anjing-anjing yang ada di kampung kami. Tetapi lain halnya dengan orang-orang di sana, jika memperoleh rezeki dari Tuhannya dibagikannya kepada yang butuh, dan bila tidak memperoleh rezeki, mereka bersyukur”.

Zakat adalah pensucian, maknanya akan jadi berbeda bila diartikan sebagai penyucian atau pencucian. Pensucian lebih kepada pembersihan bathin, yang tak kelihatan, yaitu jiwa-nya. Sedangkan penyucian atau pencucian jelas nyata kelihatan dan lebih menunjuk kepada adanya kekotoran terlebih dahulu, barulah kemudian dibersihkan. Pembersihannya pun lebih condong kepada materi. Bukanlah harta yang sesungguhnya dibersihkan atau disucikan dalam berzakat, melainkan jiwa-nya. Ya, jiwa-lah yang sesungguhnya menerima anugerah harta-benda, bagaimanapun cara-cara dalam mendapatkannya. Hanya saja yang dikeluarkannya atau dalam menunaikannya haruslah dengan kelebihan harta atau materi yang dimilikinya sebagai bentuk kepeduliannya kepada yang lemah dan berkekurangan.

“…..sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Makna pensucian lebih kepada bathin, adalah memurnikan secara ikhlas (bathin) segala niat yang merupakan anugerah yang diberikan Allah, sebelum dikeluarkan dalam bentuk gerak amal perbuatan yang juga merupakan anugerah-Nya, dari kekotoran hawa nafsu pengakuan (ego) sebagai penyebab utama segala bentuk penyesatan dari jalan lurus-Nya. Jadi suci-nya niat dan amal perbuatan yang sedari awal, jelas ini adalah tindakan menghindari penyakit. Bukan setelahnya, barulah kemudian disucikan akibat adanya kekotoran.

Sedangkan makna penyucian atau pencucian, lebih kepada ada terlebih dahulu kekotoran atau kecacatan yang melekat pada niat dan amal perbuatan, maka barulah dibersihkan. Dan ini adalah tindakan mengobati penyakit. Itulah perbedaannya. Disini, dosa telah ada, maka merasa perlu untuk disucikan.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)

Segala sesuatu, amal perbuatan baik atau buruk, sekecil atau seringan apapun, memiliki akibat (ganjaran). Dan itu adalah ketetapan-Nya sebagai yang mutlak dari Yang Maha Adil. Selain itupun, Dia adalah Maha Bijaksana, maka Dia-pun mengingatkan dengan petunjuk-petunjuk, kitab, dan nasehat-nasehat, bahkan dengan kesulitan atau kesempitan, yaitu, berhentilah memperbanyak hutang dosa dan mulailah dengan sebanyak-banyaknya menabung kebaikan (pahala).

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)

Kebanyakan kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut. Disucikan karena ada kekotoran, ada yang dengan membayar-nya dengan uang (zakat, sedekah dan infak), fidiyah (memberi makan orang miskin), ataupun puasa.

Bila diri telah melaksanakan perintah-Nya, dan menjalankan agama dengan ikhlas (QS 98:5), serta tidak pula dikotori oleh perbuatan yang mendustakan agama (QS 107:1-7), maka tidak ada lagi tindakan membersihkan (penyucian atau pencucian), melainkan karena diri-nya telah selalu mensucikan atau menghindari kekotoran dengan cara berlaku lurus, mengingat-Nya yang tiada putus, mensucikan segala anugerah-Nya, serta pada perbuatan seperti mengayomi anak yatim, mendorong memberi makan orang miskin, hilangnya pengakuan (ego), dan mudah dalam memberikan bantuan kepada sesama, serta banyak amal perbuatan baik lainnya yang berupa kebajikan yang dapat dilakukan secara murni dan ikhlas. Menunaikan zakat-nya tidak lagi karena terlambat, tetapi karena kepekaan kesadaran-nya telah semakin tajam terhadap sekitarnya.

“Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan, dan tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetepi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan niscaya dia akan mendapat kesenangan sejati”. (QS 92:18-21)

Kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan sampai kepada kematian, maka beruntunglah mereka yang mensucikan jiwa-nya, dan merugilah mereka yang mengotori jiwa-nya (QS 91:7-10).

Dan kematian pun, sebagai akhir hidup, terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci) jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak  agar dapat kembali pulang kepada yang Maha Tunggal.

“….. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS 9:34)

Diri-diri yang masih kuat melekat pengakuan (ego)-nya, yang gemar mengumpulkan harta-benda, dan yang mengikuti hawa nafsu ego-nya dengan menumpuk harta benda karena takut akan kekurangan, kelaparan, dan kesulitan pada hidupnya dikemudian hari. Mereka adalah seperti seorang yang mengalami obesitas (kegemukan), tubuhnya dipenuhi lemak (cadangan sumber makanan) yang justru membahayakan hidup-nya, menghalangi kelancaran aliran darah dan sirkulasi pernafasannya, yang malah merupakan sebagai penyebab banyak penyakit yang siap menggerogoti tubuh-nya. Sebagai yang akan menyulitkan diri-nya sendiri. Juga tak enak dipandang oleh pihak lain atau sedikit mengganggu.

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)

Bukan mereka tak menyadari, akan tetapi pengakuan (ego)-nya telah kuat mendominasi dan mengalahkan pemahaman akal di hatinya, bahkan petunjuk-petunjuk dari Tuhannya yang merupakan suatu kebenaran yang mutlak sebagai kebenaran sejati. Harta bendanya sungguh akan menjadi sumber penyakit yang mengundang bermacam-macam keburukan. Selain membuat silau pandangan pihak lain, melainkan pula banyak timbulnya pengaruh buruk pada kejiwaan-nya sendiri dan keluarga.

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 17:72)

Rasa takut dan keresahan akan kehilangan jelas pasti meliputi dan menghantui-nya. Keserakahan atau tamak, kesombongan dan riya pun akan mengiringi. Belum lagi, salah dalam pengelolaan, menggunakan dan memanfaatkannya kepada jalan yang sesat dan semakin menyesatkan jiwa-nya. Pola hidup diri dan keluarganya akan banyak berubah dan semakin terjerumus lebih dalam tanpa disadarinya. Dan hanya kepada-Nya sesungguhnya arah tujuan tempat-nya kembali.

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”  (QS 99:7-8)

Segala sesuatu, sekecil apapun akan terbalas sebagai ketetapan (sunathullah) dari Tuhannya yang adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana  pembersihan atau penyucian  jiwa.

Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang ternyata hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.

…… dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun yang merasa aman”. (QS 70:24-28)

Harta-benda, yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.

Makna zakat takkan berarti apa-apa, dan takkan menyentuh hati, bila di dalam bathinnya tiada kepekaan kesadaran hatinya, bahwa segala sesuatu selalu berhubungan dan memiliki sebab akibat, sekecil apapun segala sesuatu tersebut. Baik itu amal perbuatannya, apa-apa yang ditahan hatinya, dan sekalipun baru berupa niat. Karena ketiganya tersebut pun memancarkan energi, atau telah mengeluarkan energi-nya, dan itulah yang diketahui oleh-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui.

Kepekaan kesadaran jiwanya terhadap sekitarnya, dan pengaruh diri-nya terhadap kehidupan sekitarnya pun sebagai ikut berperan dalam kehidupan bersama yang menciptakan saling berbagi merasakan rahmat Tuhan bersama dengan sesamanya. Besar kecilnya apa-apa yang dikeluarkannya sebagai wujud syukurnya adalah sebanding dengan apa-apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Serta apa-apa yang dimilikinya sebagai anugerah Tuhannya tersebut adalah juga sebagiannya merupakan hak para fakir-miskin, anak-anak yatim, mereka yang lemah dan dalam kesulitan.

Yang dituju dari zakat ini adalah kebersihan diri atau jiwa dengan kepekaan kesadaran-nya untuk selalu berbagi rahmat Tuhannya kepada sesamanya, terutama memberikan bantuan kepada yang berkekurangan, yang membutuhkan, dan yang lemah tak berdaya. Menafkahkan sebagian rezeki yang dimiliki sesuai jalan lurus-Nya, tidak akan mengurangi atau menghilangkan apa-apa yang dimilikinya tersebut. Tidak ada kerugian pada jalan lurus-Nya tersebut. Ibarat memberikan uangnya kepada Bank untuk ditabung, uangnya memang tidak dipegangnya lagi akan tetapi kepemilikannya akan tercatat, dan bila suatu waktu diperlukan akan kembali kepadanya.

Dan yang perlu di-garisbawahi zakat, infak dan sedekah, adalah termasuk dalam menafkahkan sebagian rezeki yang diterima dari Tuhannya. Pengertian atau makna menafkahkan adalah menginvestasikan, dan investasi dengan Allah dijamin takkan merugi, bahkan keuntungan yang akan didapatnya berlipat ganda, sampai 700 kali lipat. Tentu dengan rasa ikhlas dalam menginvestasikan-nya hanya di jalan-Nya yang lurus. Bank manakah yang berani memberikan bunga sampai 700 kali lipat nilai investasi?

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:261)

Keuntungan berlipat ganda tersebut barulah dalam bentuk materi, Allah pun memberikan keuntungan lainnya yang dalam bentuk rasa bathin yang pasti tidak kalah luar biasanya. Maka diri-diri kita sendirilah yang dapat melukiskan rasa-nya tersebut. Itulah surga dunia-nya. Bila jalan lurus-Nya ini telah memasyarakat, bayangkanlah. Akan tercipta kehidupan bersama yang sehat dan murah, itulah wujud berserah diri (islam) yang rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tetapi hal ini akan terasa nyata kebenaran manfaat-nya oleh mereka yang telah kokoh keimanan-nya.

Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surga-nya dalam kehidupan di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dikurangi atau dilebihkan sedikitpun apa-apa yang harus diterima sebagai buah dari amal perbuatan sebelumnya dari setiap diri, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.

“…..sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)

Sebaliknya, bagi yang telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, suci dari segala macam pengakuan (ego), dan tetap menjaga kesadaran (ingat)-nya pada diri yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat dan rasul-Nya, petunjuk melalui kitab-Nya, menyadari hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai waktu menuai segala amal perbuatan sebelumnya, serta baik dan buruk sebagai yang harus dapat diterimanya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Diri-nya merasa hanya menjalankankan apa adanya, sesuai dengan perintah dari dalam kalbu-nya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.

“…. Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS 2:112)

 

Bab XII

HAJJI

(bila mampu)

“Dan serulah setiap diri kemanusiaan untuk mengerjakan hajji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh,”

 (QS 22:27)

Ibadah hajji adalah merupakan tahap puncaknya pelatihan dalam mencapai keberserah dirian (islam). Ini disebut sebagai puncaknya pelatihan, sebab, selain sebagai rukun berserah diri (islam) yang terakhir, juga, ibadah hajji ini ditutup dengan ber-qurban sebagai lambang kemurnian (keikhlasan) berserah diri atau islam.

Sekarang ini, untuk melakukan ibadah hajji semakin terasa berat dan sulit. Tidak semudah sebelumnya, tidak dibatasi kuota bagi masing-masing negara. Di negara kita, harus mengantri (indent), menunggu giliran hingga tiga tahun lamanya. Bila yang punya duit saja masih diberi kesulitan, apalagi yang belum punya biaya tetapi berharap bisa melaksanakannya di suatu waktu. Allah Maha Tahu, hanya Dia-lah yang akan memudahkan bila tiba waktunya untuk dapat mampu melaksanakan ibadah hajji, sebagai panggilan dari-Nya.

Kemampuan-nya adalah karena diberi kemampuan yang diberikan Allah, juga adalah anugerah yang tetap perlu dipertanggung jawabkan, kelak. Kehendak serta ketetapan-Nya (sunathullah) meliputi segala sesuatu, termasuk anugerah dan karunia-Nya kepada setiap diri. Dan pada ibadah ini, yang bermakna luas sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim. Menyadari alam yang penuh keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.

Pembelajaran agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari susunan keseluruhan alam semesta yang ada dalam sistem ketetapan ciptaan-Nya, atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari atom, sebagai materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah pada yang Maha Tunggal.

“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ………..” (QS 22:18)

Ibadah hajji, di dalamnya banyak mengandung keutamaan atau makna dari kisah-kisah Ibrahim dan keluarganya, yang sesungguhnya adalah sebagai sarana pelatihan dan pengajaran yang berguna bagi kehidupan keseharian kemanusiaan sebagai wujud keberserah dirian (islam)-nya. Insya Allah, makna-makna tersebut dapat dipahami dan menjadikan ibadah-nya diterima-Nya sebagai Hajji Mabrur, dan dapat membawa-nya terus di kehidupan kepada amal perbuatan-nya yang mabrur pula. Dan bagi mereka yang belum dapat melaksanakan panggilan-Nya ini, namun akan mendapatkan makna-makna yang amat berguna bagi kehidupannya dan merupakan maksud inti dari penyelenggaraan ibadah hajji ini. Keutamaan tersebut mengandung makna-makna, diantaranya adalah,

Makna Diri yang Polos (Suci)

Pakaian Ihram yang dikenakan ketika beribadah hajji, adalah lambang kepolosan atau kesucian bagi setiap insan kemanusiaan, sebagai kehendak Allah agar setiap diri menyadari fitrah sesungguhnya yang ada pada diri-nya.

Pada masa pra (sebelum) kenabian Muhammad SAW, malah dilakukan dengan telanjang bulat, tanpa sehelai pakaian pun. Hal ini, mungkin merupakan persepsi yang berlebihan dalam memahami petunjuk agama-nya. Dan setelah kenabian-nya, beliau pun merubah cara ritual peribadatan lama yang menyesatkan, seperti itu, tanpa menghilangkan makna-makna yang dikehendaki Allah kepada setiap diri kemanusiaan.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

Menyadari fitrah dirinya yang merupakan wadah kosong yang telah disempurnakan kejadian-nya, kemudian barulah diisi (ditiupkan) ruh Allah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah (QS 38:71-72), yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk dapat mengenal diri-nya, maka kenalilah Tuhan-nya. Dan untuk dapat mengenal Tuhan-nya, maka kenalilah diri-nya. Setelah mengenal keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.

“…… Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)

Sempurnanya kejadian wadah kosong (jasad) insan kemanusiaan, adalah sempurna terbentuknya organ-organ tubuh-nya sebagai pendukung kehidupan sehingga layak menerima hidup dari-Nya. Jadi jelaslah, bahwa hidup diri kemanusiaan adalah karena ruh-Nya, yang pada suatu waktu nanti, yang telah ditetapkan-Nya, akan kembali lagi kepada Dia yang memiliki, begitu pun jiwa yang telah dapat selalu bersama-Nya (manunggal), akan ikut bersama ruh-Nya kembali pulang. Akan tetapi pada jiwa yang tersesat dan terlena pada kehidupan dunia, maka akan tertinggal di alam dunia, sebagai jiwa tanpa jasad yang masih penasaran pada keduniaan-nya, menggapai tidaklah bisa, dan kembali pulang pun tidak bisa. Terjebak pada kesesatan-nya sendiri.

Diri, juga merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan, kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah titipan yang pada saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego) menjadi dominan berlebihan hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.

Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.

Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku-ngaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.

Kebanyakan diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa (hawa nafs)-nya, sehingga mau berbuat untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya. Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa tidak ikhlas-nya tersebut pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa. Tiada spirit (ruh) dalam mengerjakannya. Maka akibat-akibat buruk lainnya akan siap-siap mendatanginya, menyusul kemudian.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

Ketiadaan diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.

Bila dirinya lebih memaksakan kehendak hawa nafsunya atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Hilangnya pengakuan (ego), adalah dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.

Makna Tauhid (Yang Maha Tunggal)

Ka’bah adalah perlambangan sebagai pusat atau sumber segala sesuatu mengarah untuk kembali pulang. Karena, Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai awal segala sesuatu bersumber, dan arah tujuan segala sesuatu kembali pulang.

Dia-lah Allah yang Maha Tunggal, Allah tempat meminta (bergantung) segala sesuatu, tidak ber-anak dan tidak diper-anak-kan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.

Ibadah Hajji ini, pada saat mengelilingi Ka’bah (tawaf), adalah pembelajaran agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari struktur makro semesta alam yang ada dalam sistem siklus ciptaan-Nya (sunathullah), atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari mulai atom, sebagai salah satu materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah kepada yang Maha Tunggal.

“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ……..” (QS 21:30)

Semesta alam ini, yaitu langit dan bumi, diciptakan-Nya dari sesuatu yang padu (satu wujud), kemudian Dia pisahkan menjadi dua wujud (langit dan bumi). Dalam bahasa ilmiah uraiannya menjadi, dari cahaya-Nya (sebagai sesuatu yang padu), dengan partikel-partikelnya yang ber-massa berat dan ber-massa ringan sebagai penyusun struktur cahaya, Allah memisahkan keduanya melalui ketetapan hukum-Nya, yang bermassa lebih berat berkumpul menyatu kemudian membentuk bumi. Sedangkan yang bermassa jauh lebih ringan memisahkan diri semakin menjauhi massa yang lebih berat (melawan gaya grafitasi karena terdesak keluar oleh yang lebih berat) dan kemudian membentuk langit. Proses ini seperti proses terbentuknya lapisan atmosfir, yang berlapis-lapis sesuai berat massa-nya.

Allah menyebut diri-Nya sebagai Kami pada penjelasan ayat di atas, yang bermakna Dia menugaskan pekerjaan ini kepada para aparat (malaikat)-Nya. Keyakinan (iman) adanya malaikat telah diuraikan panjang lebar pada bab keimanan, sebelumnya, dan akan lebih sedikit detail lagi diulas pada bagian ke 4 Lahir & Bathin di belakang. Termasuk pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan Allah kepada mereka sebagai tugas yang diembannya bagi keberlangsungan secara keseluruhan sistem kerja semesta alam.

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)

Malaikat, secara ilmiah, adalah merupakan energi (energi cahaya), yang bersumber dari cahaya-Nya (nur Allah), yang meliputi dan menggerakkan  segala sesuatu di alam raya ini yang hanya atas perintah dan kehendak-Nya. Itulah, sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ‘Kami’ pada setiap firman-Nya. Dan melimpahnya cahaya yang menuju bumi, baik siang dan malam, membuktikan begitu banyaknya pekerjaan malaikat bagi memudahkan kehidupan kemanusiaan di bumi, sesuai dengan perintah Allah agar mereka tunduk sujud kepada kepentingan kemanusiaan (QS 2:34). Akan tetapi, perlu diingat, segala sesuatu Allah ciptakan bersama pasangannya, bahwa ada pula yang sebagai pembangkang yang menolak tunduk sujud, yaitu sebagai yang disebut iblis, yang justru timbul dari kuatnya hawa nafsu kemanusiaan itu sendiri, yang malah menyesatkan dirinya  pada kecelakaan.

Jadi berdasarkan ayat QS 21:30, dengan cahaya-Nya (nur Allah), Dia menciptakan malaikat sebagai aparat-Nya, disebut pula nur Cahya. Kemudian Dia perintahkan aparat-Nya untuk bekerja memisahkan dan membentuk bumi dan langit beserta isinya, yaitu semesta alam yang penuh berisi partikel struktur cahaya-Nya, sebagai sumber penciptaan atau pembentukan segala sesuatu isi semesta alam melalui ketetapan-Nya (sunathullah). Istilah ilmiahnya adalah proses gravitasi semesta, yaitu gerak berkumpul atau gaya tarik menarik antar partikel-partikel cahaya ke masing-masing pusat kawasan yang tersebar, disinilah proses persenyawaan antar partikel membentuk senyawa-senyawa kompleks. Maka terbentuklah bintang-bintang di dalam banyak kawasan yang disebut galaksi. Seluruh benda langit ini berasal dari partikel-partikel cahaya-Nya (nur Allah). Hingga pada pembentukan senyawa-senyawa yang jauh lebih kompleks lagi, apalagi setelah ada atau terbentuknya air di bumi, yaitu sebagai unsur-unsur dasar kehidupan, dari mulai tumbuh-tumbuhan sampai kepada hewan bersel tunggal, bahkan semakin jauh lebih kompleks yang terdiri dari milyaran sel, hingga penciptaan manusia.

“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)

Seluruh pemahaman tersebut, bersumber dan mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal, baik karena terpaksa maupun secara sukarela. Hanya karena, pada diri kemanusiaan, struktur unsur pembentuk sel-selnya yang amat-teramat kompleks, maka lebih kompleks pula untuk dapat menyadari keberadaan dan kuasa-Nya, kecuali hanya karena petunjuk yang atas kehendak-Nya. Dan ini merupakan salah satu dari sarana-sarana pelatihan keberserah dirian (islam), seperti lebih menyatakan syahadat tidak hanya sekedar pernyataan-nya saja, shalat juga yang direfleksikan  dalam setiap gerak amal perbuatan, puasa untuk menekan segala keinginan yang tak terkendali, zakat mensucikan segala niat sebelum bergerak kepada amal perbuatan, ibadah haji untuk keberserah dirian melalui ber-qurban yang sesungguhnya adalah kenyataan, bahwa hidup adalah pengorbanan. Yang ternyata kesemuanya adalah mengarahkan diri menghilangkan pengakuan (ego)-nya. Yaitu dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Menyadari bahwa diri kemanusiaannya adalah wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di alam, dan sebagai khalifah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn. Seperti itulah fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan Allah.

“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) kemudian darianya Dia ciptakan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu, Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (sanggup berbuat) demikian itulah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapa kamu dapat dipalingkan?” (QS 39:6)

Makna Akbar (Keragaman)

“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”  (QS 2:136)

Kumpulnya berbagai kaum, etnik, dan bangsa dari seluruh penjuru dunia saat melaksanakan ibadah Hajji. Dengan membawa keragaman warna kulit, logat dan bahasa, tabiat, dan lain sebagainya yang juga merupakan keragaman perbedaan yang menambah hidupnya suasana di Masjidil Haraam. Itulah kenyataannya, agama Allah yang merangkum diri-diri dengan aneka keragaman dan perbedaan, dari mulai makanan, warna kulit, logat, bahasa, sampai kepada watak tabiat.

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat. (QS 11:118)

Adalah sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman sekaligus bersama perbedaannya yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim.

Menyadari alam yang penuh keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS 17:44)

Memahami betapa akbar, semesta alam ini amat dipenuhi oleh kekayaan dan keragaman segala sesuatu yang tak terkira banyaknya. Yang bila semakin dihitung, maka semakin takkan pernah habisnya selesai terhitung. Dan bila semakin ingin diketahui, maka semakin pula tidak selesai dapat tersimpulkan. Semakin kaya dan beragamnya alam ini, dengan pula perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya, membuat bervariasi dan semakin sempurna terlihat keindahannya. Sekalipun tak terhitung dan tak terpahami, tetapi nikmat-nya yang sampai kepada diri sebagai yang merasakannya, dan rasa syukur yang berisi puji-pujian yang mengarah kepada Dia sang Pencipta langit dan bumi beserta segala sesuatu isinya.

Tahap kesadaran ini seharusnya membawa insan kemanusiaan kepada rasa kebersamaan yang merupakan bagian dari setiap keragaman dan perbedaan-nya sebagai pengisi keindahan sistem semesta, melenyapkan pengakuan (ego) rasa eksklusivitas dan suprioritas-nya, dan melenyapkan ego kepentingan diri-golongan-etnis-bangsa sendiri, serta lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara global, demi keseimbangan sistem semesta yang mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)

Diciptakan-Nya berbagai macam keragaman dan perbedaan, tentu bukanlah dengan maksud terciptanya kondisi atau keadaan mereka yang saling bertentangan hingga saling merusak dan melenyapkan. Merasa paling benar sendiri, merasa paling hebat sendiri, merasa paling pintar sendiri, dan lain-lainnya yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya ketimbang rasa kebersaman inilah yang menyebabkan terganngunya sistem keseimbangan kehidupan yang justru yang akan kembali kepada diri-nya sendiri sebagai yang menuai bencana. Bukan itu yang dikehendaki Tuhan.

……… Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)

“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)

Dia ingin kita memahami dan mengetahui keindahan yang sempurna hanya bisa didapat dari berbagai keragaman dan perbedaan yang selalu diiringi rasa kebersamaan. Bersama-sama di satu tempat (alam) dalam kebaikan, sebagai suatu yang berpadu, yaitu keindahan yang sempurna. Berbagai keragaman dan perbedaan bukanlah hal yang buruk yang harus dihindari, justru keduanya adalah rahmat dari Tuhan yang dapat memperkaya khasanah segala sesuatu di dalam kehidupan. Bukanlah keseragaman monoton yang membosankan. Keragaman adalah Sifat Tunggal Dia, yaitu Allahu Akbar (pada bab keimanan). Bukan disebut sebagai keragaman jika tak ada perbedaan atau seragam. Tidaklah sulit jika Dia menghendaki keseragaman. Hal ini sama tidak sulitnya dengan jika Allah menghendaki kemanusiaan ini menjadi satu umat. Maka jawaban Dia-pun, tersirat di dalam firman-Nya, yaitu seperti bunyi ayat di bawah ini.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Jika Allah hanya menghendaki yang tunduk patuh atau berserah diri saja yang memenuhi alam-Nya ini, maka cukuplah adanya malaikat, yang telah selalu bertasbih memuji dan mensucikan nama-Nya, tak perlu menciptakan kemanusiaan yang tak pernah merasa puas. Akan tetapi, Dia menginginkan pada insan kemanusiaan, yang merupakan wujud ciptaan-Nya yang sungguh amat-teramat kompleks lahir dan bathin-nya, yang sesempurna-sempurnanya (QS 95:4), pada akhirnya dapat menjadi perwujudan Dia Yang Maha Terpuji di alam. Yaitu yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama-nya, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Makna Godaan

Dalam keberserah dirian-nya, Ibrahim sebagai yang hendak ber-qurban atas perintah Allah dan telah ikhlas, serta Ismail sebagai yang hendak dikorbankan pun telah ikhlas karena perintah Tuhannya, mereka berdua tidaklah lepas dari godaan iblis yang berusaha menggagalkan ibadah mereka. Dan mereka berdua pun membalas iblis dengan melemparinya menggunakan batu-batu kerikil agar iblis pergi menjauh dan tidak menghalangi ibadah mereka.

“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)

Mengapa Allah perlu bukti keikhlasan mereka berdua? Padahal Dia Maha Mengetahui termasuk rahasia hati yang paling dalam. “…….. Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30). Dia (Allah) menghendaki kejadian ini dapat menjadi pelajaran sebagai contoh teladan dari bukti-bukti nyata rasa ikhlas keberserah dirian pada setiap diri insan kemanusiaan.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

Kebanyakan diri melupakan atau bahkan menyepelekan hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu keberserahan dirinya kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha Pengasih dan yang Maha Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari sebanyak lima kali didalam setiap shalat, tetapi kebanyakan tidak memahami maknanya dan mengeluarkannya tidak kepada bentuk amal perbuatan yang dilandasi penyerahan diri dan keikhlasannya hanya kepada Allah semata. Sehingga, amal perbuatannya hanya sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja, tidak sampai kepada ridha Allah SWT. Diri-nya lupa, bahwa kekuatan untuk dapat berbuat adalah juga karena kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah kepadanya, dia lupa menyadari bahwa Allah meliputi segalanya, dan dia lupa, sesungguhnya perbuatannya itu akan terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT.

Penyerahan diri juga mencakup makna memuliakan Tuhan yang maha Mulia, dan diharapkan tetap menjaga kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas malah mengotori kemuliaan-Nya. Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan yang kelihatan indah dipandang mata, akan tetapi malah menjerumuskan. Yang bermakna pula, tidak mengotori dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela. Banyak perbuatan yang dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan atau bahkan pertumpahan darah. Bila diri-nya mengorientasikan amal ibadahnya kepada ke-Muliaan Tuhan yang maha Benar, maka caranya pun sebaiknya dengan cara-cara yang mulia dan benar.

“…. Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)

Tiada lagi susah ataupun senang, sedih dan bahagia, kesulitan dan kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya sama. Yaitu sama karena pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun untuk menolaknya. Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka pasti semuanya itu beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya. Bukan berarti hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru malah ikut serta dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan seluruh makhluk disekitarnya.

Makna Keberserah Dirian

Seperti yang telah diketahui dan diakui, bahwa Ibrahim As adalah bapak dari beberapa bangsa besar. Dari sinilah kisah diambil agar menjadi contoh teladan bagi problematika kehidupan sesudahnya. Terutama teladan dari keikhlasan istri kedua-nya dan anaknya, Siti Hajjar dan Ismail putra mereka yang masih belia, yang ketika itu ditempatkan untuk tinggal berdua tiada tetangga, di daerah tandus, kering, dan tiada air. Yaitu di sekitar Ka’bah, yang dahulunya masih berupa situs reruntuhan rumah peribadatan kuno, dan belum berpenghuni.

Hal ini terjadi karena masalah-masalah kerumah tanggaan, yaitu kecemburuan Siti Sarah, istri pertama Ibrahim As, setelah hamilnya Siti Hajjar. Sekalipun, adalah ide-nya sendiri agar suaminya memperistri Siti Hajjar untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi, itulah sifat dasar kemanusiaan. Begitu lekatnya pengakuan (ego) mempengaruhi diri-nya. Dia tak dapat rela melihat kebahagiaan suaminya bersama bersama wanita lain dan putra mereka.

Keikhlasan seorang istri (Siti Hajjar) kepada suami-nya, yang bersama anaknya yang masih kecil, ditinggal di tempat terpencil tak berpenghuni, dan tandus tiada air. Kepada siapa lagi ia dan anak-nya akan bergantung, selain hanya berserah diri kepada Allah. Momen-momen inilah yang akhirnya diabadikan Allah yaitu dengan dijadikannya sebagai contoh teladan keberserah dirian seseorang kepada Tuhannya. Yaitu, saat panik berlarian bolak-balik kebingungan mencari air. Yang dengan izin Allah, maka keluarlah air dari dalam pasir tersebut. Itulah mata air zam-zam. “………… Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30).

Dia panik, berlari-lari kecil bolak balik dari saffa ke marwah, kebingungan mencari air untuk anaknya. Tidak ada lagi kepada siapa dia berharap dan bergantung, selain hanya kepada-Nya. Momen inilah yang diabadikan dalam bagian ibadah hajji. Tiada yang tidak mungkin bagi Dia bila telah berkehendak, maka keluarlah air dari sela-sela di bawah kaki anaknya. Dan air yang keluar, akhirnya sebagai mata air di tengah gurun tandus, yang tak pernah habis hingga sekarang, sejak ribuan tahun lalu, dan diambil jutaan orang setiap tahunnya. Bukan hanya itu, karena keberserah dirian mereka yang ikhlas, serta doa Ibrahim, maka kelimpahan rezeki bagi keturunan-keturunannya yang tinggal di situ hingga sekarang, menjadi bangsa yang makmur dengan kelimpahan rahmat dari Tuhan mereka.

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (baithullah) yang dihormati, ya Tuhan agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati bagi sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur.” (QS 14:37).

Ini bukanlah tugas kenabian-nya, bukan tugas dari Tuhan-nya, akan tetapi ini jelas adalah jalan hidup-nya, istri dan anak keturunan-nya. Jalan hidup yang sekilas tampak tak memiliki harapan ke depan. Bagaimana mungkin berharap dapat tinggal dan hidup di daerah terpencil, tak berpenghuni, dan gersang tak ada air. Dan dengan keberserah dirian (islam)-nya ternyata telah ikut mempengaruhi kehendak Tuhan sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang sesudahnya. Tentu akan menjadi lain halnya, bila diri ini menggunakan akal pikiran dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tidak akan mungkin akal sehat menyetujui untuk mau tinggal di tempat yang terpencil, gersang, dan tak ada air. Ternyata, Dia membuktikan, bahwa tak ada yang tak mungkin bila Allah telah berkehendak.

Itulah makna berserah diri, yang diambil dari kisah keikhlasan seorang yang hanif, bersama istri dan anak-nya dalam sebuah keluarga, yang dengan penuh keikhlasan mereka berserah diri kepada Tuhannya, telah menentukan kebaikan bagi anak keturunannya hingga ribuan tahun setelahnya.

“………… Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Hikmah yang dapat diambil sebagai teladan dari ritual hajji ini, yang dilambangkan melalui kisah keluarga nabi Ibrahim, adalah seluruhnya mengenai keikhlasan dalam keberserah dirian (islam)-nya hamba kepada Tuhannya, seperti keikhlasan seluruh segala sesuatu yang berada di semesta alam ini berserah diri kepada-Nya.

“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ………..” (QS 22:18)

Keberserah dirian akan terasa maknanya bila diri kita telah terpojok dalam suatu masalah dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali datangnya mu’jizat atau pertolongan dari yang menguasai masalahnya. Semakin berat ketidak berdayaannya maka semakin besar pula rasa keberserah diriannnya kepada yang sesungguhnya berkuasa. Maka bayang-bayang akan dosa-dosanya pun bermunculan dan menghantui sebagai yang disesalinya. Pada saat itulah diri menyadari diperlukan keikhlasan turut menyertai berserah diri (islam)-nya.

Dan kemudian terbukalah hijab yang sebelumnya menutupi hatinya. Bila dirinya dapat tetap menjaga kesadaran keadaan dan kondisi tersebut, maka kepekaannya pun semakin bertambah lagi dalam melihat kebenaran-kebenaran. Hingga dirinya telah dapat melihat hakikat segala sesuatu yang seluruhnya mengarah kepada Yang Maha Tunggal. Pada saat itulah dirinya barulah menyadari keikhlasan berserah diri (islam) yang sejati hanyalah kepada-Nya yang sesungguhnya menguasai segala sesuatu. Menyadari betapa diri-nya amat bergantung pada setiap rahmat-Nya. Menyadari bahwa hanya kepada Dia-lah tempat dirinya berlindung dari segala kelemahan dan keterbatasan-nya sebagai makhluk.

Makna Pengorbanan (Ber-qurban)

Berangkat dari kisah tentang perintah ber-qurban kepada Allah, dengan menyembelih Ismail (umat Nasrani dan Yahudi beranggapan adalah Ishak) putra sulung Ibrahim As yang dikisahkan dalam al Qur’an sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Bila ada pertentangan yang menganggap siapa sesungguhnya (anak sulung Ibrahim) yang hendak dikorbankan, seperti umat Nasrani dan Yahudi yang beranggapan Ishak-lah yang hendak dikorbankan, sesungguhnya hal itu tidak menjadi penting. Malah menimbulkan masalah-masalah pertentangan. Akan tetapi lebih kepada makna kejadiannya-lah sesungguhnya kisah ini dapat menjadi teladan bagi umat-umat kemudian. Dan bila masih merasa menganggap pentingnya tentang siapa sesungguhnya anak sulung yang dikorbankan, maka berarti diri-nya masih dilekati pengakuan (ego)-nya yang dapat menyeretnya kepada pertentangan akibat perbedaan.

Renungkanlah kisahnya, seorang yang telah memasuki masa tua-nya, dan belum dikaruniakan keturunan, kemudian setelah harapan-nya dikabulkan oleh “pemilik”-nya, dan di saat-saat hatinya sedang berbahagia dengan kehadiran seorang anak, tiba-tiba datang perintah agar memberikan “pengorbanan” berupa anak satu-satunya yang baru saja dimilikinya itu. Sekalipun, sungguh, sudah pasti Allah mengganti atau membalas pengorbanannya tersebut sebesar maupun sekecil apapun itu. Keyakinan seperti apakah itu? Setinggi apakah rasa keberserah dirian-nya terhadap yang sejatinya memiliki, menguasai, serta memelihara kerajaan langit dan bumi ini? Itukah sejatinya berqurban? Maka, ini merupakan pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak sejatinya berqurban. Tentu tidaklah mungkin kita akan mengalami hal seperti kisah tersebut, akan tetapi sungguh banyak dan sering kita temui di sekitar kita yang membutuhkan bantuan sedangkan kita pun merasa pas-pasan, pas hanya tinggal untuk kita sendiri. Tinggal satu-satunya, lantas bagaimana untuk kita nantinya?

Justru karena, yang tinggal (hanya) satu-satunya yang kita miliki itulah yang membuatnya menjadi bernilai tinggi dan mulia, kemudian ikhlaskanlah perbuatan itu hanya karena dan untuk Allah semata. Seperti kisah Ibrahim diatas yang difirmankan Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Itulah sejatinya ber-qurban. Kapan lagi kita dapat berqurban yang sebenar-benarnya berqurban? Ingatlah inti dari ibadah Haji adalah (dan) ditutup dengan ber-qurban. Sedangkan Rukun Islam (berserah diri) pun ditutup dengan ibadah Haji. Maka syarat sah-nya muslim (orang-orang yang telah berserah diri) adalah ikhlas, yaitu amal perbuatan yang murni hanya karena dan untuk Allah semata.

“….sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)

Di dalam kehidupan-nya, setiap diri selalu mengalami bentuk-bentuk pengorbanan dari diri yang masih mengaku sebagai pemilik-nya, atau masih melekat pengakuan (ego)-nya. Wujud pengorbanan tersebut dilambangkan dengan ber-qurban, menyembelih hewan ternak saat menutup ibadah hajji-nya. Dan yang perlu direnungkan, bahwa keutamaannya adalah ada pada keikhlasan-nya dalam berqurban. Ber-qurban adalah bentuk pelatihan keberserah dirian, dan ada di dalam rukun ibadah haji. Sedangkan dalam kenyataan hidup di kehidupannya, setiap diri pasti telah mengalami, baik disadari ataupun tidak disadari dalam pengorbanan-nya, maka oleh karena itulah, Allah menghendaki setiap diri melakukannya didasari kemurnian atau keikhlasan.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama …….”. (QS 98:5)

Umumnya, kebanyakan orang lebih kepada pemahaman keutamaan berqurbannya hanya pada bulan-bulan Hajji saja, sebagai amal perbuatan (ibadah) yang telah ditetapkan dan direncanakan. Padahal, itu hanya sekedar seremoni atau perayaan saja. Sedangkan hakikinya adalah yang menjadi kehendak-Nya, yaitu adalah kepekaan serta kepedulian rasa dari setiap diri insan kemanusiaan terhadap sesama-nya yang sedang berada dalam kekurangan, yang sedang berada dalam kebutuhan yang amat mendesak memerlukan bantuan atau pengorbanan dari-nya. Keadaan atau kondisi tersebut bukan hanya ada pada bulan-bulan Hajji saja, melainkan di setiap waktu tentu kita banyak menemui situasi dan keadaan tersebut. Pada saat-saat itulah diri-diri kita hendaknya lebih peka kepada mereka yang membutuhkan.

Bila telah dapat seperti itu, dengan murni dan ikhlas semata hanya karena Allah dalam membantu, maka itulah wujud sejatinya ber-qurban. Dan yakinlah, bahwa Allah tidak akan meminta kepada yang tidak mampu memberi. Karena itulah kepada mereka yang tidak peka hatinya, maka Allah pun tak menghendaki bantuannya. Dan Allah sungguh Maha Kaya serta tidak membutuhkan bantuan makhluknya, yang diinginkan-Nya hanyalah keikhlasan.

…… dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta ……”. (QS 70:24-25)

Tidak ada bedanya ritual berqurban pada bulan Hajji dengan ritual-ritual berqurban pada umat-umat agama lainnya, yang memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wujud ibadah kepada Tuhannya. Akan tetapi, lebih kepada makna yang diwujudkan dalam amal perbuatan kesehariannya lah yang lebih utama, bahwa keikhlasan berkorban dalam setiap amal perbuatannya-lah yang akan sampai kepada Allah dan sebagai wujud dari keberserah dirian-nya. Itulah makna islam yang sesungguhnya sebagai wujud sejatinya berserah diri dengan ikhlas.

Renungkanlah sedalam-dalamnya, selain menerima, hidup juga adalah berkorban, karena sesungguhnya dipenuhi oleh pengorbanan untuk kepentingan pihak lain. Dan kemurnian atau keikhlasan berkorban adalah wujud berserah diri seorang hamba kepada Tuhannya. Yaitu hamba yang menerima segala anugerah, yang kemudian untuk disebarkan kembali kepada sesamanya, sebagai rahmat dari Tuhannya. Tidak-lah mengakui anugerah tersebut sebagai milik-nya dan sebagai yang dikuasai-nya, tidak pula semena-mena terhadap pengelolaan-nya, serta tidak pula menyebabkan kesesatan pada diri-nya. Anugerah tersebut adalah karunia Tuhannya yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang suatu saat, kelak akan dipertanggung jawabkan-nya. Dan anugerah tersebut dapat berupa kekuasaan dan jabatan, anak keturunan dan istri, harta benda dan perhiasan, ladang pekerjaan, kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan karunia serta sekaligus cobaan dari-Nya.

Pengorbanan bila menerima anugerah kekuasaan dan jabatan, adalah mengorbankan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang dikuasai-nya. Pada anugerah anak keturunan dan istri, pengorbanannya adalah dengan mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Pada anugerah harta benda, adalah mengorbankan ego-nya demi pekanya hati melihat sesama yang sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan sebagian dari harta-nya. Pada ladang pekerjaan, pengorbanannya adalah mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi suksesnya pekerjaan sesuai yang diharapkan. Dan lain sebagainya, yang dalam kehidupan-nya tiada yang lepas dari pengorbanan-nya, sebagai pemeliharaan, perawatan dan pengelolaan yang bertanggung jawab dari setiap anugerah yang dikaruniakan-Nya.

Terkadang, diri ini begitu memaksakan pada keinginan, sekalipun keinginan tersebut merupakan kebaikan. Seperti keinginan untuk melakukan ibadah hajji yang berulang-ulang kali, yang dianggapnya adalah suatu kebaikan bagi diri-nya. Hal tersebut tidaklah salah, akan tetapi akan menjadi kesalahan bila disekeliling kita masih banyak orang yang membutuhkan bantuan akibat kesulitannya. Jauh lebih bernilai ibadahnya bila disalurkan kepada membantu meringankan beban kesulitan orang-orang yang membutuhkan bantuannya, ketimbang pergi hajji untuk yang kesekian kalinya. Karena kewajiban ibadah hajji tersebut hanyalah satu kali.

Ada pula mereka yang merasa masih belum sempurna dalam ibadah hajji sebelumnya, sehingga merasa perlu mengulanginya. Padahal ibadah tersebut adalah untuk melatih kemanusiaan memahami makna-makna yang ada di dalam ritual ibadah tersebut untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga tercapailah maksud dan tujuan ibadah tersebut sebagai yang disebut hajji mabrur. Maka, dengan demikian menjadi tak wajib lagi ibadah-ibadah hajji berikutnya, dan menjadi kewajiban baginya merefleksikan atau mewujudkan ibadah hajji pertamanya kepada amal perbuatan kebajikan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Yaitu, dengan mewujudkan makna-makna yang telah disebutkan di atas di dalam gerak hidup kesehariannya. Begitulah seharusnya kita memahaminya, sehingga kemanusiaan dapat lebih memaksimalkan ibadah-ibadah yang jauh lebih utama untuk terwujudnya insan-insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.

“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”  (QS 2:177)

Mengorbankan keinginan, sekalipun hal tersebut merupakan ibadah, dan suatu kebaikan, akan tetapi ada ibadah lain yang lebih utama yaitu memberikan bantuan. Sehingga menyelamatkan diri-nya dari termasuk orang-orang yang celaka dalam shalat-nya, yaitu termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama, seperti bunyi ayat di atas. Renungkanlah, sesungguhnya iblis telah membiaskan keinginan tersebut, agar terlihat indah bagi kebaikan, sehingga banyak diri-diri kemanusiaan yang terjerumus pada kecelakaan.

“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)

“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)

Itulah hidup, yang ternyata isinya adalah hanya berkorban belaka. Sedang bagi diri-nya adalah hanya rasa nikmat puasnya setelah tercapai. Bahkan untuk makan saja, diri ini harus berkorban dahulu, apalagi untuk hal-hal besar lagi mulia. Dan yang kembali kepada Allah pun, adalah cuma hanya rasa ikhlas dalam melakukannya saja. Dan tak ada yang sia-sia dari setiap pengorbanan yang diirngi keikhlasan. Pengorbanan terbesar dari insan kemanusiaan adalah jihad fi sabilillahi. Sedangkan jihad terbesar (akbar) adalah melawan hawa nafs (keinginan jiwa)-nya sendiri, yaitu melawan pengakuan (ego)-nya sendiri.

Dan bagi mereka yang belum juga kesampaian untuk mampu beribadah hajji yang membutuhkan biaya yang cukup besar, tidak perlu kecewa, sambil menunggu kesanggupan tersebut, maka sadarilah pula bahwa baithullah (rumah Allah) di Mekkah itu adalah yang dzahir, maka adapula baithullah yang bathin, yaitu yang berada di dalam dada, kalbu kita yang paling dalam. Hampirilah rumah Allah tersebut dan menemui-Nya dengan mensucikan hati yang selalu berdzikir (mengingat) Allah. Kelak kita akan memahami hal ini, setelah Dia bukakan dada kita untuk mendapatkan karunia hikmah-Nya yang begitu luas yang sebagian besarnya masih tersembunyi (ghaib). Insya Allah, Dia akan menerima keberserah dirian (islam) kita yang didasari keikhlasan.

“…. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

(QS 91:7-10)

 

Bab XIII

MEREKA yang IKHLAS

(Mukhlis)

“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan rezeki untukmu dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). Maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai-(nya).”

(QS 40:13-14)

Cukuplah bagi setiap diri insan kemanusiaan mencapai tahap ini, yaitu tingkat keikhlasan berserah diri (islam) dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang didasari oleh kokohnya keimanan. Biarkanlah tahap-tahap selanjutnya berjalan berdasarkan kehendak Dia Yang Maha Pemurah menganugerahkan kepada diri-nya. karena mereka yang ikhlas telah lepas dari segala macam bentuk keinginan, sekalipun keinginan tersebut mulia kebaikannya. Sehingga, telah lepasnya segala bentuk keinginan dari jiwa adalah kemuliaan itu sendiri.

Ada kejaran-kejaran lainnya yang sungguh menggiurkan bagi para pencari, seperti tahap tarikhat, hakikat, ma’rifat, dan hikmah, namun kehendak Dia pulalah yang menentukan segalanya. Akan tetapi, sama sekali, kita tidak akan menyentuh kejaran tahap berikutnya tersebut, mungkin di waktu-waktu yang lain, insya Allah, barulah kita akan dapat mengulasnya. Sekali lagi, menjaga kokohnya keimanan dan keikhlasan berserah diri adalah hal yang amat mutlak, yang bila hal tersebut sampai terjadi kelalaian, maka pengakuan (ego)-lah yang akan meruntuhkannya.

Jangankan harapan  menerima anugerah mencapai tahap-tahap kejaran selanjutnya tersebut di atas, jiwa-nya akan kerepotan sendiri dan disibukkan oleh kebutuhan ego-nya tersebut. Itulah makanya banyak ulama yang menyarankan memulai langkah tahapan kejaran dari kekokohan syariat, sehingga tidak akan tersesat. Tetapi, apalagi yang dibutuhkan jiwa-jiwa yang telah ikhlas, selain telah lenyapnya segala bentuk keinginan? Sesungguhnya, tahapan kejaran tersebut, akan datang dengan sendirinya atas kehendak Allah sebagai petunjuk, bila jiwa ini memang telah siap menerimanya. Dan hanya Dia yang mengetahui jiwa-jiwa yang telah siap, serta hanya dengan kehendak Dia pula kepada siapa hendak diberikan.

“….. Laa Quwwata illaa BILLAH (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)

Kembali kepada makna, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena diberikan oleh-Nya. Maka kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya akan menjaga keinginan tersebut tetap sebagai kehendak-Nya. Dan yang lebih mulia adalah terhindar dari segala bentuk keinginan yang ternyata beresiko menjerumuskan kepada kesesatan. Pada setiap keinginan tersebutlah sesungguhnya iblis ikut menumpang sambil membawa bujuk rayu penyesatan yang dikemas agar terkesan indah pada pandangan.

Apakah tidak menjadikan orang-orang yang apatis bila telah tidak memiliki keinginan? Pertanyaan seperti ini pasti akan timbul dan menyebabkan kekhawatiran, seolah telah ikut pula menggerus kembali kokohnya keimanan yang telah dibangun. Hal ini menjadi perlu diluruskan karena keinginan yang dapat menyesatkan, lebih jauhnya, adalah keinginan yang didasari atau dipengaruhi oleh kebutuhan. Belum lagi keinginan, yang dalam perjalanannya, dipengaruhi oleh angan-angan menggoda dan menggiurkan yang diperlihatkan iblis sebagai pemandangan yang indah.

Agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlanjut, maka akan dibuka kembali makna-makna yang sebelumnya telah terurai dan dibahas sebelum-belumnya, namun mungkin masih belum lengkap menuntaskan sehingga ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah ada bahasan baru. Hal tersebut merupakan kewajaran yang lumrah dan juga ada pada ketetapan-Nya (sunathullah), yaitu betapa luasnya ilmu Allah, tak terkira dan terhitung. Membuka yang satu, maka akan ada kebutuhan untuk membuka yang lainnya, begitu seterusnya tanpa pernah tiada lagi yang tak bisa lagi dibuka atau telah terpenuhi. Sebab Dia-lah Allahu Akbar.

Sebagai dasar pijakan pertama adalah, bahwa keinginan bukanlah niat. Jangan diidentikkan keduanya sebagai yang satu makna. Niat yang mengawali segala amal perbuatan, dan masih bathin berada di dalam kalbu, sehingga membuat umumnya niat adalah selalu suci atau bersih, yang dapat mengotorinya justru keinginan yang hadir kemudian, menambahkan. Karena itu pula ada ungkapan, kembalilah ke niat awal.

Sedangkan keinginan, yang hadir kemudian, selalu dipengaruhi pikiran-pikiran yang tersimpan di dalam memorinya, dan kekotorannya adalah karena kebutuhan-kebutuhan yang secara tiba-tiba ikut pula hadir. Memori pikiran yang mempengaruhi dapat berupa ketakutan, keserakahan, ingin dipuji, dan lain-lainnya sebagai yang pernah terekam di dalam otak-nya.

Dan keinginan ini dapat hadir pula sebelum niat telah menjadi amal perbuatan yang diwujudkan. Tetapi, yang jelas, setelah adanya niat. Itulah mengapa keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Jadi, bukanlah dilarang, melainkan diarahkan agar tetap terjaga dan terkendali. Inilah yang dimaksud dengan nafs al mutma’innah, sebagai jiwa yang tenang terkendali, bukan yang justru dikendalikan oleh keinginan.

Dasar pijakan kedua adalah, keinginan merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan perlu diingat kembali, bahwa setiap anugerah-Nya bukanlah hibah kepemilikan, dan tetap akan diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sehingga keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya, serta membawa kepada amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Dasar pijakan ketiga adalah, tanpa keinginan bukan berarti tidak dapat mewujudkan niat. Seringkali, justru jiwa yang telah memiliki niat malah dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang dapat membelokkan niat awalnya. Padahal yang utama adalah niat-nya yang sebagai penentu mewujudnya amal perbuatan, serta penentu baik atau buruk hari kemudian-nya. Bila telah terkontaminasi kekotoran keinginan yang menyesatkan, maka amal perbuatannya pun akan ikut terkotori, pada akhirnya, di hari kemudian-nya, dia akan membawa beban-beban pembersihan akibat kekotoran tersebut.

Bila kita kembalikan kepada kitab, firman Tuhan, yang menyatakan haramnya khamar (sebagai yang memabukkan), dikarenakan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, maka demikian pula dengan keinginan. Dapat pula memabukkan dan menyesatkan, bahkan bahkan akibat dampaknya pun adalah dapat merugikan orang lain, selain dirinya sendiri sebagai pelakunya.

Banyak sekali contoh-contoh dimana niat mulia pada awalnya, dapat dibelokkan atau disesatkan oleh keinginan-keinginan, seperti pada halnya para politikus yang pada niat awal-nya mulia dengan mengatas namakan rakyat, akan tetapi setelah dalam perjalanannya dapat dibelokkan oleh keinginan-keinginan yang datang kemudian akibat kebutuhan atau terlena oleh empuknya kursi jabatannya. Seperti para pedagang yang tergiur keuntungan kemudian menimbun saat mengetahui akan terjadi kenaikan harga. Karyawan atau pegawai negri yang terpaksa korupsi akibat dibelokkan keinginan dari kebutuhan-kebutuhan yang datang kemudian, yang membiaskan dari niat awal yang mulia, yaitu bekerja demi keluarga.

Kembalikan keinginan sebagai yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Karena sesungguhnya, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena diberikan oleh-Nya. Demikianlah wujud keikhlasan dalam berserah diri (islam).

…….. Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)

Itulah bahayanya keinginan yang tiada terkendali. Dan pada umumnya, keinginan tersebut ditimbulkan oleh ketakutan. Sedangkan rasa takut dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?

Tidak pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.

Tuhan kita adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima (sebagai hari kemudian). Artinya, segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan, adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini dari amal perbuatan sebelumnya.

Sedangkan kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya berserah diri ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).

Sekedar untuk mengingatkan agar menggugah syaraf-syaraf kesadaran kita. Maka bayangkanlah, bila amal perbuatan kebaikan yang tidak disertai rasa ikhlas, seperti sekolah untuk menuntut ilmu, menjadi guru untuk mendidik, bekerja untuk keluarga, menjadi penegak hukum untuk keadilan, menjadi pemimpin untuk mereka yang dipimpin. Tentulah hasilnya bisa ditebak dengan mudah, maka akan terjadi hidup kehidupan yang tidak murah dan tidak sehat, bahkan saling menularkan seperti halnya wabah penyakit. Sesungguhnya itu sebagai yang kembali lagi kepada masing-masing diri-nya sebagai hasil yang dituai, dan biaya hidup kehidupan yang mahal dan berpenyakit tersebut, ternyata, mereka sendirilah yang menciptakannya.

Bayangkanlah betapa telah menjadi mahalnya kehidupan sekarang ini, seperti di terminal, di stasiun, atau di pasar sebagai fasilitas umum, untuk buang air kecil saja harus bayar. Parkir kendaraan pun begitu, sekalipun hendak berbelanja yang jelas mengeluarkan biaya. Untuk berdagang di emperan pasar saja, terkena bayaran retribusi, belum lagi pungutan lainnya seperti preman. Bahkan untuk pengurusan izin-izin dan surat-surat yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan, selalu ada pungutan-pungutan tambahan. Tentunya hal ini akan menular, karena biasa ditodong, maka sekarang gantian, diri-nya pun akan menodong,  karena tuntutan kebutuhan biaya hidupnya yang telah tinggi akibat sering ditodong.

Maka hal ini akan menular terus, seperti harga-harga pun akan terus cenderung menaik akibat terus meningginya pula biaya-biaya penodongan tersebut. Dan ternyata, itu kembali lagi kepada masing-masingnya menjadi seperti proses siklus penodongan, hanya saja biayanya terus meninggi. Sebenarnya bukan masalah tinggi biayanya, akan tetapi nilai kebaikan dan kebenaran sebagai moralitas hidup kehidupannya yang menjadi rusak. Keikhlasan berbuat telah sirna tergantikan tuntutan kebutuhan. Sportivitas kehidupan hilang dan hanya meninggalkan saling sikut-sana sikut-sini. Bapak dibohongi anaknya, suami dibohongi istrinya, bos dibohongi kacungnya, pembeli dibohongi penjual, pencari keadilan dibohongi penegak keadilan, begitupun sebaliknya. Semua saling membohongi demi memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginannya. Itulah bukti telah sakit-nya kehidupan saat ini.

Begitu reformasi bergulir, dan segala permasalahan dibuka seluas-luas dan sebebas-bebasnya oleh media, yang terkadang pula tak jarang berlebihan dalam penyajiannya, dari mulai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pungli, pemerasan, premanisme, bahkan sampai kepada bahayanya narkoba, maka seperti bom waktu yang baru saja meletus. Banyak pengamat dadakan yang bermunculan yang angkat bicara tidak hanya di televisi, akan tetapi juga, malah sampai warung-warung kopi di setiap sudut jalan, hingga sebagai pembuka obrolan antar tetangga.

Tidak hanya itu, para da’i dan ulama pun, di setiap ceramahnya, juga tidak lupa untuk mengangkat hal ini, seolah-olah ini adalah hal yang baru yang sebelumnya tak pernah ada, dan seolah juga ini tak berhubungan dengan pembentukan moral umat di waktu-waktu yang lalu. Ya, semua komponen dan semua profesi bertanggung jawab, bahkan seluruh masyarakat warga negara adalah pelaku sekaligus korban. Karena massif dan kompleks-nya kerusakan yang telah terjadi di negri ini, bahkan korbannya pun kepada anak keturunan yang belum lahir ke dunia inipun kelak akan merasakannya.

Sekarang, begitu hukum hendak ditegakkan, kerusakan hendak diperbaiki, dan permasalahan bangsa hendak diselesaikan, yang ada malah kebingungan, terjadilah saling tuding satu sama lain. Sistem yang ada menjadi kambing hitam, dan undang-undang pun terasa perlu direvisi, hingga timbul wacana hukuman mati untuk dikenakan kepada para perusak yang telah mengacak-ngacak negri ini.

Hukuman mati bukanlah hal yang tabu bila harus digunakan pada kondisi negara seperti ini, yang sedang dalam keadaan darurat begini. Tapi jika para penentu kebijakan negri ini dapat arif dan bijaksana hendak menyelesaikan dan dapat melihat permasalahan sesungguhnya secara murni dan jernih, dan tidak sebagai yang malah ikut terjebak dalam kubangan kesalahan kolektif di negri ini, yang sesungguhnya justru hendak menyelamatkan jiwa-jiwa warga negaranya dari kebangkrutan moral yang telah menyebabkan parahnya keadaan ini, maka hendaklah dimulai dari pembenahan moral bangsa. Yaitu moral masing-masing diri.

Dan dimulailah dari diri sendiri, hingga kemudian dapat menjadi teladan bagi keluarga, kemudian bagi lingkungan sekitar sampai hingga jauh ke yang lebih luas lagi. Barulah para penentu kebijakan, yang juga sebagai pemimpin menjadi layak sebagai pemimpin yang membawa teladan, kemudian mengajak seluruh komponen secara massal untuk membenahi moral bagi seluruh warganya.

Bila ada anggapan, bahwa hal ini tentu telah dilakukan para da’i dan ulama yang telah berperilaku sempurna dan mulia sebagai teladan dan sebagai penyampai ajaran lurus. Apakah benar begitu? Buktinya keadaan malah bertambah parah setelah reformasi?

Ya, tidak hanya da’i dan ulama yang bertanggung jawab atas keadaan ini, melainkan setiap diri bangsa. Apapun profesinya. Bahkan termasuk dengan insan pers yang membuka seluas-luasnya yang membuat seluruh masyarakat sadar bahwa dirinya pun kini sedang berada  di dalam kubangan. Sayangnya, mereka kebanyakan tak menyadari bahwa diri-dirinya pun ternyata sebagai yang berperan ikut membangun kubangan tersebut, di dalam kesalahan kolektif yang merusak negrinya sendiri.

Maka, bila sebelumnya, mereka saling todong sebagai sebab, kini yang mereka hadapi adalah saling tuding yang sebagai salah satu akibat selain akibat lainnya, yaitu mengalami mahalnya kehidupan sehari-harinya. Disinilah, di alam dunia ini, kita mengalami hari kemudian yang termasuk di dalamnya pula sebagai hari pembalasan dari setiap amal perbuatan kita sebelumnya. Sadarilah, apakah bayi-bayi yang sekarang berada dalam kandungan tidak ikut merasakan kesulitan? Ingatlah, banyak kasus balita yang kekurangan gizi di beberapa daerah. Maka bila kita hendak menyadari dan memperbaiki, maka segeralah kembali dengan memperbaiki moral kita masing-masing, karena sesungguhnya apa yang kita perbuat jelas sekali berdampak kepada banyak lainnya, sekecil apapun itu. Sekalipun sebagai yang ditodong, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dari birokrasi. Anak keturunan kitapun akan merasakan akibatnya.

Dan begitu pula bila amal perbuatan tersebut di atas telah disertai keikhlasan-nya, namun diperjalanannya dapat masuk pula keinginan-keinginan yang dapat mengotori dan melunturkan keikhlasan-nya. Tentu akibatnya adalah seperti yang terurai di atas. Maka adalah kewajiban setiap diri kitalah untuk memulai kembali mengkokohkan keimanan, kembali kepada jalan lurus (agama), serta memurnikan (keikhlasan) berserah diri dalam setiap gerak amal perbuatan sebagai usaha memperbaiki keadaan kehidupan yang bila kita selami, baik di sekitar kita, maupun sampai kepada wilayah yang jauh lebih luas, telah sangat memprihatinkan.

Bukan (hanya) karena kemiskinan atau kekurangan gizi, bukan karena sulitnya lapangan pekerjaan, bukan karena tingginya angka kriminalitas, bukan karena maraknya premanisme yang bahkan dengan mengatas namakan agama, serta bukan karena korupsi yang merajalela di setiap lini kehidupan. Juga bukan pula (hanya) karena banyaknya bencana yang menimpa sebagai balasan atau azab, akan tetapi hanya lebih kepada sekedar usaha memperbaiki keadaan kehidupan demi kehidupan ke depan, dimana semua keturunan kita pun akan hidup menetap, juga sebagai hari kemudian kita, tentunya.

Kepuasan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan tidak akan pernah tercapai dalam kehidupan dunia ini, yang ada malah tersesat oleh angan-angan keinginan dan kebutuhannya tersebut. Perut kita pun hanya cukup menampung sepiring dua piring makanan. Bila berlebihan pun, malah menjadikannya penyakit yang merepotkan sendiri. Begitu pula pada keinginan banyaknya harta benda, yang justru malah kembali kepada dirinya sebagai yang meresahkan hati dan jiwa-nya. Juga kepada keinginan memiliki wanita atau istri-istri, maka akan selalu ditemui wanita-wanita yang lebih muda, cantik, serta selalu menarik perhatiannya, tiada akan pernah ada habisnya. Termasuk pula pada kekuasaan, tidak akan pernah ada kekuasaan yang sejatinya benar-benar berkuasa dan akan terus selamanya dimiliki, tetap saja makhluk memiliki keterbatasan. Keterbatasannya itulah yang tak disadari, sementara keinginan hati menghendaki lebih. Inilah yang dimaksud Allah dengan firman-Nya sebagai berikut.

“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ……”. (QS 4:171)

Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah fana, berubah-ubah, atau hampa bila didasari atau dimulai oleh keinginan, apalagi kebutuhan, maka bukan nikmat yang datang, melainkan akan menjadi bumerang, yang akan kembali kepada dirinya membawa setumpuk masalah lain yang amat menyusahkan jiwanya sendiri. Akan menjadi lain, terasa nikmatnya serta membawa kedamaian dan ketentraman, bila anugerah-anugerah tersebut memang diterimanya bukan karena usaha memenuhi keinginan dan kebutuhannya, melainkan menyadari bahwa anugerah tersebut merupakan amanah, dan dengan keikhlasan berserah diri menjalankan atau mengelolanya secara bertanggung jawab pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Keikhlasan bentuk kemurnian segala amal perbuatan yang terbebas dari kontaminasi akibat kekotoran yang menyertai amal perbuatan tersebut. Di alam ini, bahkan seluruh rahmat Allah Yang Maha Pemurah yang berupa nikmat kebaikan, begitu sampai kepada diri kemanusiaan, maka terbias menjadi dua hal yang berpasangan. Begitulah kemanusiaan selalu menilainya, yaitu nikmat kebaikan dan keburukan. Bila sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, maka disebutlah rahmat tersebut sebagai nikmat kebaikan. Sedangkan bila bertolak belakang dengan keinginannya, maka yang datang dari Tuhannya tersebut disebut sebagai azab atau keburukan.

Mereka inilah yang tak dapat menyadari bahwa dirinyalah yang telah berlebihan dalam berharap dan berkeinginan, atau berlebihan dalam perbuatan yang tidak berada dalam kehendak-Nya. Sehingga harapan dan kenyataannya bagai jauh panggang dari api. Segala sesuatu telah Allah tentukan kadar-kadarnya sebagai keseimbangan yang pasti terjaga keadilannya. Karena itu, ketika mereka berlebihan dalam menerima rahmat Allah tersebut, maka kelebihan-nya tersebut pasti kembali kepada dirinya sebagai keburukan.

Dimulai dari keikhlasan berserah diri dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang dilandasi oleh kokohnya keimanan adalah sebagai jalan bagi masing diri yang hendak memperbaiki keadaan ini. Tidaklah mungkin untuk mengandalkan pemimpin-pemimpin untuk dapat mengubah keadaan ini untuk menjadi lebih baik, apalagi mengharapkan perubahan yang sekejapan mata. Hanya dengan memperbaiki akhlak masing-masing diri, kemudian saling mengingatkan yang juga dimulai dari ruang lingkup yang lebih kecil dahulu, seperti keluarga, maka insya Allah, perlahan tapi pasti, akan semakin berkembang menular pula tetapi dalam arti kebaikan, yaitu sebagai teladan. Dan pada akhirnya dapat memperbaiki keadaan kehidupan semesta yang sehat, terpuji, dan mulia sebab diri-diri kita adalah perwujudan dari Dia Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Sehingga, paling tidak, kita telah menciptakan lingkungan yang layak dan sehat, serta dipenuhi diri-diri yang berakhlak terpuji dan mulia, sebagai diri-diri yang jujur, terpercaya, disiplin, dan teguh pendirian pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Maka tiada lagi kekhawatiran pada hari kemudian, kelak. Dengan demikian, jiwa kita telah mendapatkan ketenangan dan ketentraman, serta siap kapanpun, bila telah tiba waktunya, untuk kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik segala sesuatu, termasuk dengan kebersihan jiwa dan jasad-nya, ilay’ihi raji’un. Inilah makna sesungguhnya keikhlasan dalam berserah diri (islam) dengan menyusuri setiap langkah demi langkah dari jalan lurus (agama)-Nya, yaitu diynul qayyimah.

Posted in RELIGION | Leave a comment

KEMBALI PULANG

KEMBALI PULANG

The Trilogy

Posted in RELIGION | Leave a comment